“Benar,” kata Ki Tunggul Pitu, “engkau benar bahwa segala hal esok hari akan menjadi bagian masa lalu, meskipun belum kita kerjakan namun masa lalu adalah kepastian. Ki Rangga, sesungguhnya aku merasa kasihan padamu. Belum pernah aku temui keadaan sesulit yang kau pikirkan sekarang. Keadaanmu? Di sekitar pedukuhan ini telah dipenuhi orang-orang Raden Atmandaru. Kitab gurumu? Engkau tak tahu di mana. Dan adikmu? Betapa sial jalan hidupmu. Aku menduga bahwa engkau akan menumpahkan marah dengan membunuhku, tetapi saat kau bicara tentang keuntungan, di situ aku merasa senang. Bahwa engkau benar-benar bijaksana seperti kata orang-orang di seluruh tlatah Mataram.”
“Bukan itu yang saya pikirkan.” Kali ini Agung Sedayu bergeser setapak ke samping. “Keuntungan adalah satu dugaan yang muncul setelah Anda memperlihatkan keuletan, dan itu tercermin dari kata-kata yang Anda tebar pada malam ini. Tetapi saya yakin bahwa tidak mudah mencari dan menemukan kitab Kiai Gringsing.” Agung Sedayu memandang genangan air di bawah kakinya, suaranya sedikit bergetar, “Mungkin Swandaru sudah tidak bernapas lagi saat ini. Lalu keuntungan apa yang dapat saya berikan? Saya tidak mempunyai sesuatu yang lebih berharga sebagai pertukaran.”
“Jangan bodoh, Agung Sedayu,” tukas Ki Tunggul Pitu. “Kekuatan dan nalarmu yang tajam, keduanya mempunyai nilai tinggi di hadapan Raden Atmandaru.”
Agung Sedayu bergumam, “Pengkhianatan.”
“Sekali lagi, dan waktuku terbuang! Aku hanya bicara dengan lelaki manja,” sergah Ki Tunggul Pitu. “Khianat bukanlah perbuatan menjijikkan. Itu tergantung cara pikirmu, Tuan Senapati. Tidak ada kerugian bagi Mataram bila Anda berbalik badan. Aku pikir, itu tidak dapat dikatakan atau dinilai sebagai kejahatan. Agung Sedayu, kejahatan adalah kebaikan yang kau lakukan dengan mata terpejam. Ya, aku yakin kau mengerti.”
Meskipun ia ingin memanjangkan waktu untuk menguak keberadaan kitab gurunya dan Swandaru, Agung Sedayu tidak ingin rencana awalnya menjadi tertunda. Agak terburu, ia bertanya, “Benar, saya dapat menerima ucapan Anda. Dan sekarang, kitab guru ataukah Swandaru yang ada padamu?”
“Aku tidak mempunyai keduanya.” Tegas Ki Tunggul Pitu. Ia melambai, meminta Agung Sedayu lebih dekat padanya. Ia mengulang ucapannya, “Aku tidak mempunyai keduanya dan tidak tahu di mana keduanya berada.” Lurus dan tajam ia menatap mata Agung Sedayu. Mereka berdiri berhadapan. Mereka begitu dekat. Setengah langkah adalah bentang jarak di antara kedua orang itu.
Ki Tunggul Pitu mengambil sikap agung, kemudian melanjutkan dengan sungguh-sungguh. “Aku menginginkan kitab gurumu. Puncak kanuragan ada di sana, dan engkau telah mendengar jika aku tidak mengetahui keberadaan kitab itu. Namun, aku mempunyai jalan untuk mencari dan menemukannya, apakah engkau bersedia menemaniku?”
Raut muka Ki Tunggul Pitu memancarkan tekad untuk menolak jawaban tidak. Begitu kuat dan sangat kuat seolah selubung malam tersibak dengan kekuatan tekadnya.
Agung Sedayu tidak dapat menolak permintaan itu, tetapi bagaimana dengan Swandaru? Ia tidak dapat begitu saja membantu orang kepercayaan Raden Atmandaru sementara adiknya belum kembali ke Sangkal Putung. Pada malam itu, Agung Sedayu serasa berhadapan dengan seorang penjudi yang bertaruh sepanjang malam. Seorang penjudi yang mempunyai ketahanan sepanjang waktu untuk menjaga kedudukannya. Kekalutan datang menerjang senapati pasukan khusus itu.
“Aku tidak yakin dengan waktu yang akan Anda berikan bagiku untuk memikirkan persoalan ini. Namun begitu, aku ingin tahu, apakah Anda benar-benar telah bersiap dengan segala kemungkinan? Maksudku, Raden Atmandaru dapat memburu lalu membunuhmu. Tolong pikirkan itu! Saat ini aku kira sudah tiba waktunya untuk kembali ke Jati Anom.” Agung Sedayu mendongakkan wajah. Ia membuat gerakan seolah-olah akan berlalu dari lapangan itu.
“Tanpa keputusan?” Ki Tunggul Pitu bertanya seolah tidak yakin dengan sikap Agung Sedayu yang dirasakan olehnya seperti tidak mempunyai masalah. “Bila Anda berbalik badan sekarang, mungkin tidak akan ada yang dapat kembali ke Jati Anom.”
“Aku menganggap itu sebagai tantangan.”
“Oh, tidak, bukan itu maksudku. Tidak ada perkelahian karena aku sudah pasti membiarkan Anda pulang. Kitab Kiai Gringsing dan Swandaru tidak akan pernah Anda temui lagi. Saya anggap Anda tidak bersedia berteman dengan saya. Baiklah, saya juga tidak ingin memperlambat langkah Anda. Sebagai seseorang yang ingin berteman, saya tidak ingin menyulitkan Anda. Saya berniat baik tapi segalanya tergantung pada Anda, Ki Rangga.”