Mungkinkah? Ini adalah pendapat dari sebagian kecil orang, termasuk Mpu Badandan. Guru Gagak Panji lebih cenderung berpendapat bahwa Demak akan lebih kuat bila bersedia menarik mundur angkatan perangnya. Rasa hormat dan keseganan akan terbit dengan sendirinya dari para adipati yang dahulu menjadi bawahan Majapahit. Namun, lagi-lagi, keraguan masih kuat menyergap dengan pertanyaan : mungkinkah Raden Trenggana berkenan melonggarkan tekanan? Atau Gagak Panji tiba-tiba melambaikan tangan untuk menyerah?
Waktu cenderung bergulir lebih cepat ketika ketegangan makin memuncak. Kedudukan Gagak Panji belum bergeser. Ia masih berada di atas perahu ketika matahari beranjak turun. Demikian pula Raden Trenggana yang tegak mematung dengan sorot tajam pada lawannya. Masing-masing bersikap seperti pemangsa yang sedang menunggu kelengahan korban walau sebenarnya tidak seperti itu. Dua panglima tinggi mempunyai alasan lain di balik kebekuan mereka. Sesungguhnya mereka sedang bertarung pada tingkat jiwani yang sulit dibayangkan. Pikiran dan perasaan mereka saling menggempur di tengah badai yang bergolak di dalam hati masing-masing.
Dalam pertimbangannya, bila Raden Trenggana memutuskan untuk menyerang terlebih dulu, itu memiliki arti bahwa Raden Trenggana sudah kalah dalam ketenangan. Hal ini menjadi landasan pemikiran bagi Gagak Panji. Maka, dua orang tersebut tidak terburu-buru untuk menyerang atau melakukan penjajagan ilmu. Walau demikian, setiap orang dapat merasakan bahwa ketegangan sama sekali tidak berkurang. Meski terlihat beku dan hanya mematung, dua orang itu tetap menebar ancaman yang mengerikan.
Sehari hampir berlalu pada saat cakrawali beralih menjadi jingga. Para prajurit dan senapati, baik dari Demak maupun Blambangan benar-benar tampak linglung dengan pemandangan yang tidak ada perubahan sama sekali. Pemandangan yang tergelar di depan mereka hanya Gagak Panji yang berdiri di atas perahu yang berseberangan dengankapal perang Raden Trenggana. Orang-orang Demak dan Blambangan merasakan hal yang sama ; kaki dan tangan, punggung dan leher yang sama-sama kaku karena menunggu. Tidak ada yang dapat mereka kerjakan selain menunggu aba-aba serang dari panglima mereka. Tetapi, sepanjang hari itu, dua panglima mereka masih berjibaku dengan pergolakan batin yang luar biasa. Cukup melelahkan.
Mpu Badandan berpaling pada Hyang Menak Gudra, lalu berkata, “Gagak Panji sepenuhnya telah bersiap menerima serangan. Begitu pula Raden Trenggana.”
“Namun agaknya mereka masih teguh berpegang pada aturan yang tidak tertulis. Menyerang adalah kelemahan,” sahut Hyang Menak Gudra.
“Betul.” Mpu Badandan mengangguk setuju. “Dan juga tidak menutup kemungkinan bahwa kedua masih ewuh atau segan satu sama lain.”
Tiba-tiba Untara berpaling padanya, katanya, “Tidak ada satu dari kita berdua yang akan mengira bahwa rumah ini akhirnya menjadi begini.” Untara menyodorkan tangan ke depan dan menyapu pada arah seluas bangunan. Kiai Plered
Hyang Menak Gudra menanggapinya dengan gumam yang penuh arti. Permukaan laut tampak berkilau. Hyang Menak sadar dan ia memang memahami keadaan rumit yang membelit paman dan keponakan yang akan terlibat perang tanding yang menentukan. “Mpu, setiap orang akan menangkupkan tangan lalu mendesiskan seruan-seruan yang tidak mungkin dapat kita dengar. Ada yang menginginkan Raden Trenggana dapat keluar sebagai pemenang. Mungkin ada pula dari orang-orang Demak yang menerbangkan harapan Raden Trenggana akan jatuh sebagai pecundang. Kita sedang berdiri di tengah lembah yang diapit oleh dua gunung yang sama-sama tegar dan tinggi. Dua gunung yang mempunyai perbedaan jenis hewan di dalam hutan masing-masing, tetapi kita hanya sanggup memandang sambil menilai berdasarkan yang terlihat di permukaan.”
“Hyang Menak,” kata Mpu Badandan, “setelah perang ini berakhir, apakah kita masih dapat melihat diri kita sebagai manusia?”
“Setiap hati akan mempunyai alasan yang diyakini dapat membenarkan tindakan. Perang adalah jalan kekerasan yang harus dibuka untuk kemakmuran,” ucap Hyang Menak lirih. Ia menambahkan kemudian dengan suara yang nyaris tidak terdengar, “Namun tidak semua harus menempuh jalan senjata.”
“Dan di sini kita berada. Tanpa ada jalan kembali untuk memperbaiki segalanya.”
“Hanya menapak maju dengan pembenahan-pembenahan yang tentu masih akan mempunyai ruang untuk perselisihan baru.”
“Meski kita sama-sama tidak menghendaki perang, tetapi keadaan ini adalah yang terbaik bagi Demak dan Blambangan. Meski kita semua akan merugi dan mungkin musibah belum berhenti hingga bertahun-tahun mendatang, tetapi inilah kenyataan yang terjadi hari ini.”
Hari memasuki petang. Langit telah mengepakkan sayap berwana hitam. Mendung datang bergumpal-gumpal dan matahari semakin tenggelam. Wajah Gagak Panji belum menampakkan kelelahan, begitu pula Raden Trenggana. Ribuan pasang mata mulai mengendurkan saraf-saraf yang tegang, Mereka berpikir pertempuran hebat tidak akan dilakukan dua panglima mereka di bawah langit gelap.
Gagak Panji melambaikan tangan.
Raden Trenggana membalas dengan cara serupa.
Bagi angkatan perang Blambangan, gerak tangan Gagak Panji adalah tanda bahwa mereka harus mulai bergerak. Sejalan dengan itu, barisan kapal perang Blambangan pun membelah diri menjadi dua kelompk yang bergerak ke arah berlawanan. Mereka beralih ke kiri dan kanan, kemudian maju perlahan hingga mencapai batas yang diperkirakan belum masuk jangkauan senjata Demak. Kapal-kapal perang Blambangan menjadikan bagian lambung sebagai benteng lapis pertama yang harus ditembus jajaran perang Demak. Ini adalah kesulitan tersendiri. Dua angkatan perang itu sama-sama memiliki kapal berukuran besar dan berlapis-lapis papan yang terbuat dari kayu yang kokoh. Lontaran batu apo baru dapat merusak papan terluar bila dibidikkan berulang pada titik sasaran yang sama.