Sesuatu yang tidak seperti biasanya kadang kala membuat orang-orang yang berpapasan dengan rombongan Ki Lurah Meranti terpana melihat bagaimana pasukan itu memacu kuda cukup kencang. Apa lagi di antara para prajurit itu terdapat orang-orang yang berpakaian tidak selayaknya para prajurit tersebut.
Beberapa penggarap sawah pun tiba-tiba menghentikan pekerjaannya. Mereka memandang penuh tanya. Apakah telah terjadi suatu hal yang tidak biasa hingga rombongan prajurit berkuda itu memacu kudanya begitu kencang? Hati merekapun berdebar-debar dalam kecemasan yang tidak jelas tentang sesuatu yang mungkin akan mengusik ketenangan mereka pada masa-masa kepemimpinan Mataram yang baru tersebut.
Akan tetapi tampaknya mereka tidak begitu larut dalam kecemasan yang belum jelas itu. Maka begitu rombongan prajurit berkuda itu lewat, mereka pun melanjutkan pekerjaan mengurus sawah masing-masing.
Demikianlah perjalanan itu tidak pernah sekalipun berhenti sampai pada akhirnya ketika matahari semakin ke barat, rombongan itu telah memasuki wilayah Prambanan. Mereka berhenti di depan regol pembatas daerah tersebut.
“Kita sudah memasuki Prambanan, Ki Lurah,” desis Ki Resa Demung.
“Ya. Mari kita lanjutkan perjalanan mungkin sebelum senja kita sudah bisa melintasi Kali Opak,” sahut lurah prajurit tersebut.
Ki Resa Demung menarik napasnya, ada hal yang tidak nyaman untuk dikatakan pada perwira prajurit itu, namun pada akhirnya pelatih kepala dari perguruan Sekar Jagad itu berkata pula, “Ki Lurah, sepertinya kami akan singgah di Prambanan barang semalam. Besok sebelum matahari naik, kami ke Mataram.”
“O, baiklah jika kalian akan ada satu keperluan di sini. Silahkan Ki Demung, tapi aku harus secepatnya sampai ke kotaraja.”
“Baik, Ki Lurah, mudah-mudahan kita akan bertemu nanti di Mataram.”
“Tentu, Ki Demung, akan tetapi pendadaran itu masih dua hari dari sekarang.”
“Maaf, Ki Lurah, siapa kira-kira petugas pengemban acara pendadaran itu?”
“Seperti yang aku katakan, penjaringan prajurit kali ini berbeda dari sebelumnya. Dan sepertinya Sinuhun Panembahan Hanyakrakusuma tidak main-main dalam mengembangkan kekuatan pasukan Mataram karena itu pendadaran kali ini akan menjadi tanggung jawab langsung Kanjeng Pangeran Purbaya.”
“Dengan demikian, apakah kami harus menghadap Pangeran Purbaya untuk menyodorkan nama-nama anak murid kami?”
“Tentu tidak, Ki Demung. Ki Panji Danuwirya yang akan menerima para calon peserta pendadaran.”
“O, begitu,” desis Ki Resa Demung.
“Nggih, seperti itu yang aku dengar. Ki Demung, aku akan melanjutkan perjalanan sebelum hari gelap.”
Demikianlah Ki Lurah Meranti dan beberapa prajurit memacu kuda menuju tepian Opak yang letaknya sudah tidak terlalu jauh dari tempat itu.
“Kita akan singgah di mana, Paman?” kata Wirantaka sesaat setelah rombongan Ki Lurah Meranti menghilang di tikungan jalan.
“Kita ke arah barat mengikuti jalan kecil itu. Kita akan ke pedukuhan seberang bulak amba itu,” jawab Ki Resa Demung seraya menunjuk satu arah.
Orang tua itu lantas menggerakkan kudanya ke arah yang dimaksud. Jalan pun kini mengecil meski melalui sebuah bulak yang cukup panjang. Seperti sebelumnya langkah mereka telah menjadi perhatian beberapa petani yang masih terlihat nyawah di penghujung hari itu. Oleh karenanya rombongan pun menjalankan kuda-kuda mereka dengan perlahan-lahan. Sampai pada saat bulak panjang itu terlewati mereka berbelok ke arah kanan menuju satu tempat seperti gumuk kecil yang banyak ditumbuhi rumput gajah yang hampir setinggi manusia.
Beberapa langkah selanjutnya mereka melewati sebuah jalan setapak yang cukup tertata menuju sebuah bangunan yang tidak terlalu besar, dikelilingi pagar cukup rapi pula. Ki Resa Demung kemudian turun dari punggung kudanya disusul para pemuda itu.
“Kita tambatkan kuda-kuda ini di sini, kita akan ke rumah itu,” desis Ki Demung.
“Rumah siapa ini, Paman?” tanya Wirantaka kemudian.
“Nanti kalian akan tahu,” desis orang tua itu singkat. Namun dia kembali berucap, “Tole, kau bantulah mencari tempat tambatan kuda.”
“Baik,” jawab anak itu singkat.
Serta merta anak itu bergegas mencari tempat yang nyaman untuk tambatan kuda-kuda mereka. Lalu rombongan melangkah menuju rumah yang tidak terlampau besar itu. Rumah itu terlihat sunyi. Akan tetapi sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, Ki Resa Demung dengan panggraitanya yang tajam itu dapat merasakan beberapa hembusan napas halus muncul dari dalam bangunan itu.
“Assallamualaikum, ” ucap Ki Resa Demung kemudian, “Apakah Syeh Winong berada di tempat?”
“Waalaikumsalam, siapa di luar?” sahut suara dari dalam rumah.
“Aku, Syeh. Resa Demung dari Janti”
“O, kau Resa Demung, masuklah,” kembali terdengar suara dari dalam rumah itu.
Ki Resa Demung kemudian berjalan menuju pintu berselarak dari rumah itu. Dia berjalan seperti jongkok mendekati sesosok orang yang duduk bersila menghadap beberapa rontal bertuliskan huruf pegon di atas papan dengan sebuah meja kecil di depannya.
Jelaslah kini tampak seseorang yang sudah terlihat berusia lanjut. Mungkin sebaya dengan Ki Gede Sekar Jagad. Wajahnya yang terlihat teduh seakan memancarkan cahaya kedamaian yang membias di setiap sisi raut wajahnya dengan gulungan sorban hijau muda di atas kepala. Kumis dan jenggotnya yang sudah memutih itu terlihat seperti bergerak-gerak mengikuti gerak bibirnya yang tak pernah diam seperti melafalkan sesuatu.
Namun ketika orang tua itu melihat ada yang datang kemudian berkata, “Resa Demung. Angin apakah yang membawamu hingga tiba-tiba sampai ke sini? Pantas sedari pagi hingga siang tadi beberapa burung prenjak tiada henti memperdengarkan suaranya.”
“Mohon maaf jika kedatanganku yang tiba-tiba ini telah mengganggu ketenangan Syeh.”
“Tidak ada yang terganggu, Demung. Aku justru merasa senang akan kedatangan kalian.”
“Terima kasih, Syeh.” Satu per satu dengan begitu khidmat Ki Resa Demung dan seluruh pengikutnya itu maju menyalami orang yang terlihat berusia cukup lanjut itu.
“Bagaimana kabar Adi Kunto Pambudi?” Demikian Syeh Winong menyebut nama asli Ki Gede Sekar Jagad.
“Atas restu Syeh Winong, Ki Gede dalam keadaan baik tidak kurang satu apa pun.”
Orang tua itu menarik napasnya panjang-panjang, “Syukurlah, mudah-mudahan Gusti Allah selalu melimpahkan nikmatnya pada kita semua.”
“Amin,” serentak orang-orang perguruan Sekar Jagad itu menyahuti dengan lirih.
“Adakah sesuatu yang menjadi kehendakmu hingga mengunjungiku?” kembali Syeh Winong berucap.
“Maaf, Kanjeng Syeh, sekali lagi jika kedatangan kami dapat mengganggu ketenangan di sini. Jika diperbolehkan kami hanya mohon palilah ingin menginap di sini barang semalam.”
“Kenapa harus minta maaf, Demung? Tempatku ini terbuka untuk siapa pun. Cuma seperti yang kalian lihat, beginilah gubugku. Jika kalian memang berkenan singgah di sini dengan senang hati aku tentu menerimanya.”
“Terima kasih, Kanjeng.”
“Akan tetapi Demung, adakan sesuatu yang kau cari selain singgah di gubugku ini?”
“Sebenarnyalah tidak ada, Kanjeng. Kami hanya mohon menginap barang semalam untuk melanjutkan perjalanan ke Mataram besok sebelum matahari naik.”
Syeh Winong mengangguk-anggukan kepalanya. Dan setelah menarik napasnya kembali berucap, “Jadi kalian juga ingin menjadi bagian prajurit Mataram itu?”
“Demikianlah Kanjeng Syeh. Oleh karena itu kami juga ingin memohon restu agar semua berjalan dengan baik.”
“Tentu, Demung, mudah-mudahan Gusti Allah akan selalu mengabulkan gegayuhan kalian,” jawab Syech Winong yang kemudian terlihat menatap tajam meski sorot matanya terlihat lembut ke arah Jaka Tole yang sedari awal datang selalu menundukkan wajahnya.
“Demung, siapa pengikutmu yang paling muda itu?”
“Anak itu dipanggil dengan sebutan Jaka Tole, Kanjeng.”
Syeh Winong mengangguk-anggukkan kepala. Namun pandangan matanya seakan tidak pernah lepas ke arah Jaka Tole seperti hendak menguak apa saja yang tersimpan dalam diri anak itu.
Demikian setelah mereka saling menyapa dan mengabarkan keadaan keselamatan masing-masing, Syeh Winong mempersilahkan tamu-tamunya jika ingin membersihkan diri setelah melakukan seharian perjalanan cukup jauh.
Seperti biasanya Layungpati yang memang sangat rajin dalam pekerjaannya itu tanpa diperintah telah menghampiri senggot di belakang pondok kecil milik Syeh Winong tersebut.
“Kau mandilah, Tole. Biar aku yang meneruskan mengambil air,” kata Wirantaka menghampiri anak itu.
“Kakang saja dulu yang mandi, biarlah pekerjaan ini aku selesaikan,” jawab anak itu seraya menurunkan gagang senggot bambu itu ke bawah sumur.
“Baiklah jika demikian,” kata Wirantaka sambil berlalu memasuki pintu belakang pondok itu.
Namun sejenak murid utama perguruan Sekar Jagad itu berhenti. “Tole, jika pekerjaanmu selesai datanglah ke ruang pendapa, jangan kau pergi ke mana-mana. Kita tidak sedang berada di rumah sendiri,” tukas Wirantaka yang sangat hafal dengan kebiasaan anak itu.
“Aku mengerti,” ucap anak itu.
1 comment
Menunggu lanjutan Layungpati