Di atas permukaan laut, laju Gending Pamungkas seperti tidak tertahan oleh sesuatu pun. Bahkan batu karang sebesar kapal pun akan hancur lebur oleh dorongan angin dari ilmu Pitu Sungsang. Sepasang kaki Gending Pamungkas menyibak badan air sementara tubuhnya melayang seolah terbang menerjang Gagak Panji. Kehebatan ilmu Pitu Sungsang, meski selintas seperti menjejak ringan, namun akibat yang ditimbukannya sangat dahsyat. Setiap kali kakinya menjejak permukaan laut maka sebuah lubang tercipta sehingga air yang tadinya terhempas melingkar tiba-tiba kembali mengisi lubang besar itu dengan kekuatan berlipat. Sehingga yang terjadi kemudian adalah gelombang besar tak beraturan menjadikan lingkar pertempuran semakin luas dan dijauhi oleh kapal-kapal perang.
“Gending Pamungkas!” Gagak Panji lekat menatap kelebat bayangan yang meluncur deras pada tempatnya berpijak di atas bilah papan.
“Gagak Panji! Kita akan bertarung dalam keadaan sesungguhnya. Tak ada lagi pengadil yang akan melerai dan memberi penilaian. Aku telah bersumpah pada diriku sendiri untuk mengakhiri petualanganmu.”
“Jika kau merasa pantas, lakukanlah!”
Gending Pamungkas berpijak pada bilah papan sekokoh dan setegak karang ketika Gagak Panji beringsut setapak. Dua orang – yang pernah menjalani kehidupan di barak prajurit Demak dan memperoleh gemblengan keras dari senapati pelatih – kini saling berhadapan dan siap saling menyerang.
“Sebuah tindakan tak bersusila ketika seseorang dengan sengaja mencampuri kepentingan penguasa Demak. Sepantasnya ia harus dihukum mati,” ketus Gending Pamungkas berkata.
“Kau sedang bicara keadilan atau kepantasan?”
“Bahkan aku adalah seorang pengadil pada hari ini dengan kewenangan yang hanya dibatasi oleh kekuasaan Raden Trenggana.”
Gagak Panji menyilangkan dua tangannya di balik pinggangnya. Katanya, ”Engkau tentu berharap sebuah kemuliaan sebagai buah keberhasilan saat kau berikan kepalaku padanya.”
“Aku tidak berpikir seperti itu,” sahut Gending Pamungkas, ”anugerah dari Demak tidak sepatutnya ada dalam benakku pada saat seperti sekarang ini.”
“Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan,” kata Gagak Panji. Kemudian lanjutnya, ”Tetapi kau menuduhku telah mencampuri urusan Demak dan itu, menurutmu, adalah perbuatan yang melampaui batas.” Sekilas Gagak Panji menatap air yang bergolak di bawah kakinya.
Gending Pamungkas sedikit mengangkat dadanya lalu berkata dengan kepala tengadah, ”Kau sungguh beruntung masih dapat hidup setelah malam kau berbicara dengan Raden Trenggana.”
“Seperti yang kau lihat saat ini.”
“Malam itu adalah sebuah malam saat hukuman tidak dapat diselesaikan. Yang Mulia membuat keputusan keliru dengan membiarkanmu hidup dan kembali pada orang-orangmu.” Jemari Gending Pamungkas mengepal rapat. Dalam waktu sebelumnya, ia merasa heran dengan keputusan Raden Trenggana saat mengizinkan Gagak Panji memasuki bilik khususnya. Sementara di sisi lain, ia merasa bahwa dirinya memiliki kepantasan untuk berbicara dengan penguasa Demak itu di bilik khusus selama masa peperangan. Tetapi tidak sekalipun Raden Trenggana memanggilnya dan berbincang empat mata di dalam bilik khusus. Tidak ada seorang pun perwira prajurit Demak yang pernah mendapat perlakuan khusus selain Gagak Panji. Maka perasaan yang mengganjal itu semakin menjadikannya pepat. Ketika santer terdengar Gagak Panji merancang gerakan untuk menyingkarkan Raden Trenggana dari takhta, Gending Pamungkas merasa bahwa ia telah memperoleh waktu yang tepat untuk mengakhiri petualangan Gagak Panji.
“Pada saat ucapan tak lagi dapat menyelesaikan sebuah persoalan, maka kekuatan akan datang menggantikannya. Aku tidak akan berbelas kasih padamu meski kita pernah mengalami masa sulit bersama-sama,” lirih Gending Pamungkas saat menggetarkan bibirnya.
“Jangan pernah sesali keputusanmu pada hari ini, siswa terlatih,” sahut Gagak Panji dengan nada yang cukup untuk memancing kemarahan Gending Pamungkas. Gagak Panji seolah mengingatkannya pada masa pendadaran. Gending Pamungkas adalah prajurit yang diwisuda oleh pemimpin Demak dengan nilai terbaik.
“Tidak akan ada setetes darah dan air mata darimu yang akan keluar lalu berbaur dengan air laut yang bergolak ini, Gagak Panji. Dan tak akan ada seorang pun di Demak yang akan bertanya tentang keberadaanmu,” kata Gending Pamungkas yang mulai bersiap untuk kemungkinan yang dapat saja diberikan oleh Ki Rangga Gagak Panji. Ia tahu bahwa tandang Gagak Panji dengan tangan kosong telah mencapai batas tertinggi.
“Aku tidak mengenal mereka,” sahut Gagak Panji. Sewaktu ia mengucapkan itu, wajah kecil Pangeran Benawa membayang di pelupuk matanya. Ia tahu anak lelaki itu akan bertanya pada ibunya tentang seorang rangga yang bernama Gagak Panji. Gelak tawa Pangeran Benawa seperti jelas terdengar olehnya saat itu, tawa riang seorang bocah ketika untuk pertama kali mengarungi aliran sungai yang deras di kaki sebuah bukit sebelah utara kraton Pajang. Sorot keberanian dari wajah ceria terpapar jelas memancar dari Pangeran Benawa. Ia menutup hatinya seraya menegaskan kata-katanya, ”Aku tidak peduli dengan mereka, Gending Pamungkas!”
Satu hentak kaki kemudian dilakukannya, mendadak tubuh Gagak Panji melesat pada kapal yang berada di sisi kanan.
“Sial!” seru Gending Pamungkas yang semula mengira bahwa Gagak Panji akan menyerang dirinya dan perkelahian akan terjadi di atas bilah papan yang mempunyai panjang seukuran kaki orang dewasa. Namun yang dihadapinya adalah Gagak Panji yang mempunyai banyak siasat yang sukar ditebak. Sebagai seorang pemimpin prajurit yang berwawasan luas dalam peperangan, Gagak Panji mempunyai perhitungan yang berbeda. Ia harus menempatkan diri sebagai jangkar bagi seluruh pasukan yang dipimpinnya. Sebuah kapal perang Demak yang mengalami kebakaran menjadi pilihan bagi Gagak Panji untuk menuntaskan dahaga Gending Pamungkas, yang berkeinginan kuat untuk menyudahi hidupnya.