“Aku masih mempunyai jalan keluar,” desis Gagak Panji dalam hati.
Namun tidak demikian dengan Raden Trenggana. Pemegang kekuasaan tertinggi di Demak itu membuka ruang berpikir yang lain dengan lawannya. Kalah memang bukan pilihan, tetapi menundukkan Gagak Panji pun nyaris mustahil, pikirnya sesaat. Maka dari itu, Raden Trenggana cenderung untuk menunggu kelanjutan dari gebrakan Gagak Panji yang sangat mengejutkannya.
Ini bukan masalah yang mudah bagi mereka.
Bagi Raden Trenggana, membunuh Gagak Panji sudah dapat dipastikan menjadi kewajibannya ketika menghukum para pembangkang. Perang tanding adalah jalan yang akan ditempuh oleh orang-orang gagah pada masa-masa sebelumnya. Namun pertanyaan sulit segera menghuni ruang pikirannya. Apakah ia mampu membenamkan Gagak Panji? Kekuatan inti Suwung Bawana memang belum terhentak sampai titik tertinggi, tetapi Raden Trenggana telah mendapatkan gambaran mengenai akhir perkelahian jika mengetrapkan Suwung Bawana dalam menghadapi keponakannya itu. Di samping itu, Raden Trenggana terikat oleh hubungan batin yang sangat erat dengan Gagak Panji. Lelaki – di masa awal keprajuritan – yang banyak membantunya menyusun aturan-aturan persandian dan pengembangan gelar perang. Apakah ia akan begitu mudah melupakan jasa baik Gagak Panji yang dikenalnya sangat patuh padanya?
Di lain sisi, mungkinkah Gagak Panji akan tega mengakhiri hidup orang yang terhitung paman? Perselisihan mereka timbul karena perbedaan pendapat, namun itu bukan alasan yag kuat untuk mengakhiri segalanya dengan pertumpahan darah. Dalam satu bagian, mereka sepakat mengenai tentang ketenangan dan kedamaian di seluruh wilayah Demak. Tidak ada alasan untuk melahirkan kebencian jika tetap mengenang kemurahan dan kebaikan hati Raden Trenggana, demikian isi pikiran Gagak Panji. Penampakan rasa bermusuhan pun tak pernah ia tampilkan di depan khalayak ramai. Bahkan, Gagak Panji juga tidak pernah membiarkan hatinya mengizinkan rasa benci pada Raden Trenggana dan Demak.
Dalam waktu itu, ketika banyak orang cemas dan gelisah mengenai keadaan dan menduga-duga keberadaan mereka, Raden Trenggana dan Gagak Panji sedang melayang-layang di bawah permukaan air dalam keadaan sama-sama bersiap untuk meneruskan perang tanding. Tidak ada pancaran tenaga yang keluar dari dua orang itu. Ini yang disebut oleh banyak orang linuwih sebagai ada tetapi tiada.
Untuk pertarungan berikutnya yang mempunyai kemungkinan akan pecah di bawah permukaan laut, dua orang berkepandaian tinggi sedang berhitung dengan seksama. Pelepasan lapisan puncak dari ilmu Bumi Handaru dan Suwung Bawana harus disertai ketepatan dan kecermatan yang sangat rumit. Sekali salah membuat keputusan atau mengambil langkah keliru, maka bukan tidak mungkin salah satu dari mereka akan terlempar ke permukaan dalam keadaan mengenaskan.
Kemampuan meringankan tubuh seperti yang mereka kerahkan ketika berkelahi di permukaan air tidak lagi dapat bekerja baik di bawah air. Kerapatan air adalah penghalang terbesar untuk segala pengerahan, baik kecepatan maupun kekuatan apabila tidak benar-benar sanggup mengenali watak dan sfat air. Mereka akan kesulitan merapatkan telapak kaki pada dasar laut bila tubuh masih gelembung-gelembung udara. Namun bila mereka melepaskan semua udara yang terkandung badan, tentu itu akan menjadi kebodohan yang sulit dimengerti. Mereka akan mati sebelum pertempuran berlanjut!
Seketika sepasang lengan mereka bekerja sebagaimana sirip pada tubuh ikan. Berayun dan tak jarang mengepak seperti gerak sayap burung camar.
Kaki Gagak Panji menyepak. Tubuhnya terlihat seperti terbang, melesat deras seperti besi yang dilontarkan dari ujung meriam, dengan sepasang lengan yang berayun ke depan. Air bergelombang di bawah permukaan, menghantam Raden Trenggana dengan kekuatan yang tidak dapat diperkirakan!
Cukup hebat, sangat hebat, maha dahsyat!
Raden Trenggana sedikit goyah namun kekuatan inti Bumi Handaru tidak dapat menyentuhnya. Meski demikian, Raden Trenggana tidak dapat membiarkan tubuhnya tergulung ombak yang datang berpusar dengan lingkaran panjang yang sanggup melubangi dasar laut sangat dalam. Dengan segala ketenangan yang mengendap dalam dirinya, Raden Trenggana menyambutnya dengan olah gerak yang bersumber dari ilmu Suwung Bawana. Sedikit menjauh dengan memanfaatkan sedikit dorongan air, lalu menjemput ujung pusaran ombak dengan jari mengembang.
Kekuatan ilmu yang terungkap pun tergelar sangat dahsyat!
Dasar laut berguncang hebat! Ledakan meninggalkan lingkaran berlubang yang cukup dipenuhi tiga kapal induk angkatan perang.
Seketika prahara di permukaan laut pun mengguncang setiap mata yang memandang. Menggetarkan hati setiap orang yang mendengar!
Angin topan melibas barisan angkatan perang Demak dan Blambangan. Gelombang hebat datang melanda dua pihak tanpa pertimbangan. Dorongan angina menghempas banyak kapal perang sehingga mereka kehilangan kendali. Saling bertubrukan tanpa dapat memilih kapal kawan atau lawan.
Dua tubuh dengan pakaian basah tiba-tiba berkelebat, melesat tinggi dan lebih tinggi dari sepasang elang laut yang sedang berkejaran. Sekejap kemudian, dua orang itu kembali saling berhadapan dengan kaki berada di atas serpihan papan yang mengapung. Raut wajah lelah terpancar dari mereka. Sepasang mata beradu pandang. Saling mengadu kekuatan jiwani yang sesungguhnya lebih hebat dari ilmu kanuragan. Sepasang mata beradu pandang tanpa berkedip. Mereka tidak membagi kekuatan agar tetap mengapung dan membuat pertahanan. Mereka benar-benar seperti mengabaikan keadaan sekitar yang porak poranda dan sangat gaduh dengan lengkingan kata pertolongan. Udara penuh berisi kata-kata bernada perintah, pekik kemarahan dan kesakitan. Setiap orang menyatakan isi hati karena peristiwa yang sukar dibayangkan.