Di sebuah padesan yang tidak begitu luas, Pedukuhan Liprak, sejumlah orang duduk melingkar. Mereka bertukar pikiran tentang rombongan yang tidak dikenal itu.
“Apakah salah seorang dari kita dapat mengenali asal mereka?” bertanya seorang perwira sandi Blambangan.
“Cukup sulit sebenarnya untuk memperkirakan asal dan tujuan mereka. Kita tidak mendengar kekacauan atau kegaduhan yang disebabkan kehadiran mereka. Sepintas dari cara mereka berjalan dan senjata-senjata yang terlihat, aku kira mereka adalah serombongan prajurit. Namun sulit memastikan, apakah mereka berasal dari Demak, Jepara, Cirebon atau Lasem? Walau pun ada kecenderungan bagiku untuk mengatakan mereka adalah bagian dari prajurit Demak yang saat ini sedang berkumpul di lereng Tengger,” sahut seorang rekannya.
“Andaikan pendapat itu benar, mungkinkah terjadi perpecahan di antara mereka?”
“Kemungkinan selalu ada, tetapi sebaiknya kita tidak terlalu jauh menarik sebuah kesimpulan. Tetapi, baiklah, andaikan mereka pecah pendapat, lalu apa yang menjadi tujuan pasukan yang sedang menyamar itu?” tanya seorang lurah prajurit yang bertubuh gempal.
Suasana pun menjadi senyap. Masing-masing orang tenggelam dalam pikiran yang mengelana untuk menghubungkan perpecahan dan tujuan iring-iringan yang menyamarkan jati diri itu.
“Barangkali satu-satunya jalan untuk mengetahui tujuan mereka adalah dengan membayangi perjalanan mereka. Kita dapat melakukan pengamatan tanpa dapat diketahui oleh orang-orang dari rombongan itu. Kita mempunyai kelebihan yang tidak mungkin dapat mereka samai, pengenalan wilayah,” kata orang pertama yang berpangkat perwira. Ia menatap satu demi satu wajah pemimpin sandi yang hadir dalam pertemuan itu. Ketika tidak ada orang yang menyatakan pendapat, perwira yang tidak lagi berusia muda itu lantas melanjutkan, “Aku akan menjadi orang pertama. Aku akan menempatkan sejumlah orang pada titik-titik tertentu. Namun kalian harus mendahului pergerakan kami melalui jalur yang berbeda. Kita gunakan kuda dan berpacu penuh agar segera tersambung hingga barak pasukan tempat Hyang Menak Gudra dan Ki Rangga Gagak Panji berada.”
“Aku tidak keberatan dengan gagasan ini,” ucap perwira bertubuh gempal, ”maka, biarkan kami yang berada di depan.” Perwira ini lantas bangkit kemudian meneruskan, “Apakah kita dapat sepakat dengan cara ini?”
Para pemimpin sandi akhirnya menilai bahwa tidak ada lagi jalan yang lebih baik dari pada usulan perwira pertama. Mereka sepakat dan persiapan singkat pun segera dilakukan. Demikianlah para petugas sandi segera berbagi tugas untuk membayangi, mengintai lalu menyampaikan laporan secepatnya pada Hyang Menak Gudra, Gagak Panji atau orang lain yang dipandang penting dalam susunan keprajuritan Blambangan.
Tidak butuh waktu lama bagi para petugas sandi Blambangan untuk membayangi pergerakan pasukan Dasa Manah pimpinan Ki Danupati. Mereka cukup cepat memintas jalan dengan menembus kelebatan hutan, menuruni ngarai, menyisir bibir sungai uncuk mencapai tempat-tempat yang telah ditetapkan sebagai gardu penghubung.
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa hari, maka pasukan Dasa Manah dapat melihat garis pantai dari celah pegunungan kembar yang bersebelahan dengan Gunung Raung. Namun mereka tidak mengetahui bahwa kabar kedatangan mereka telah sampai pada pendengaran pemimpin prajurit Blambangan yang sedang menunggu keputusan Raden Trenggana.
Sementara itu, setelah terjadi pembicaraan singkat dengan Gagak Panji dan Pangeran Tawang Balun, Raden Trenggana memerintahkan para senapati agar berkumpul di ruangan yang cukup besar di bawah geladak kapalnya.
Pandang mata bertanya memenuhi ruangan yang cukup luas dengan dinding yang sulit ditembus lontaran besi panas Blambangan. Para perwira belum mengerti tujuan Raden Trenggana meski banyak dugaan yang muncul dalam lintasan jalan pikiran mereka. Tidak ada suara berbisik-bisik yang menggaung seperti dengung lebah hingga Raden Trenggana mengawali pertemuan.
Setelah mapan menata diri dan pikiran, Raden Trenggana berkata, “Kalian telah melihat bahwa pertarunganku belum selesai. Kalian pun dapat menilai bahwa belum ada orang yang unggul dalam perkelahian itu. Meski ada kecenderungan di hati kalian, dan aku yakin itu pasti ada, maka aku katakan bahwa Pangeran Tawang Balun menyuruh, mungkin tepatnya adalah meminta kita berdamai dengan Blambangan.”
Seketika keadaan pun menjadi gaduh. Bagaimana mungkin Raden Trenggana tiba-tiba menyurutkan niat jika dibandingkan dengan semangatnya yang berapi-api pada beberapa pekan silam? Pikiran para senapati Demak pun penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang senada dengan itu.
“Raden,” kata Ki Tumenggung Wadas Palungan, “pertempuran masih jauh dari kata akhir. Korban–korban masih berjatuhan walau tidak separah yang kita bayangkan. Tetapi, apakah pertemuan ini dapat memberi arti penting bagi perkembangan jiwani pasukan? Yang saya maksudkan adalah semangat dan ketahanan jiwani prajurit akan runtuh seketika lalu memandang buruk pada keputusan Raden.”
“Itu akan menjadi catatan penting,” kata Raden Trenggana. “Namun Ki Wadas Palungan juga wajib memandang tawaran damai ini dari sisi yang lain. Kita, orang-orang Demak, bukan segolongan orang yang haus darah dan gila pada kekuasaan. Mungkin dalam benak kita, di alam bawah sadar kita, kita mempunyai keinginan untuk mengembalikan kejayaan Majapahit. Aku tidak menampik jika itu memang tidak mungkin terungkap nyata. Aku katakan pada kalian bahwa perang segera berakhir tanpa ada pemenang. Lalu? Sebagian dari kita, pasti, berat menerimanya.”