Padepokan Witasem
arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak
Bab 10 Lamun Parastra Ing Pungkasan

Lamun Parastra Ing Pungkasan 25

Kekacauan semesta mulai mereda dan semakin reda seiring matahari yang menggelincirkan diri di balik mendung yang tipis bergantungan pada kaki langit.  Dengan sorot mata tajam, Pangeran Tawang Balun memandang Gagak Panji yang berdiri tegak di atas sebilah papan. “Apakah engkau telah memikirkan sesuatu yang buruk dapat menimpa pamanmu?”

Gagak Panji menggerakkan kepala sambil berkata, “Saya dalam kedudukan sebagai seorang panglima perang, Eyang.”

“Mungkin engkau merasa benar dengan pendapat itu, tetapi, bagaimana dengan kelangsungan hidup banyak orang di daratan? Apakah engkau dapat menjamin mereka berdiam diri seandainya Angger Trenggana terbunuh olehmu?”

Gagak Panji menundukkan wajah. Ia tidak mempunyai bayangan untuk itu. Benar, apakah keluarga dekat Raden Trenggana tidak akan menuntut balas? Mengapa ia merelakan pikirannya dipenuhi oleh hak Arya Penangsang? “Ah, bukankah aku tidak pernah keberatan Paman Trenggana menjadi raja selama ia mengulurkan tangan damai?” sahut Gagak Panji dalam hatinya.

loading...

“Ikuti aku!” kata Pangeran Tawang Balun dengan nada tajam pada Gagak Panji.

Mereka berdua melesat depan dan belakang dengan cara yang tidak masuk akal, menaiki kapal yang disinggahi Raden Trenggana.

Angin berhembus dari buritan di bawah tatap sayu suasanya sedang beranjak senja.

Raden Trenggana bergeming sambil menatap kelebat dua orang yang mendekatinya. Pikirannya menapak tilas daerah-daerah yang menjadi taklukannya ; Wirasari, Gelang-gelang, Wirasaba serta banyak lagi. Namun, mengapa Blambangan begitu keras mengadakan perlawanan? Bukankah korban dan kerugian dapat dihindarkan bila mereka menyambut ajakannya? Sungguh, Raden Trenggana tidak dapat menduga sedikit pun alasan. Andaikan jika ada, mungkin itu tidak mendapatkan ruang yang cukup dalam pikirannya. Apakah mungkin ia tidak menjumpai cara lain yang lebih lembut ketika menarik Blambangan aga rterikat pada pengaruhnya?

“Mungkin ini tidak cukup dikatakan sebagai benturan keras atau beradu senjata saja. Mungkin ada ruang yang tidak dapat terjangkau olehku,” renung Raden Trenggana kemudian.

Beberapa senapati segera melingkari kedudukan Raden Trenggana ketika Pangeran Tawang Balun dan Gagak Panji telah berada di atas geladak kapal. Mereka bersiap dengan perintah penguasa Demak.

“Apakah kalian mampu membendung Gagak Panji? Menyingkirlah, jauhkan orang dari tempat ini,” perintah Raden Trenggana sambil bergeser maju menyambut dua tamunya yang berilmu tinggi.

Setelah bertegur sapa, Gagak Panji berkata tajam, “Blambangan tidak pernah meminta pertolongan  pada Demak. Sebagian orang-orang memenuhi penghidupan dengan berdagang, termasuk di antaranya adalah menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan saudagar-saudagar dari Demak. Ketika kami mendengar rencana Paman Trenggana, banyak saudagar bertanya, apakah mereka telah mencuri sesuatu dari wilayah Demak?”

Raden Trenggana menatap wajah Pangeran Tawang Balun. Namun lelaki sepuh itu seolah tidak menghiraukannya. Setelah menarik napas panjang, Raden Trenggana berkata, “Ada sebuah gagasan besar yang sebenarnya engkau pun telah mengetahuinya. Tidak cukup bagi kita untuk menapak bumi hanya berbekal sepatu kuda dan roda-roda kayu yang ringkih menyusuri jalanan. Orang-orang asing yang berbeda warna kulit dan bola mata telah menginjakkan kaki di tanah ini. Aku pikir itu adalah tanda dari sebuah gangguan yang akan datang. Kemudian aku ulurkan tangan, mengajak satu demi satu dari kalian. Sebagian bersedia, tapi engkau berbalik arah.”

“Tak elok memaksa Gagak Panji mengungkapkan segala hal yang terkait dengan Blambangan tanpa seorang pun yang mendampinginya,” ucap Pangeran Tawang Balun memotong pembicaraan yang sedikit mulai panas.

“Apakah Paman berkeinginan pembicaraan ini dilanjutkan di daratan?”

“Benar. Aku kira itu adalah jalan tengah yang akan kalian sepakati,” ucap Pangeran Tawang Balun. Sejenak ia berhenti, lalu melanjutkan lagi, “Angger Trenggana, engkau dapat membawa sejumlah orang sebagai penasehat maupun pendamping. Engkau pun dapat menyandarkan seluruh kapal perang pada dermaga atau membuang sauh di perairan dangkal. Blambangan tidak akan mendekati kalian.” Sambil berpaling pada Gagak Panji, Pangeran Tawang Balun menyambung, “Engkau dapat turun dari kapal. Tinggalkan kami lalu beritahu gurumu dan Hyang Menak tentang keputusanku ini.”

Gagak Panji merenungkan perintah Pangeran Tawang Balun, namun itu tidak berlangsung lama. Pangeran Tawang Balun berkata kemudian, “Tidak patut engkau mempunyai kecurigaan pada pamanmu. Perang ini bukan tujuan kita dari semula. Tidak pula Angger Trenggana menjadikan perang sebagai tujuan akhir. Aku yakin kita tidak sebodoh itu. Namun, tujuan sebenarnya dari Demak dan Blambangan dapat menjadi lebih terang dilihat bila kalian berada dalam  kedudukan yang sama.”

Gagak Panji mengangguk, lalu katanya, “Saya dapat menerima perintah Eyang, tetapi bagaimana saya dapat menghadapi ribuan prajurit Blambangan? Tentu mereka tidak akan berpikir bahwa pertempuran ini dapat berakhir begitu saja…” Gagak Panji mengibaskan lengannya mendatar, menyiratkan sesuatu yang tidak dapat dianggap. Lantas ia meneruskan ucapan, “Telah ramai dibincangkan orang-orang bahwa Demak akan datang dengan kekuatan yang sanggup meluluhlantakkan tanah yang diinjak telapak kaki mereka. Mereka pun mendapatkan bukti berupa senjata-senjata yang tersimpan di balik lambung kapal perang Demak, lalu, apakah saya akan berkata pada mereka, ‘Demak ingin berdamai.’

Wedaran Terkait

Lamun Parastra Ing Pungkasan 9

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 8

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 7

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 6

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 5

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.