“Eyang, orang-orang Blambangan juga mengetahui pertemuan saya dengan Raden Trenggana beberapa waktu yang lalu. Mereka juga tahu bahwa tawaran untuk berunding telah ditolak paman Trenggana tanpa alasan. Dan, sekarang…?”
“Sekarang engkau harus mengambil jalan pulang ke dalam pasukan Blambangan. Ini adalah perintahku, Gagak Panji,” Pangeran Tawang Balun semakin tegas berucap. Sekelebat waktu kemudian berlalu, ia merenungkan sesuatu yang berbisik di dalam hatinya. Ia menggeser tempat. Sedikit jauh dari Raden Trenggana, lalu Pangeran Tawang Balun berkata pada Gagak Panji melalui getaran tenaga inti, “Atau mungkin engkau belum mengerti bahwa ajakan Pangeran Trenggana juga mempunyai peluang disusupi orang yang tidak kita kenal?”
Gagak Panji memandang wajah Pangeran Tawang Balun dengan pikiran bertanya. “Saya tidak mengerti, Eyang. Sebagian wilayah memang dapat menerima pengaruh Demak melalui perkawinan. Sebagian lagi harus berperang, meski tidak sedikit dari mereka yang menjadikan perang sebagai siasat sambil menunggu ketegasan Raden Trenggana menghukum pelaku pembunuhan. Perintah untuk mengosongkan prajurit dari sebagian wilayah seperti Surabaya dan Wirasaba pun terlaksana begitu baik. Lalu, siapa orang yang tidak kita kenal?”
“Mungkin perhatianmu terluput dari perkara yang dapat dianggap sebagai masalah besar. Masalah rumit yang dapat muncul oleh sebab sekumpulan orang asing dalam jumlah besar, orang-orang yang membuat putra Raden Fatah memutuskan untuk menyerang meski harus melintasi samudera. Mereka telah terbagi dalam banyak kelompok lalu bergerak di bawah satu perintah dan barangkali juga terhubung dalam jaringan,” kata Pangeran Tawang Balun. “Namun, untuk sementara waktu, untuk saat ini kewajibanmu adalah membuka jalan perundingan. Para penentu keputusan sedapatnya dapat bertemu sesegera mungkin.”
Gagak Panji tidak memberikan tanggapan. Sebenarnya ia dapat melihat kebenaran dari perkataan Pangeran Tawang Balun. Malam itu, Gagak Panji dapat melihat secercah terang di dalam selubung malam yang suram. Setelah membungkukkan badan hormat pada Raden Trenggana dan Pangeran Tawang Balun, Gagak Panji berlalu tanpa meninggalkan kata-kata. Meloncat ke permukaan air, lalu secepat kilat meluncur ke daratan. Agak berat baginya untuk melakukan permintaan Pangeran Tawang Balun. Memang tidak ada yang kalah dalam pertempuran yang tergelar di perairan Panarukan dan sepertinya tidak akan muncul pemenang perang, tetapi mengabarkan berita gencatan senjata? Blambangan mungkin akan menutup pintu untuk itu, walau demikian, ia tidak sepenuhnya yakin Blambangan tetap berkeras melanjutkan peperangan. Angkatan perang Demak dan Blambangan, menurut Gagak Panji, adalah sekumpulan orang yang gigih berjuang dan gagah dalam pertempuran. Untuk itu, ia tidak merasa sendiri bila menemui seorang demi seorang di barak pasukan Blambangan. Namun begitu, secuil perasaan muncul bahwa ia seolah lari dari gelanggang pertempuran. Kegalauan terbit dalam hatinya karena lari dari medan bukan sikap yang dipelajarinya di dalam keprajuritan Demak dan Jipang.
Seorang pengawas dari kapal perang Blambangan terdengar berseru, “Ada yang mendekat!”
Suara lantang itu kemudian menerima tanggapan dari sejumlah pengawas yang berada di tepat tinggi di atas geladak kapal. Mereka bersahutan, kemudian tiga pemanah melepaskan panah api ke bibir pantai Panarukan.
Hyang Menak Gudra dan Mpu Badandan segera menuju tepi laut. Mereka menunggu karena dugaan yang muncul dalam benak mereka bahwa orang yang datang adalah Gagak Panji. Sekejap kemudian bayangan yang bergerak sangat cepat itu menjadi semakin jelas terlihat.
“Pertarungan belum selesai sepenuhnya. Seseorang datang untuk menghentikan mereka. Lalu, berita apakah yang akan dikabarkan Gagak Panji?” tanya Hyang Menak pada dirinya sendiri.
Mpu Badandan yang mendengar gumaman itu kemudian berkata, “Mungkin seseorang akan terluka atau terbunuh apabila perkelahian tetap dilanjutkan, Hyang Menak. Namun, kembalinya Gagak Panji dengan selamat dari perang tanding adalah karunia yang luar biasa, meski sebagian orang tidak akan suka melihatnya.”
“Betul, Mpu. Betul yang Anda katakan.”
“Gagak Panji!” seru seseorang dan agaknya Semambung adalah orang pertama yang menyebut nama senapati pilihan itu dengan lambaran tenaga inti sehingga ramai orang yang mendengarnya. Tak pelak, nama Gagak Panji menggaung dan memenuhi udara di seluruh hamparan pasir putih Panarukan.
Wajah Semambung begitu sumringah. Sorot matanya tidak menyembunyikan kegembiraan ketika meraba dua lengan dan memeriksa punggung karibnya. Lantas ia berkata, “Engkau sepertinya tidak mempunyai luka-luka, Pangeran.”
Sejenak Gagak Panji memandang Semambung, kemudian bicara lirih, “Kita harus bersiap dengan sesuatu yang lebih besar.”
“Saya berada di belakang Pangeran,” kata Semambung tegas.
Mpu Badandan sudah mencapai setengah jalan dari jarak sebelumnya mendekati Gagak Panji. Orang yang dituakan di Blambangan itu telah berbekal dengan penilaian yang akan dikeluarkannya bila muridnya meminta pertemuan khusus.
Ketika Gagak Panji tegak berdiri di hadapan banyak orang, sebagian senapati belum dapat memahami perkembangan yang akan terjadi. Mereka masih terpesona dengan pertarungan langka yang terjadi di atas samudera. Beberapa orang memaksakan diri untuk kembali meraih kesadaran bahwa mereka sedang dalam keadaan berperang. Namun demikian, keriuhan yang meletus karena Gagak Panji dapat selamat dari perang tanding masih berputar-putar di sekitar mereka.