Aku melambaikan tangan padanya. Pemimpin pengawal rahasia itu kemudian berjalan dengan ayunan kaki yang mantap menuju tempat kami berada. Dia adalah wanita yang cukup lama tenggelam dalam pekerjaannya sebagai prajurit khusus di lingkungan istana ayahku. Bahasa tubuh yang cukup sopan dinyatakannya ketika sudah berada di sampingku. Dari sikap dan raut wajah yang terpampang di depanku, aku menyimpulkan bahwa Gita Nervati mempunyai wawasan cukup dalam menghadapi persoalan rumit terkait penyerangan yang dilakukan oleh orang-orang asing. Gita Nervati cukup tenang hingga aku memberinya tanda untuk bicara.
“Segalanya akan menjadi terang benderang, Sang Hyang,” kata Gita Nervati membuka ucapannya. “Kebanyakan dari prajurit dan pengawal akan bertanya-tanya tentang apa ini semua? Apa tujuan mereka menyerang asrama keputrian? Baiklah, pengetahuan saya telah membuat batasan untuk beberapa hal. Saya tidak tahu pasti alasan penyerangan dan tempat mereka bersarang di kotaraja. Kami akan melakukan penyelidikan tentang mereka. Di mana berkumpul? Siapa pemimpinnya? Dan semua yang menghubungkan atau mempunyai hubungan.”
Aku berpaling pada Wong Awulung yang diam tanpa mengucapkan sesuatu. Aku kira pikirannya telah penuh dengan pertanyaan yang bernada sama dengan kalimat Gita Nervati.
“Ya,” kata Wong Awulung sejurus kemudian. “Saya mengenali sedikit ciri-ciri mereka mengenakan kain. Ada sebagian tanda yang menguatkan keyakinan saya mengenai itu.”
Aku dan Gita Nervati menjuruskan pandangan lekat pada Wong Awulung. Menarik, pikirku.
“Mungkin kecurigaan saya juga mengarah pada daerah yang sama,” ucap Gita Nervati.
Aku tidak dapat membuat dugaan atau tebakan. Itu adalah sikap yang bodoh, menurutku, bila penyelesaian persoalan ini berawal dari prasangka. Aku kira, akan menjadi lebih baik tetap menunggu mereka berdua memberi keterangan sedikit demi sedikit. Lagipula, aku mempunyai pengalaman apa? Tidak ada karena aku tumbuh dan berkembang serta bergaul dengan orang-orang yang terbatas pada satu wilayah saja.
Nyaris serempak, mereka berkata, “Dataran Dieng.”
“Aku tidak ingin kita bicara yang buruk mengenai tempat yang baru Anda berdua sebutkan. Aku tidak mengenal nama itu sebelum Anda berdua sebutkan,” ucapku sebelum menarik napas panjang. “Apakah dengan munculnya nama itu, Anda berdua berencana melakukan penyergapan atau serangan balasan?” Mendadak aku terusik dengan sebuah kemungkinan, mungkin aku salah memberi tanggapan. Maka, aku berkata lagi, “Maaf, aku terburu-buru.”
Gita Nervati mengembangkan senyum, lalu katanya, “Tidak ada seorang pun dari para penyerang yang hidup, Sang Hyang. Maksud saya, bila ada yang masih hidup, mungkin kita dapat mengembalikan mereka ke tempat asalnya dengan sejumlah keadaan yang menyertai.”
“Pendapat bijak,” gumamku.
“Dan permasalahan ini seakan tertutup karena semuanya tewas terbunuh,” kata Wong Awulung.
“Apakah Paman akan mengatakan bahwa kematian mereka adalah kesalahan para pengawal?” aku bertanya pada Wong Awulung.
“Tidak,” jawab Wong Awulung. “Bukan seperti itu maksud saya. Kejadian berlangsung sangat cepat dan kemampuan tiga pengawal Sang Hyang terlalu jauh di atas mereka, maka sudah sewajarnya jika mereka mengandaskan nyawa sampai di sini saja. Namun, kita harus jujur mengakui bahwa kematian mereka semua membuat masalah yang terkait dengan penyerangan itu menjadi tertutup. Tidak ada keterangan yang dapat kita kumpulkan. Saat ini, yang kita miliki hanyalah tanda-tanda khusus yang melekat pada cara mereka mengenakan kain. Dan, untuk sementara waktu, perhatian kita mengarah pada Dataran Tinggi Dieng.”
“Apakah di sana, di Dataran Dieng, memang ada sekumpulan orang-orang bertabiat buruk?” aku bertanya.
“Kita tidak dapat berpikir buruk mengenai orang-orang Dataran Dieng. Mungkin hanya sekumpulan orang atau mungkin mereka sedang menyamar agar perhatian Tuanku Rakai Panangkaran mengarah ke lembah itu. Kita tidak tahu,” sahut Gita Nervati dengan bahu terangkat.
Untuk beberapa lama, aku mendiamkan diri sambil mencari jawaban melalui pertanyaan-pertanyaan yang melintas di dalam pikiran. Mungkin Gita Nervati dan Wong Awulung pun sedang membuka laci-laci yang tertutup rapi dalam ruang pikiran mereka. Lalu, aku mendengar Wong Awulung menghela napas panjang.
“Waktu sudah melayang jauh meninggalkan kita yang masih berada di sini untuk memperkirakan mengenai asal para penyerang,” tutur Wong Awulung kemudian, “mungkin mereka melewati gardu yang tersebar di sepanjang lembah Dieng hingga Merapi. Saya ingin berangkat dari sana hingga kita mendapatkan setitik terang di antara tanah-tanah yang menjulang tinggi.”
“Tidak perlu, tidak perlu,” seseorang berkata. Aku mendengarkan suaraku sendiri yang seolah-olah terucap dari sisi yang tidak aku ketahui. Aku merasakan ada kekuatan gaib yang menghunjam ke dalam diriku, menguasai perasaan dan pikiranku. Dan sepertinya aku sedang berbagi tempat dengan kekuatan itu di dalam diriku. Tubuhku menjadi panas, aku dapat merasakan itu. Bahkan, aku dapat mengetahui yang akan terucap olehku padahal aku tidak pernah berpikir semacam itu. Tidak pernah pula membayangkannya! Dalam keadaan itu, aku sangat jauh dari rasa takut ataupun khawatir. Hanya satu yang aku rasakan dan itu benar-benar menguasai segenap perasaan bahwa aku mempunyai hawa yang mematikan!