Padepokan Witasem
senja langit mataram, cerita silat jawa
Bab 1 Senja Langit Mataram

Senja Langit Mataram 10

Dan penglihatan orang tua itu benar. Pelan-pelan anak itu pun bangkit dari pembaringannya, lalu berjalan mendekat sebelum pada akhirnya duduk tepat di hadapan orang tua itu.

“Kenapa kau lakukan itu? Kenapa kau mengelabuhi kami dengan pingsanmu itu?”

“Ampun, Kyai, bukan maksudku berbuat deksura mengelabuhi perhatian para sepuh semua. Sebenarnyalah tidak pantas bagiku yang masih hijau ini mengganggu perbincangan para sepuh sekalian,”  jawab anak itu dengan suara datar.

“Kau mendengar semua perbincangan itu?”

loading...

“Tidak seluruhnya, Kyai.”

“Pamanmu Resa Demung,  Damani dan yang lain itu adalah orang-orang yang mempunyai tataran ilmu sangat tinggi di padepokan ini. Lalu bagaimana kau mampu mengelabuhi perhatian mereka tentang keadaanmu yang terlihat tidak sadarkan diri itu?” sergah Ki Gede Sekar Jagad.

“Ampun, Kyai, sebenarnyalah tidak ada usaha apa pun yang aku lakukan apa lagi mengelabuhi para sepuh. Aku hanya rebah memejamkan mata belaka dan tidak ada niat seperti itu.”

Ki Gede Sekar Jagad menarik nafasnya panjang-panjang. Orang tua itu kemudian berucap sesuatu yang ternyata membuat anak itu berdebar dan termangu-mangu, “Tole. Siapa namamu?”

Jaka Tole  terkejut mendengar pertanyaan orang yang paling dihormatinya itu. Sungguh dirinya menjadi bingung menjawabnya. Karena memang dalam benak anak itu sama sekali tidak pernah memikirkan tentang nama yang tersemat padanya. Sesungguhnyalah anak itu sudah begitu nyaman dengan nama yang disandangnya. Nama yang diberikan oleh seseorang yang telah menyelamatkan hidupnya beberapa tahun lalu,  membimbingnya dengan penuh kasih seperti halnya anak sendiri. Maka sejak saat itu Jaka Tole hanya menganggap bahwa Ki Gede Sekar Jagad adalah orang tua baginya. Oleh karena itu dirinya pun sangat menyukai nama yang diberikan oleh orang yang baginya bukan hanya sededar gurunya itu.

“Kenapa kau diam, Le?” tukas Ki Gede Sekar Jagad kemudian.

“Ampun, Kyai, bukankah baru saja Kyai memanggil namaku?”  jawab Jaka Tole sembari menatap wajah orang tua itu kemudian menunduk lagi.

Ki Gede Sekar Jagad tersenyum mendengar jawaban muridnya yang paling muda itu,  lalu katanya, “Bukan nama itu yang kumaksudkan, Ngger. Yang aku ingin tahu nama pemberian orang tuamu.”

“Aku sudah sangat suka dengan nama yang kyai berikan ini.”

“Aku tidak menyuruhmu membuang nama Jaka Tole yang kuberikan padamu. Dan jika kau suka kau boleh menyematkan nama itu sampai kapan pun itu, akan tetapi tentu kau mempunyai nama sebenarnya yang diberikan ayah dan ibu kandungmu.” Sesaat orang tua itu menghentikan ucapanya,  ditariknya nafasnya cukup panjang sebelum kembali berucap, “Apakah kau ingat siapa kedua orang tuamu?”

Jaka Tole tidak menjawab. Akan tetapi mengangguk kecil hingga memberikan isyarat bahwa dirinya memang masih mengingatnya. Namun pada akhirnya anak itupun berdesis lirih, “Semuanya hanya terlitas samar-samar.”

“Tidak mengapa, kau tidak perlu memeras daya ingatmu dengan tergesa-gesa untuk mengingat semuanya. Namun ada baiknya kau mengungkapkan apa yang mampu kau ingat. Mudah-mudahan segala yang kau alami pada masa kecilmu akan tersambung secara alami dalam ingatanmu itu.”

“Apakah nama itu begitu penting, Guru?”

“Tentu saja, Anakku. Karena nama adalah bagian terpenting untuk seseorang memahami jati dirinya.”

“Semua samar, Guru. Aku bahkan tidak begitu yakin jika apa yang ada dalam benakku itu namaku?”

“Tidak akan ada nama yang tidak pernah tersemat pada dirimu akan dapat membayang dalam benakmu sekalipun pada hakekatnya kau lupa.”

“Entahlah, aku hanya mengingat samar. Aku hanya pernah merasakan suara-suara di telingaku menyebut nama Layung beberapa waktu lampau yang entah kapan aku tidak tahu.”

Orang tua itu kemudian mengangguk-anggukkan Kepalanya lalu katanya,  “Layung? Nama itu sangat bermakna dalam dan jika aku  tidak salah mungkin kau lahir di waktu senja hari”

“Aku tidak tahu, Kyai, Aku hanya ingat nama itulah yang dulu sering aku dengar.”

“Apakah sepenggal nama itu saja yang kau ingat?” bertanya Ki Gede kemudian.

“Tidak, Kyai, meski hanya samar aku juga pernah mendengar kata Pati.”

“Pati? Layungpati?” Ki Gede Sekar Jagad tiba-tiba terkesiap.

“Apakah ada yang salah dengan nama itu, Guru?  Selama ini aku enggan mengingatnya, bagiku nama yang guru berikan padaku itu aku lebih menyukainya.”

Ki Gede Sekar Jagad menarik nafasnya cukup panjang lalu tukasnya,  “Tidak, Ngger. Tidak ada yang salah dengan nama itu.”  Ki Gede memandang Tole dengan siratan wajah seperti menyimpan sesuatu yang sebenarnya ingin diungkapkannya.

“Tapi kenapa Guru menjadi terkejut karenanya?”

“Bukan terkejut, Lle. Aku hanya melihat pesan dari nama Layungpati itu sangatlah dalam. Dan jika nama itu memang pemberian orang tuamu tentu makna dari nama itu merupakan pesan  yang sangat luar biasa bagimu.”

Jaka Tole menjadi termangu-mangu mendengar ungkapan gurunya itu. Hingga membuat hatinya kian bergejolak untuk mengetahui tentang pesan yang tersirat tentang nama itu. “Sudilah Guru memberi petunjuk padaku. Jika memang nama itu menyiratkan satu pesan, biarlah aku bisa melaksanakan pesan itu.”

“Benar kau ingin mengetahuinya makna itu?”

“Dengan rendah hati, aku mohon sudilah Guru menjelaskannya.”

“Baiklah, mudah-mudahan panggraitaku ini tidak terlalu melenceng jauh dari yang sebenarnya,” tukas Ki Gede Sekar Jagad kemudian, “aku hanya bisa menduga-duga kedua orang tuamu tentu bukanlah orang kebanyakan. Mereka tentu golongan orang yang selalu dekat dan ingat tentang keagungan Sang Pencipta, sehingga nama yang disematkan padamu mengandung pesan agar selalu ingat pada Yang Maha Agung.”

Anak itu terlihat memandang dengan seksama ke arah Ki Gede. Hatinya pun tidak sabar untuk mengetahui makna yang tersirat pada namanya. Namun apa yang terjadi justru dia merasa justru orang tua hanya berbicara berputar-putar, sampai pada akhirnya telinganya kembali mendengar orang tua itu berucap, “Dalam pemahaman banyak orang, kata Layung sesungguhnya seperti bayang-bayang cahaya matahari yang hendak tenggelam,  oleh karena itu Layung hanya akan muncul di kala hari telah senja. Untuk itulah aku mengatakan mungkin kau dilahirkan pada senja yang baru menjelma di langit barat. Namun ketika di belakang nama Layung itu terdapat kata Pati, bagiku, makna itu menjadi sangatlah luas dan dalam bagi manusia khususnya dirimu yang menyandang nama itu.” Kembali orang tua itu menarik nafas panjang-panjang.  “Layungpati. mulai saat ini aku memanggilmu dengan nama itu, dan bukan Jaka Tole lagi,” sambung orang tua itu.

“Sebenarnya aku lebih suka nama yang Kyai berikan padaku itu,” tukas anak itu singkat.

Ki Gede Sekar Jagad pun tersenyum, dia tidak menyangka ternyata anak itu justru menyukai nama pemberiannya, lalu katanya, “Nama yang aku berikan itu tidak mempunyai arti apa pun, Ngger. Aku memberi nama Jaka Tole karena kau seorang bocah laki-laki ketika aku menemukanmu, karena itu biarlah sekarang aku akan memanggilmu Layungpati.”

“Guru… Aku justru sangat aneh jika memakai nama itu.”

“Kenapa? Kau justru harus bersyukur memiliki nama itu. Nama yang selalu mengingatkan dirimu bahwa apa yang ada di dunia ini hanyalah fana. Dan tidak ada seorang pun yang mampu sembunyi daripada waktu yang pada akhirnya menuju layung. Menuju akhir kehidupannya dalam kata lain, senja kematian. Untuk itu sedari kau masih muda, Ngger, selagi mataharimu masih pagi dan masih panjang waktu untuk berjalan dalam dunia yang berisi dua warna ini, jauhilah warna keangkaramurkaan sehingga ketika kau melihat layung di langit , hanya warna kebajikan sajalah yang memancar dalam dirimu. Itulah pesan yang tersirat dari namamu itu. Dan jika kau paham dengan apa yang aku ungkapkan itu. Tentu kau tahu apa yang mesti kau lakukan dalam perjalanan hidupmu demi pesan itu.”

“Aku mengerti, Guru”  jawab anak itu singkat. Akan tetapi dalam dadanya telah bergulung-gulung perasaan yang bergelora. Dan meskipun anak itu tidak banyak bicara, namun tekadnya dalam menjalankan pesan nama itu dalam kehidupanya mulai terpantik begitu kuat.

“Jika kau memahaminya mudah-mudahan itu akan membuka jalan menuju jati dirimu, Layung,”  tukas Ki Gede kemudian.

“Aku akan ingat petunjuk Guru,” desis Layungpati dengan suara pelan.

“Mudah-mudahan Gusti Allah selalu melimpahkan hal yang terbaik untukmu, Ngger.”

“Trima kasih, Guru”

“Baiklah saat ini aku juga akan mengatakan hal penting lain untuk dirimu,” Ki Gede Sekar Jagad kemudian.

Wedaran Terkait

Senja Langit Mataram 9

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 8

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 7

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 6

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 5

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 4

Ki Ras Haris Ph

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.