Padepokan Witasem
senja langit mataram, cerita silat jawa
Bab 1 Senja Langit Mataram

Senja Langit Mataram 24

Dalam pada itu seperti apa yang terjadi di alun-alun kotaraja Mataram tidak seperti yang diperhitungkan siapa pun. Panggung luas yang sedianya digunakan untuk uji tanding di antara para peserta pendadaran prajurit justru menjadi ajang pertarungan yang sesungguhnya. Semua oleh karena kedatangan tiga orang yang begitu berani membuat keributan di lingkungan kotaraja. Ketiga orang itu tidak lain adalah Panembahan Pulangsara dengan dua pengikutnya.

Tidak sedikit orang-orang yang menjadi peserta pendadaran itu pernah mendengar nama besar seorang Panembahan Pulangsara. Karena memang pada hakekatnya para peserta pendadaran itu adalah dari golongan orang-orang perguruan pula. Namun tampaknya Panembahan Pulangsara dan kedua pengikutnya itu ternyata tidak dapat berbuat begitu saja ketika pada akhirnya harus berhadapan dengan Pangeran Purbaya.

Tidak dipungkiri nama Pangeran Purbaya sebagai benteng Mataram sangat tersohor di berbagai pelosok tanah Jawa bahkan sampai wilayah brang wetan di mana wilayah itu menjadi wilayah di mana Panembahan Pulangsara tinggal sebagai tokoh perguruan yang sangat ditakuti. Namun sebagai salah seorang yang berilmu sangat tinggi, Panembahan Pulangsara tidak silau dengan nama Pangeran Purbaya yang menjulang, sehingga salah satu tokoh dari Lima Tokoh Sakti dari Timur  itu dengan penuh keyakinan akan mencoba menjajal kemampuan salah seorang putra dari Panembahan Senapati tersebut.

“Marilah Pangeran, jika kau memang mampu menangkap aku,” ucap Panembahan Pulangsara,  “aku ke sini memang sengaja ingin tahu sampai di mana omong kosong yang tersebar di delapan penjuru angin akan kehebatan orang-orang Mataram!”

loading...

“Janganlah bersombong dir,i Ki Sanak, akan tetapi baiklah, sudah menjadi kewajibanku untuk meringkus siapa pun yang mencoba mengganggu ketentraman Mataram,” kata Pangeran Purbaya dengan suara yang berat. Menyusul satu gerakan cepat Pangeran Purbaya yang tampaknya tidak di sangka-sangka oleh Panembahan Pulangsara hingga tokoh tua itu menjadi terkejut.

“Licik!” geram Panembahan Pulangsara.

Akan tetapi orang tua itu tidak mampu merenungi kejengkelan hatinya terlalu lama. Karena pada kejap selanjutnya Pangeran Purbaya telah menyambung dengan beberapa serangan yang berbahaya.

Hampir saja tenggorokan Panembahan Pulangsara menjadi sasaran tusukan jari-jari tangan Pangeran Purbaya yang masih melakuan rangkaian serangan berbahaya tersebut.  Beruntung Panembahan Pulangsara masih mempunyai kesempatan untuk menghindar meskipun harus dilakukan dengan susah payah dan cukup menguras tenaga.

Akan tetapi ternyata  pada gebrakan pertama itu ada satu gertaran isyarat dalam benak Panembahan Pulangsara bahwa dirinya kini berhadapan dengan lawan yang tidak berada di bawah tingkat ilmunya. Bahkan orang tua itu selalu merasakan sebuah hawa di luar kewadagan terasa menekan-nekan tubuhnya, sekalipun apa yang kini terjadi  baru tahap-tahap ilmu yang bertumpu pada kekuatan olah kewadagan belaka.

Pemandangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya  pada gelar pedadaran prajurit Mataram itu justru menjadi sebuah tontonan bagi  para calon prajurit tersebut. Tak terkecuali anak-anak perguruan Sekar Jagad juga  Randu Wangi. Mereka pun tidak menyangka justru dalam acara itu kedatangan para pengacau yang belum jelas maksudnya.

“Kenapa kejadiannya bisa menjadi seperti ini, Paman?” desis Wirantaka.

“Entahlah, aku juga belum tahu apa yang diinginkan ketiga orang itu sampai begitu berani berbuat seperti itu,” jawab Ki Resa Demung.

“Mungkin ketiga orang itu merasa kemampuan mereka sundul langit hingga merasa yakin tak satu pun orang-orang Mataram melampauinyai,” sela Jaladara.

“Ya,  memang tidak bisa dipungkiri bahwa orang yang menyatakan dirinya bernama Panembahan Pulangsara itu seorang yang berilmu sangat tinggi sehingga disegani baik lawan ataupun kawan di kalangan pendekar. Akan tetapi mereka terlalu meremehkan ke mampuan orang-orang Mataram. Apalagi ketika mereka menganggap bahwa para pendiri Mataram yang rata-rata berilmu sangat tinggi itu sudah habis,” jawab Ki Resa Demung.

“Apakah Pangeran Purbaya akan mampu mengatasi  orang itu?” desis Wirantaka kemudian.

“Nanti kalian akan dapat melihat apa yang bisa dilakukan Panembahan Pulangsara itu terhadap Pangeran  Purbaya,” tukas Ki Resa Demung.

“Lalu siapa dua orang lainnya yang bertarung melawan dua pengikut Panembahan Pulangsara itu?” lanjut Wirantaka.

“Aku hanya mengenal seorang saja. Dia adalah Tumenggung Alap-Alap. Seorang yang juga memiliki ilmu sangat tinggi, juga memiliki siasat perang yang luar biasa. Akan tetapi yang satunya aku belum begitu mengenalnya,” jawab Ki Resa Demung.

Dan sebenarnyalah pertarungan diatas gelanggang itu semakin lama semakin sengit. Apa lagi pada lingkar pertarungan antara Panembahan Pulangsara dan Pangeran Purbaya.  Kini tubuh mereka bagaikan bergerak demikian cepat seolah-olah yang terlihat seperti bayang-bayang yang saling mendesak dan melancarkan pukulan-pukulan mereka.

Kadang kala terlihat keduanya melakukan benturan-benturan kewadagan, sesekali pula mereka harus surut beberapa langkah untuk menghindari serangan-serangan mematikan di antara keduanya. Namun seiring jalannya waktu, bagi mereka yang mempunyai ketajaman dalam menilai satu pertarungan. Lambat namun pasti Panembahan Pulangsara semakin terlihat sering mengalami keterdesakan yang cukup berat oleh tekanan-tekanan yang dilancarkan Pangeran Purbaya. Semakin lama Panembahan Pulangsara seakan tidak mampu membaca serangan-serangan Pangeran Purbaya yang begitu aneh dan rumit dalam pendangan mata, sehingga acap kali Panembahan Pulangsara mengumpat-umpat dalam hatinya. “Setan alas! Anak Panembahan Senapati satu ini sepertinya mempunyai ilmu iblis!” geram Panembahan Pulangsara dalam hatinya.

Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman sampai menyentuh puncaknya, tentu Panembahan Pulangsara banyak mengenal unsur-unsur gerak dari berbagai perguruan. Namun kali ini dirinya tidak mampu menangkap unsur daripada ilmu yang diperlihatkan Pangeran Purbaya. Di matanya segala unsur gerak yang dilakukan oleh Pangeran Purbaya itu sangatlah asing baginya, bahkan semakin lama terasa semakin rumit sehingga orang tua itu berkali-kali terpaksa melakukan gerakan yang terlihat kacau dalam menghindari setiap pukulan-pukulan yang dilontarkan salah satu petinggi Mataram itu.

Sentuhan-sentuhan kecil mulai dapat disarangkan Pangeran Purbaya pada tubuh Panembahan Pulangsara, hingga terlihat orang tua itu acap kali  menyeringai menahan sakit yang sering dirasakannya. Sampai pada satu saat serangan menentukan dari Pangeran Purbaya yang terlihat membadai itu beberapa kali menghantam telak didada Panembahan Pulangsara. Orang tua itu pun terlempar ke belakang dan berguling di lantai panggung meski tidak mengalami cidera cukup serius.

Panembahan Pulangsara kembali mengumpat-umpat begitu keras dengan apa yang dialaminya. Namun tak beberapa lama Panembahan Pulangsara sudah mampu menguasai keseimbangan tubuhnya. Orang tua itu pun berusaha bangkit berdiri dengan mata yang menyala-nyala penuh kemarahan yang luar biasa.

Melihat pemimpinnya mengalami keadaan yang tidak menguntungkan dua orang pengacau lainnya itu pun menghentikan serangannya dan menjauh dari lawannya. lalu  melangkah mendekati  Panembahan Pulangsara.

“Panembahan tidak apa-apa?” desis salah seorang di antaranya.

“Orang yang bernama Pangeran Purbaya itu bertarung seperti kepanjingan iblis!” geram Panembahan Pulangsara.

“Lalu apa rencana kita?”

“Aku rasa jika rencana pertama gagal. Siapkan rencana ke dua,” sahut Panembahan Pulangsara.

“Kita cari celah untuk lari?”

“Bukan lari, bodoh!” geram Panembahan, “kita menghindar, dan jangan biarkan diri kita menjadi pangewan-ewan di sini.”

“Baiklah, Panembahan.”

“Ingat lebih baik mati daripada tertangkap, aku tidak ingin kita terpaksa mengumbar mulut.”

Namun perbincangan lirih ketiga orang itu seketika menjadi terhenti oleh karena suara Pangeran Purbaya.  “Bagaimana Ki Sanak? Apakah kalian menyerah?” tukas Pangeran Purbaya yang sekarang berdiri di depan mereka.

“Menyerah?” jawab Panembahan Pulangsara di iringi gelak tawanya yang lantang. “Kau sepertimya sedang mengigau, Pangeran. Apakah kau kira aku sudah kalah?”

Pangeran Purbaya menarik napasnya panjang. “Menyerah dan mau bertanggung jawab atas satu perbuatan aku kira akan lebih terhormat dari pada menunggu sebuah kekalahan,” timpal Pangeran Purbaya.

“Omong kosong!” geram Panembahan Pulangsara,  “kau meremehkan Panembahan Pulangsara! Tapi baiklah, kita akan bertarung dengan sesungguhnya, aku ingin tahu apakah bualanmu itu setinggi kemampuanmu?”

“O, jadi sejak awal kau belum bertarung secara bersungguh-sungguh? Pantas…  pantas..!”

“Apa maksudmu dengan kata pantas, Pangeran?”  tukas Panembahan Pulangsara.

“Pantas sejak awal aku hanya merasa sedang bermain-main dengan anak-anak yang baru mengenal satu dua gerakan olah kanuragan.”

“Ternyata kesombonganmu melebihi ayahmu si Sutawijaya itu. Baiklah, aku hantar kau menghadap ayahmu!”

Satu lompatan kilat tiba-tiba dilakukan oleh Panembahan Pulangsara ke arah Pangeran Purbaya. Namun salah seorang putra mendiang Panembahan Senapati itu telah begitu siaga menghadapi berbagai kemungkinan yang dilakukan secara licik oleh lawannya. Sehingga begitu Pangeran Purbaya melihat gelagat aneh yang diperlihatkan Panembahan Pulangsara itu tidak lantas membuatnya terjebak dalam kesulitan.

Hanya saja kali ini Pangeran Purbaya harus lebih jeli memghadapi serangan-serangan orang tua itu. Karena apa yang kini terjadi sepertinya hawa pukulan Panembahan Pulangsara berbeda dengan diawal-awal pertarungan. Apa lagi kini Pangeran Purbaya merasakan sapuan-sapuan hawa panas dari setiap hempasan terlontar dari kedua telapak tangan Panembahan Pulangsara tersebut.

Pangeran Purbaya mengerutkan wajahnya ketika kedua matanya melihat kedua telapak tangan Panembahan Pulangsara itu selalu mengepulkan asap tipis layaknya muncul dari sebuah bara api. Lalu dengan berbagai pukulan-pukulan tidak terduga kedua tangan orang tua itu selalu mencecar pada bagian-bagian mematikan di tubuhnya. Juga gelombang angin yang tidak pernah reda disertai hawa panas luar biasa.

Apa yang kini terjadi tentu telah membuat orang-orang di sekitar panggung itu  menjadi was-was dengan apa yang kini sedang dialami oleh Pangeran Purbaya yang dalam pandangan mereka telah mengalami tekanan-tekanan yang luar biasa dari lawannya. Apalagi kini semakin lama orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu melihat sekujur tubuh orang yang menamakan diri Panembahan Pulangsara itu seakan di selimuti warna merah kebiru-biruan laksana bara inti api yang demikian panas. Bahkan hawa panas yang ditimbulkannya itu mampu dirasakan mereka yang berada cukup jauh dari arena pertarungan itu.

Demikianlah Panembahan Pulangsara bagai tiada henti-hentinya melancarkan serangan-serangan secara berantai dengan maksud ingin segera membuat Pangeran Purbaya tumbang. Namun apa yang dialami oleh Pangeran Purbaya sesungguhnya jauh dari rasa kecemasan orang-orang yang menjadi saksi pertarungan itu.

Tidak dipungkiri memang tekanan yang dilancarkan Panembahan Pulangsara terhadap dirinya demikian dahsyat dengan serangan-serangan ganas yang cenderung membadai. Bahkan Pangeran Purbaya juga menyadari bahwa lawannya itu telah melapisi daya serangannya dengan pengungkapan ilmu ajiannya pada tingkatan yang sangat tinggi. Sehingga mau tidak mau putra mendiang Panembahan Senopati itu harus melakukan hal yang sama jika tidak ingin tubuhnya menjadi lumat dan hangus oleh jilatan-jilatan hawa panas yang tiada henti menderanya.

Maka pada kesempatan itu Pangeran Purbaya telah melapisi diri dengan ilmunya pula. Sehingga meskipun dirinya seakan digulung oleh hawa api yang dilontarkan Panembahan Pulangsara, sedikitpun Pangeran Purbaya seperti tidak terpengaruh, walaupun dalam pandangan mata putra mendiang Panembahan Senapati itu terlihat selalu berkelit menghindari setiap sentuhan-sentuhan yang dilancarkan Panembahan Pulangsara tersebut.

“Apakah hanya bermain lompat-lompatan saja yang bisa kau lakukan, Pangeran?” geram Panembahan Pulangsara yang sesungguhnya menjadi gusar mendapati kenyataan karena belum sekali pun mampu mendaratkan pukulannya ke arah Pangeran Purbaya.

“Bukankan kau memang sengaja ingin bermain lompat-lompatan, Ki Sanak? Untuk itu biarlah sementara aku mengikutimu,” tukas Pangeran Purbaya yang masih saja sengaja melakukan gerakan menghindar dan berkelit.

Dalam hati,  Ki Resa Demung yang sedari tadi menjadi saksi pertarungan itu juga merasakan hal yang sama dengan orang-orang lainnya, dan begitu cemas melihat keadaan Pangeran Purbaya yang seakan masih belum mampu memecahkan kesulitan oleh karena tekanan yang dilancarkan Panembahan Pulangsara tersebut.

“Sepertinya Pangeran Purbaya semakin mengalami kesulitan menghadapi pengacau itu,” desis Ki Resa Demung.

“Apakan kita hanya akan diam menonton saja?” tukas Wirantaka.

“Apa boleh buat, memang hanya seperti ini yang bisa kita lakukan sebelum kita melihat Pangeran Purbaya benar-benar tidak berdaya,” jawab Ki Reksa Demung seraya menarik napasnya panjang-panjang.  “Bukankah kalian juga melihat. Tidak satupun orang berani memasuki gelanggang itu. Mereka juga hanya mempunyai pilihan untuk melihat pertarungan itu, mereka tidak ingin jika nanti niat baik membantu justru membuat harga diri Pangeran Purbaya jatuh.”

“Orang yang menyebut dirinya Panembahan Pulangsara itu benar-benar berilmu sangat tinggi,” sela Jaladara.

“itulah Aji Braja Geni yang telah diungkapkan lawan Pangeran Purbaya itu,” sahut Ki Demung.

“Braja Geni?”

“ya,  Braja Geni, satu  ilmu yang kini cukup langka dimiliki orang,” jawab Ki Resa Demung. Namun tiba-tiba tampak setitik senyum terpancar dari bibirnya.

“Paman merasakan sesuatu?” sergah Wirantaka ketika melihat wajah paman gurunya itu.

“Tidak, tidak kenapa-kenapa. Aku hanya tidak menyadari kebodohanku saja,”  tukas Ki Resa Demung

“Maksud Paman?”

“Coba kalian lihat dengan jelas apa yang kau lihat dengan Pangeran Purbaya itu?”

“Aku belum mengerti maksud Paman.”

“Ya, mungkin kalian belum begitu tahu tentang kedahsyatan Braja Geni itu. Namun coba lihatlah. Apakah kalian bisa melihat raut wajah Pangeran Purbaya yang begitu tenang itu?”

“Aku melihatnya.”

“Lalu apakah kau melihat raut wajah Pangeran Purbaya itu layaknya orang kesakitan oleh hawa panas yang dilancarkan Panembahan Pulangsara melalui Aji Braja Geni itu?”

“Aku melihatnya.”

“Nah, di situlah bodohnya aku ini. Seharusnya ketika kita  melihat bahwa sedikit pun Pangeran Purbaya tidak terpengaruh oleh gelombang panas yang ditimbulkan akibat lontaran ilmu itu. Itu artinya bahwa sesungguhnya Pangeran Purbaya tidak sedang mengalami kesulitan dalam pertarungan itu,” desis Ki Resa  Demung seraya mengangguk-anggukkan kepalanya.

 

Wedaran Terkait

Senja Langit Mataram 9

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 8

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 7

Ki Ras Haris Ph

Senja Langit Mataram 6

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 5

kibanjarasman

Senja Langit Mataram 4

Ki Ras Haris Ph

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.