Padepokan Witasem
senja langit mataram, cerita silat jawa
Bab 1 Senja Langit Mataram

Senja Langit Mataram 11

Jaka Tole yang kini diketahui bernama Layungpati itu hanya terdiam. Namun kedua telinganya begitu tajam terpasang mendengarkan apa saja yang dikatakan gurunya tersebut.

“Layung, dalam dua hari kedepan saudara-saudara tuamu akan ke Mataram untuk mengikuti pendadaran  menjadi prajurit, karena itu aku ingin kau ikut dengan mereka”

“Pendadaran prajurit?!” sergah Layungpati terkejut.

“Jangan kau menjadi salah memahaminya, aku tidak menyuruhmu mengikuti pendadaran itu. Aku hanya menyuruhmu mengiringi mereka.”

loading...

“Aku sendiri?” anak itu kembali terkejut

“Tentu tidak, Ngger. Kau akan mengawani pamanmu Resa Demung, juga Kakangmu Wirantaka mengantar mereka ke Mataram,” tukas Ki Gede Sekar Jagad. Orang tua itu terlihat menarik napas panjang karena memahami mungkin Layungpati khawatir menemui suasana yang berbau pertarungan. Akan tetapi memang cara itu sengaja dilakukan Ki Gede guna mengakhiri perasaan ngeri yang selama ini selalu menghantui anak itu.

Sampai pada akhirnya bias langit kelam mulai memerah. Satu demi satu terdengar kokok ayam jantan bersahutan di berbagai penjuru arah. Guru dan murid itu pun telah keluar dari ruang pendapa setelah sepanjang malam dipenuhi berbagai perbincangan yang cukup hangat.

Seperti kebiasan di awal pembuka hari, Layungpati itu pun segera  bergegas menuju pakiwan. Namun justru itu telah membuat Ki Gede Sekar Jagad termangu-mangu. Lalu memegurnya, “Tidakkah kau akan beristirahat, Le?”

“Pekerjaanku sudah menunggu, Guru.”

“Sudahlah semalam kau tidak tidur, sebaiknya kau rebahlah barang sesaat, biarlah tugasmu para cantrik lain yang lakukan.”

“Aku tidak mengantuk, Guru” tukas Layungpati.

Ki Gede Sekar Jagad menarik napasnya, “Baiklah jika demikian maumu.”

Derit suara senggot dari arah pakiwan pun mulai terdengar rapat di selingi guyuran suara air tertumpah. Demikianlah Layungpati seperti biasa mengisi beberapa bak tempat air di pakiwan tersebut. Satu persatu anak-anak padepokan yang lainpun mulai terlihat melakukan tugas masing-masing yang seperti biasa mereka lakukan sesaat sebelum pagi benar-benar bercahaya. Sampai pada saatnya seorang cantrik yang berusia sebaya dengan Layungpati itu mendekatinya.

“Kau memang paling rajin di antara kita Tole. Selalu awal datang ke pakiwan untuk melakukan pekerjaanmu.”

“Kau Limpat,” tukas Layungpati, “ah, kebetulan saja aku bangun lebih dulu.”

“Justru itu, Tole, Aku baru mulai kau sudah hampir selesaikan pekerjaanmu,” sahut Limpat seraya beringsut pergi.

“Kau akan ke mana?” sergah Layungpati yang oleh para penghuni padepokan itu dikenal sebagai Tole itu.

“Seperti biasa, aku harus membelah kayu,” jawab anak yang dipanggil Limpat itu.

“Kau tidak membawa wadung? Apakah kau akan membelah kayu dengan jarimu?” tukas Layungpati dengan tersenyum datar.

Limpat pun termangu-mangu, lalu terlihat menggaruk-garuk kepala menyadari kelalaiannya. Dia pun kemudian kembali untuk mengambil peralatannya membelah kayu.

Demikianlah kegiatan  di awal hari itu semakin terlihat guyup, setiap orang mempunyai tugas masing-masing secara bergiliran. Siapa yang kejatuhan tugas dia pun melakukan apa yang menjadi tugasnya tanpa harus diperintahkan.

Dalam pada itu ketika matahari  beranjak naik. Ki Resa Demung telah mengumpulkan beberapa murid utama padepokan Sekar Jagad. Mereka yang atas petunjuk Ki Gede Sekar Jagad layak untuk berangkat menuju Mataram.

“Wirantaka,  mana dua orang murid lainya. Bukankah selain Tanjung masih ada dua orang lagi?”

“Benar, Paman, mereka sedang berada di gandok Kakang Jaladara yang dari perguruan Randu Wangi itu. Tentu mereka akan bersama-sama ke mari,”  tukas Wirantaka.

Dan benarlah, belum habis Wirantaka selesai bicara kelima orang pemuda itu terlihat berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya.

“Maaf, Paman, kami baru datang,” kata salah seorang dari mereka.

“Tidak mengapa, Liwa,” sahut Ki Resa Demung menyebut pemuda itu, “baiklah, mari kita ke sanggar!”

Namun belum lagi sempat beringsut,  Ki Resa Demung telah melihat belasan domba yang diarak menuju pintu keluar padepokan. Seorang anak pengangon terlihat di antaranya dengan satu buah lompong bambu kuning serupa seruling terjuntai di tangan kanannya. “He, kau mau ke mana, Tole?” Ki Resa Demung menyapanya.

“Merumput, Paman” jawab anak itu.

“Bukankah Ki Gede menyuruhmu membatu perjalanan ke Mataram?” sergah Ki Demung.

Anak itu pun mengangguk kecil, “Ya, Paman. Tapi bukankah waktu berangkat itu masih besok sebelum matahari naik?”

“Baiklah tapi pesanku jangan kau merumput terlalu jauh. Ingat, kau harus kembali ke padepokan sebelum langit gelap.”

“Ya, Paman. Aku hanya akan ke hutan kecil tidak jauh dari padepokan,”

“Jaga dombamu. Banyak anjing hutan kelaparan di hutan itu,” sahut Wirantaka.

“Baik, Kakang,  mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang buruk,” tukas anak itu sebelum mengeloyor bersama belasan domba angonnya.

Demikianlah kemudian Ki Resa Demung berlalu menuju sebuah sanggar latih yang cukup luas dalam padepokan itu. Sementara kedelapan murid utama dari dua perguruan yang berbeda itu pun mengikutinya dari belakang. Mereka terlihat duduk melingkar sesaat setelah memasuki sanggar tersebut. Rupanya tidak ada uji kekuatan ilmu kanuragan di antara mereka. Karena pada dasarnya sebagai murid-murid utama perguruan tentu kemampuan bertarungnya tidak diragukan lagi. Apalagi terhadap Wirantaka,  Tanjung dan kedua saudaranya itu. Tentu sebagai ketua pelatih di padepokan itu tahu kemampuan mereka. Maka Ki Resa Demung hanya memberikan petunjuk-petunjuk lisan tentang apa yang nanti harus dihadapi mereka saat berada di Mataram.

Dalam panggraita Ki Resa Demung tentu acara pendadaran itu tidak seperti pendadaran yang biasa terlihat ketika istana menjaring prajurit-prajurit baru yang tidak membatasi siapa pun boleh mengikutinya, termasuk bagi orang yang hanya baru mengenal satu atau dua tata gerak pertarungan.

Seiring gegayuhan Panembahan Agung yang  tinggi dalam meneruskan amanat pendahulunya untuk menyatukan kembali wilayah-wilayah bekas Majapahit, tentu Mataram harus mempunyai kekuatan prajurit yang sangat kuat. Baik secara gugus pasukan ataupun secara kemampuan pribadi di antara para prajuritnya. Untuk itu Mataram memang  harus mengandalkan kekuatan pasukan yang terpusat, sehingga tidak harus selalu bergantung lagi dengan kekuatan-kekuatan pendukung baik dari perguruan-perguruan, kademangan, ataupun kekuatan berbagai tanah perdikan yang selama ini menjadi sekutunya.

Memang secara tidak langsung Mataram masih membutuhkan kekuatan para sekutunya tersebut. Akan tetapi apa yang dilakukan Kanjeng Panembahan Agung kini berbeda dengan para pendahulunya. Penguasa Mataram itu telah menitahkan seluruh kekuatan yang selama ini menjadi sayap-sayap pasukan Mataram agar mengirimkan orang-orang terbaiknya secara bertahap untuk digalang masuk menjadi satu kesatuan prajurit Mataram secara utuh.

Untuk itu dalam pendadaran yang akan digelar itu bisa dipastikan akan diikuti oleh orang-orang yang berilmu tinggi dari berbagai perguruan, juga wilayah-wilayah perdikan yang selama ini menjadi sayap-sayap kekuatan Mataram itu sendiri. Dan sepertinya apa yang telah menjadi kebijaksanaan Panembahan Agung pun disambut pula dengan hangat oleh orang-orang di lingkungkungan perguruan, juga orang-orang di berbagai wilayah kademang atau perdikan yang selama ini menjadi pendukungnya tersebut. Karena sebenarnyalah  hal ini juga membuka ruang bagi mereka untuk meniti tujuan atau masa depan mereka secara jelas setelah sekian lama menimba ilmu di perguruan masing-masing demi peruntungan untuk menjadi prajurit, apa lagi jika mampu menjadi petinggi di lingkungan istana, tentu masa depan mereka akan  lebih jelas dari pada melakukan pengembaraan sebagai seorang pendekar. Demikianlah Ki Resa Demung telah memberikan beberapa gambaran untuk menjadi pegangan para anak muridnya.

Bagi perguruan Sekar Jagad,  hal ini telah menjadi satu tantangan tersendiri untuk menampilkan orang-orang terbaiknya meskipun pada tahap pertama penggalangan kekuatan prajurit itu pihaknya hanya mengirimkan tiga orang murid utama mereka. Maka setelah segala apa yang diutarakan Ki Resa Demung itu dirasa cukup mereka pun bergegas keluar dari sanggar untuk mempersiapkan segala sesuatunya termasuk perbekalan mereka sebelum waktu keberangkatan. Sampai pada akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat besok sebelum matahari menampakkan cahanyanya.

Dan waktupun tak terasa telah beranjak senja, sementara para peserta pendadaran itu masih terlihat melakukan sedikit persiapan untuk perjalanan mereka.

“Apakah segalanya sudah siap?” bertanya Ki Resa Demung pada Wirantaka.

“Sudah, Paman,” tukas pemuda itu.

“Bagaimana dengan Jaka Tole?”  lanjut Ki Demung.

“Ada, Paman” jawab Tanjung kemudian,  “menjelang senja tadi anak itu sudah datang.”

“Lalu di mana anak itu sekarang?” tukas Ki Resa Demung.

“Beberapa saat lalu aku melihatnya mengandangkan domba-domba,” sahut Liwa kemudian.

“Baiklah jika semuanya telah siap sebaiknya kalian beristirahat. Simpan tenaga kalian karena perjalanan Kita akan cukup jauh. Apalagi kalian akan melakukan sesuatu yang mungkin sangat keras di Mataram dan tidak menutup kemungkinan akan melakukan uji tanding atau pertarungan dengan lawan-lawan yang berilmu tinggi. Besok sebelum langit timur memerah kita akan berangkat.”

Demikian Ki Demung itu pun kemudian pergi meninggalkan para pemuda itu. Dan seperti yang dikatakan orang tua itu,  anak murid perguruan itu pun melangkah menuju gandok peristirahatannya masing-masing.

“Adi Wirantaka. Kau yakin Jaka Tole ikut dalam perjalanan ini?” bertanya Jaladara salah satu dari murid Perguruan Randu Wangi itu.

“itu sudah menjadi keputusan guru, Kakang.”

“maksudku apakah nantinya justru tidak merepotkan kita?”

“Maksud Kakang?”

“Mungkin saja kita harus membantu mengendarai kudanya barangkali?”

Tiba-tiba saja Wirantaka tertawa lebar lalu katanya,  “Kau jangan menyepelekan anak itu dalam berkuda Kakang. Anak itu memang aneh, meskipun belum sekali pun memahami ilmu olah kanuragan, akan tetapi soal berkuda aku ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ketangkasan anak itu. Bahkan anak itu seakan-akan mampu berbicara dengan kudanya sehingga seperti memahami maksud Jaka Tole.”

“Luar biasa!”  desis orang tertua dari perguruan Randu Wangi tersebut.

Malam tak terasa sudah mendekati ujung pagi. Seperti waktu yang ditentukan oleh Ki Resa Demung, anak-anak perguruan Sekar Jagad pun telah dalam kesiapan penuh untuk memacu kuda-kuda mereka menuju Mataram. Juga keempat murid perguruan Randu Wangi dari Alas Roban yang kebetulan singgah di padepokan itu.

Memang kedua perguruan itu seperti terjalin satu hubungan persahabatan yang cukup erat. Apa lagi kedua guru  besar mereka itu merupakan dua sahabat yang cukup dekat pula. Dua sahabat dari angkatan tua yang masa itu namanya cukup diperhitungkan di antara para tokoh olah kanuragan dari sepanjang pesisir utara jawa. Bahkan wilayah selatan sampai pegunungan kidul.

Demikian ketika perjalanan rombongan anak-anak perguruan  itu memasuki sebuah bulak panjang mulailah mereka memacu kuda cukup kencang.

Wedaran Terkait

Senja Langit Mataram 9

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 8

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 7

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 6

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 5

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 4

Ki Ras Haris Ph

1 comment

Gatot Sasongko 22/06/2024 at 21:03

Menunggu lanjutan Layungpati

Reply

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.