Padepokan Witasem
arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak
Bab 10 Lamun Parastra Ing Pungkasan

Lamun Parastra Ing Pungkasan 10

“Terima kasih, Ki Tumenggung,” kata Ki Wirya Sentanu sambil membungkuk hormat. “Tuan Senapati Blambangan sekalian,“ lanjutnya kemudian, “kita mesti tahu bahwa tidak ada adipati yang keberatan dengan sikap Demak. Tidak ada adipati yang tidak sejalan dengan siasat yang disarankan oleh Pangeran Tawang Balun. Dengan kepatuhan para adipati pada arahan Pangeran Tawang Balun, sesungguhnya kita telah meraih kemenangan.”

Sejumlah senapati bertukar pandang, sesekali menatap Ki Wirya Sentanu dengan tatapan tidak mengerti. Menang? Bagaimana dapat terjadi? Tak lama setelah itu, kegaduhan pun merebak. Suara-suara dengan nada bertanya menggema dan memenuhi seisi ruangan.

Hyang Menak Gudra memberi tanda, meminta Mpu Badandan untuk mengambil alih kendali pertemuan. Kemudian kata Mpu Badandan, “Kita atau para adipati sama sekali tidak menanggung beban-beban yang seharusnya ada karena peperangan, kecuali di Panarukan. Pertempuran di Laut Jawa masih belum dapat diperkirakan waktunya. Kapan perang laut usai? Saya tidak tahu, begitu pula Hyang Menak maupun Raden Trenggana. Tetapi, sekali lagi, dengan tidak adanya beban yang kita tanggung di daratan, maka Demak adalah pihak yang membayar semua biaya yang ditimbulkan. Kita tidak tahu, apakah kelak akan terjadi perselisihan di antara kalangan dalam istana Demak? Kita tidak tahu, apakah akan ada adipati yang melihat sasat kita sebagai keuntungan lalu menyerang Demak? Namun, segala yang terjadi pada Demak di kemudian hari adalah kemunduran dan itu diawali pada hari ini, sekarang, terlepas dari akibat-akibat yang disebabkan pertempuran di Laut Jawa.”

Ki Tumenggung Prabasena serta merta bertepuk tangan, memekikkan gelora kemenangan meski sebelumnya ia benar-benar gusar dengan pembuka kata Ki Wirya Sentanu. Para senapati lantas berdiri lalu menggaungkan irama yang melambangkan keberhasilan dan kejayaan Blambangan.

loading...

Dalam waktu itu, Gagak Panji memandang perkembangan di depannya dengan wajah datar. Senapati ini tidak larut dalam kegembiraan. Gagak Panji tahu bahwa gejolak hebat di perairan belum usai.

Wayah bocah sirep.

Pertemuan telah dibubarkan.

Para pemimpin perang bergegas kembali pada pasukan masing-masing dengan sebuah siasat yang akan digelar esok hari.

“Bagaimanapun, meski Gagak Panji adalah senapati Demak tetapi ia bertempur untuk Blambangan karena perbedaan pendapat dengan Raden Trenggana. Begitu pun Ki Tumenggung Prabasena yang menolak kehendak Raden Trenggana dan memerintahkan pasukannya untuk berdiam di Pegunungan Kendeng,” kata Mpu Badandan seusai pertemuan.

“Tentu sulit bagi mereka jika harus berhadapan dalam laga. Mereka adalah kerabat dekat dan usia mereka pun tidak terpaut begitu jauh. Ki Tumenggung datang ke Blambangan karena resah dengan persoalan batin Gagak Panji,” Hyang Menak Gudra bersuara lirih.

“Apakah beliau berkata pada Hyang Menak?”

Hyang Menak Gudra mengangguk, lalu katanya, “Pada awal pertemuan kami, di ruang kerja saya, beliau mengungkapkan perasaan.” Sejenak ia berdiam diri. Lanjutnya kemudian, “Semoga keputusan kita untuk tidak melibatkan Ki Tumenggung Prabasena di perairan dapat diterima beliau dan Gagak Panji sendiri.”

“Semoga,” ucap Mpu Badandan sambil menarik napas dalam-dalam. “Perasaan mereka sepertinya lebih ringan dalam menghadapi pertempuran melawan paman sendiri.”

“Yah, sepertinya perbedaan itu telah mengusik hal-hal yang mendasar.”

“Benar. Saya menerima lembaran yang dikirimkan oleh Pangeran Parikesit. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya Gagak Panji dan Ki Tumenggung tidak keberatan apabila Demak melakukan pendekatan yang berbeda. Mereka hanya menolak cara keras. Tetapi, mau tidak mau, terpaksa atau sukarela, mereka berdua terseret juga dalam kekerasan pada akhirnya.”

“Mpu, saya pikir akan benar-benar sulit, dan sungguh, akan menjadi lebih terjal jika ada cara yang lain. Namun angin timur tetap berhembus dan menerbangkan benih-benih tumbuhan yang akan mendarat tanpa setahu kita.”

“Benar. Selalu ada orang yang mempunyai rencana dan perasaan yang berbeda dengan kita.”

Bulan tumanggal menjadi pandangan alam yang disaksikan Gagak Panji dan Ki Tumenggung Prabasena. Mereka berdiri berdampingan dengan hamparan laut yang penuh dengan kerlip cahaya dari banyak kapal.

“Mungkinkah Paman Trenggana akan turun laga esok pagi?” tanya Ki Tumenggung Prabasena. Perasaannya tidak cukup tenang karena seharian hanya berpangku tangan melihat Gagak Panji bertarung seorang diri. Di masa lalu, Ki Tumenggung Prabasena adalah senapati yang dapat bergantian peran dengan Gagak Panji. Meski Demak memberinya kedudukan sebagai senapati utama, tetapi bila keadaan menyimpang dari rencana, maka mereka berdua dapat bertukar tempat untuk mencairkan siasat. Kali ini, wajar bila Ki Prabasena tidak diberi wewenang oleh Mpu Badandan mengingat kedudukan lelaki itu adalah petinggi Demak. Di samping itu, Mpu Badandan mengerti bahwa Ki Tumenggung Prabasena datang untuk memberi dukungan dan bantuan pada Gagak Panji, bukan berperang untuk Blambangan. Ini adalah sikap yang dihormati oleh Mpu Badandan maupun Hyang Menak Gudra.

Wedaran Terkait

Lamun Parastra Ing Pungkasan 9

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 8

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 7

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 6

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 5

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.