“Tugas prajurit adalah pengabdian. Kesetiaan dan kepatuhan pada atasan tanpa syarat. Namun itu tidak dapat diberlakukan pada orang kebanyakan. Kita mempunyai paugeran yang sedikit berbeda. Maka dari itu, yang saya tekankan adalah cara kita dalam mencari. Sehingga mengumumkan secara terbuka lalu kabar pencarian disebarkan meluas adalah jalan untuk mengurangi beban jiwani orang Jati Anom. Sekarang, mari kita buang pikiran buruk itu jauh-jauh,” usai berucap demikian, Agung Sedayu menjelaskan dengan rinci rencananya. Tidak ada bagian yang tertinggal olehnya dan orang-orang terpukau. Sekalipun bayangan buruk dapat segera ditepis dari benak mereka namun tidak ada kata yang terucap. Mereka terpesona dengan paparan rinci dari Agung Sedayu.
Langit senja telah tiba di atas pedukuhan Jati Anom ketika Agung Sedayu mengakhiri penjelasannya panjang lebar. Lima orang dapat menarik napas lega dan berharap rencana itu dapat dijalankan oleh seluruh orang Jati Anom. Dalam waktu itu, Agung Sedayu juga mengatakan bahwa ia akan menemui para bebahu saat bintang telah menghiasi kolong langit. Demikian juga Prastawa dan Ki Lurah Sanggabaya yang memutuskan segera meninggalkan Jati Anom saat malam mulai mendatangkan gelap. Sedangkan Sabungsari, yang bertanggung jawab menyiapkan keperluan yang akan digunakan oleh pengawal pedukuhan, telah berpindah tempat di gudang prajurit.
Ketika melihat keadaan di dalam bilik telah menjadi sedikit longgar, Untara mengucapkan kata-kata yang ditujukan pada Agung Sedayu, “Walau rencana itu sulit dilakukan bila melibatkan kebanyakan orang dari Jati Anom hingga Sangkal Putung sampai Menoreh, tetapi aku melihat titik terang.”
“Iya,” Agung Sedayu mendesah. Ia beranjak bangkit lantas berkata, “Saya rasa harus meninggalkan barak ini untuk berbicara dengan para bebahu. Putusan ini memang sebaiknya lebih cepat mereka dengarkan sebelum pagi datang.” Ketika ia mengayun langkah ke pintu, Agung Sedayu memutar tubuh dan menghadap kakaknya seraya berujar, “Kakang. Bila sore nanti saya tidak mengirimkan pesan untuk Anda, itu berarti saya berada di Sangkal Putung. Saya mohon diri.”
Untara mengerutkan kening karena merasa aneh dengan suara adiknya yang dikeluarkan sedikit lebih keras. Permainan apakah yang baru saja ditunjukkan adiknya? Ia tidak melihat seorang pun yang tertinggal di lorong selain Agung Sedayu.Tidak ada desir kaki yang mendekati biliknya, tidak pula terdengar gesek daun telinga yang menempel pada dinding ruangannya. Ia tidak pernah, meski sekali saja dalam hidupnya, menerima kata-kata Agung Sedayu yang diucapkan keras kecuali di dalam medan perang. Namun, kali ini – di dalam rumah peninggalan orang tua mereka – Agung Sedayu seolah sengaja berbuat dursila. Dia mengucapkan itu dengan nada sedikit angkuh, bahkan cenderung merendahkan Untara. Untuk itulah Untara harus berpikir lebih keras agar dapat menangkap pesan yang ditujukan padanya. Dalam waktu itu Untara menduga adanya persekongkolan di dalam barisan prajuritnya.
“Mungkinkah ada penyimpangan di barak ini?” pikir Untara dalam kecamuk perasaannya semasa berjalan meninggalkan biliknya menuju ruang khusus untuk mengatur rencana bersama para senapatinya.
Agung Sedayu merasa hari terlalu cepat bergulir ketika malam menyambutnya di tanah lapang yang menjadi pekarangan depan rumah orang tuanya.Ia menoleh ke arah Merapi dan gelap begitu cepat menutup lembah serta celah perbukitan yang berada di bagian utara. Rintik air perlahan turun membasahi setiap jengkal tanah pedukuhan Jati Anom. Ia berjalan dengan langkah lebar serta mengenakan penutup kepala berbentuk lingkaran yang lebar.
Udara semakin dingin saat angin yang tidak begitu kencang merambah wilayah yang menjadi bawahan Mataram. Seseorang tampak berjalan di depannya. Sedikit keraguan menembul dalam pikiran Agung Sedayu. Apakah orang itu dapat mengenalinya di balik penyamaran pada malam hari dengan hujan yang agak deras? Meski pengalaman Agung Sedayu membuktikan bahwa sedikit penyamaran yang dapat terkuak bila terjadi hujan, tetapi kecurigaan akan meningkat. ”Seseorang telah berada di belakangku sewaktu percakapan di barak akan berakhir. Seseorang dengan kemampuan yang tidak lagi dapat dianggap lumayan tinggi. Ini bukan perkara mudah,” Agung Sedayu mendesis dalam hatinya. Pengetrapan sapta pandulu membuat Agung Sedayu dapat mengenali orang yang berjarak belasan langkah di depannya. “Ki Sentana,” ucapnya lirih.