“Merampas dan menolong adalah dua perbuatan yang berbeda sifat. Ken Arok, kita merampas dari orang-orang kaya lalu membenarkan itu karena kita gunakan untuk menolong orang miskin. Sementara orang-orang kaya itu selalu mengalami derita setiap kali kita berhasil merampas hartanya.”
“Lalu kau sekarang menjadi pembela orang kaya? Seperti itukah Toh Kuning?” potong Ken Arok.
“Bukankah kau pernah mengatakan bahwa derita orang kaya akan membawa bahagia bagi orang miskin, Ken Arok? Lalu dewa mana yang memberi penjelasan seperti itu? Sementara guru tidak pernah mengajarkan pada kita bahwa bahagia adalah apabila kita berhasil meraih apa yang menjadi harapan.
“Ken Arok, guru berharap agar kita selalu berada di atas kebaikan dan keadilan. Kita berdua adalah orang yang diharapkan guru untuk menggunakan sudut kemanusiaan apabila mengambil keputusan. Sehingga, oh, kau tentu telah meninggalkan pesan guru ketika membantai para prajurit dan membunuh pembuat keris.”
“Apakah kau tahu apa yang kau katakan?” bertanya Ken Arok mendengus marah.
“Yang tidak aku ketahui adalah isi pikiranmu sekarang ini!” jawab Toh Kuning dengan nada tinggi.
Ken Arok lurus memandang Toh Kuning yang saat itu menunjukkan ketegasan sebagai orang yang berbeda dengan Toh Kuning di masa silam. Ken Arok mencubit bibirnya lalu berkata, ”Seharusnya kau tahu apabila Kediri telah mengambil paksa tenaga banyak orang untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat kecil.”
“Lalu kau menempatkan Kediri sebagai orang kaya dan orang banyak itu sebagai kaum papa?” lirih Toh Kuning bertanya.
Ken Arok tersenyum tipis dan ia manggut-manggut. Toh Kuning sekilas memandangnya lalu ia menarik napas panjang. Kemudian kata Toh Kuning, ”Aku telah melihat itu dalam satu hari ini ketika meronda bersama prajurit Tumapel.”
“Keadaan sekarang sangat berat untuk dilewati oleh banyak orang,” kata Ken Arok.
“Tetapi keadaan itu tidak dapat kau jadikan alasan untuk membenarkan perbuatanmu.”
“Aku tahu itu. Lalu apakah kau mempunyai jalan keluarnya? Lihatlah dirimu sekarang, kau adalah perwira prajurit Kediri.”
“Dan kau tidak bergerak maju.”
“Selain kekuatan dan kemampuanku untuk berpikir panjang, sumber daya apa yang dapat aku pergunakan untuk memperbaiki keadaan?”
“Kau dapat katakan gagasanmu pada Akuwu.”
“Aku yakin kau pasti akan berpikir berulang kali apabila mempunyai gagasan yang cemerlang jika kau mengenalnya.”
“Aku tidak merasa ada suatu masalah dalam dirinya.”
“Itulah masalah terbesar bagi orang-orang Tumapel,” sahut Ken Arok kemudian bergeser dan duduk pada bangku kecil.
Toh Kuning memandang heran kepadanya. Ia bergumam, ”Bagaimana mungkin? Ia memberiku kuasa untuk menggerakkan prajurit bila dirasa perlu.”
“Tentu saja ia akan melakukan itu untuk menutupi kelemahannya.” Ken Arok berkata dengan nada tajam.
“Aku tidak mengerti,” sahut Toh Kuning.
“Akuwu Tunggul Ametung adalah orang yang tidak merasa ada masalah dalam dirinya. Lalu keadaan jiwanya yang seperti itu menjadikan kami semua selalu gagal mendekatinya,” Ken Arok bertutur, ”Kemudian aku bertemu dengan Ki Arumpaka dan kami berdua bicara banyak mengenai masa depan Tumapel.”
Toh mendengar penuturan Ken Arok sambil memainkan jari-jari tangannya yang kokoh. Lalu ia menyahut, ”Lalu timbul rencana pada kalian berdua untuk menggantikan Tunggul Ametung?”
“Pada mulanya memang seperti itu,” jawab Ken Arok lalu, ”kemudian aku menduga akan ada kegagalan besar sebelum gerakan ini dimulai. Ki Arumpaka menginginkan dirinya sendiri sebagai penguasa Tumapel. Ia merencanakan untuk mengangkat senjata secara terbuka lalu aku menentang keras rencananya.”