Bhre Pajang tersenyum dengan sedikit rasa geli dengan jawaban dari keponakannya. “Kamu selalu mempunyai cara untuk mengalihkan perhatian paman dan itu nyaris berhasil.”
Derai tawa Bhre Pajang terdengar begitu lepas dan cair – ketika tiba-tiba dia melihat Bondan seperti saat menatapnya di masa lalu – pada waktu anak itu masih berayun dalam dekapnya. Jelas terpampang di pelupuk matanya tawa Bondan, ketika sedang ditimang oleh Bhre Pajang yang tengah dilanda kecemasan, saat kebakaran besar terjadi di pasar induk kota Pajang. Jerit suara kecil dari bibir mungil bayi berusia empat bulan menjadi hiburan tersendiri bagi Bhre Pajang. Penguasa Pajang tersebut tenggelam dalam kenangan indah itu untuk beberapa waktu.
“Paman!”
Suara Bondan menghentak kesadaran Bhre Pajang. Tetapi dia dapat menguasai diri sehingga tidak terlihat perubahan yang mendadak terjadi di raut wajahnya. Bhre Pajang segera mengalihkan hati dan pikirannya ke masa depan. Dia menyadari bahwa sehela napas yang lalu nyaris tenggelam dalam samudera kenangan. Tiba-tiba dia sendiri merasa keberatan jika harus berpisah dengan Bondan. Gerak batin Bhre Pajang berbolak balik. Ia bersuara pada dirinya sendiri, “Angling Adhyaksa! bagaimana engkau akan melepas seorang pemuda yang telah kau anggap sebagai anakmu sendiri? Dia akan berjalan jauh meninggalkanmu. Dan bukan tidak mungkin dia akan melawan dan merebut kedudukan sebagai Adipati. Tidak, tidak! Bondan memiliki jalan sendiri dan dia tidak akan menyingkirkan! Bahkan dia tidak perlu melakukan itu karena aku akan menyerahkan kedudukan ini padanya. Adipati Pajang adalah tempat sebenarnya bagi Bondan. Bukan sebagai prajurit maupun sebagai petani.” Bhre Pajang mengusap wajahnya yang tidak basah seraya menarik napas panjang. Dia membutuhkan waktu sejenak untuk mengatasi gejolak hatinya.
Bondan memperhatikan pamannya. Dia memang melihat perubahan sinar muka Bhre Pajang, tetapi pemimpin Pajang itu adalah orang yang mampu mengendalikan hati maka peralihan pun terjadi tidak terlalu lama. Bondan menggelengkan kepalanya, ia masih belum dapat mengerti jalan pikiran pamannya itu.
Kemudian, Bhre Pajang menggetarkan bibirnya, ”Sejauh mana cara pandangmu terhadap perempuan? Paman ingin jawaban jujur darimu.”
“Perempuan,” pelan Bondan bergumam. Dia masih belum mengerti meski mulai dapat menduga arah pembicaraan pamannya. Kemudian jawabnya, ”Menurut saya, perempuan adalah seperti yang dilakukan bibi. Saya tidak begitu mengenal ibu, tetapi satu sisi keyakinanku mengatakan jika ibu tidak jauh berbeda dengan bibi. Saya tidak akan pernah mampu membalas kebaikan ibu, bibi dan Nyi Retno.”
Ikuti kisah Bondan dari awal,klik di sini
“Baiklah,” ucap Bhre Pajang mengangguk. Dia menangkap getar kesedihan yang memancar melalui suara Bondan. “Bagaimana jika aku katakan bahwa membalas kebaikan mereka adalah dengan berbuat baik pada perempuan?”
“JIka itu memang dapat ditunaikan, saya akan melakukannya seumur hidup.”
“Bila begitu, menikahlah!”
Pendengaran Bondan seperti tidak mendengar dengan jelas ucapan pamannya.
“Apakah saya salah mendengar kata ‘menikahlah’? Apakah Paman benar-benar mengatakan itu?”
“Aku mengatakannya dengan jelas, Bondan,” sahut Bhre Pajang,”aku memang memintamu untuk menikah sebagai cara untuk membalas kebaikan tiga orang yang kau sebutkan tadi.”
“Lalu, bagaimana itu dapat berhubungan? Bagaimana saya dapat menikah? Saya tidak mengenal ataupun dekat dengan seorang perempuan. Saya belum mempunyai hubungan dengan salah seorang dari mereka, Paman.” Dua mata Bondan terbelalak. Ia sungguh terkejut dengan ucapan pamannya. Batin Bondan bergerak, dia terusik. Bondan berbisik bersama batinnya, ”Sedikit pun aku tidak mempunyai pengetahuan tentang hidup bersama. Tentang keluarga? Apa yang aku ketahui mengenai itu? Semoga Paman Angling Dhyaksa mengatakan ini dalam keadaan tidak sadar.”
“Kamu dapat menikah meski tidak mempunyai hubungan dengan seorang gadis pun untuk saat ini.”
“Itu artinya?”
“Ya. Seorang gadis telah berada di sebuah tempat. Dia sedang menunggu kedatangan dan sebuah janji darimu.” Bhre Pajang bangkit dari duduknya kemudian bergeser selangkah maju lebih dekat dengan Bondan.
“Paman, saya tidak sedang ingin belajar tentang pernikahan. Tetapi, apakah saya memang tidak mempunyai pilihan?” Bondan tidak melanjutkan ucapannya. Mendadak dia merasa tidak nyaman dan khawatir jika perkataannya akan melukai hati pamannya. Rahang Bondan mengatup rapat. Dadanya terasa sesak tetapi dia harus menahan, sekalipun isi hatinya akan meledak!
“Katakan, Ngger! Paman tidak akan menyatakan keberatan meski itu berarti menentang kehendak Paman.”
Bondan menggeleng tanpa kata-kata.
“Siwagati namanya, putri dari pemimpin Kademangan Grajegan. Dia adalah gadis yang telah aku tentukan untuk menjadi pendamping.”
“Siwagati?” gumam Bondan mengulang. Ia ingat sesuatu lalu bertanya, “Anak perempuan Ki Demang Grajegan?”
Dengan mata terpejam karena dada yang bergetar, Bhre Pajang mengangguk.
“Saya tidak akan mencari tahu alasan Paman atas keputusan itu. Nama yang menjadi satu-satunya pilihan bagiku.” Bondan memukul sebatang pohon yang berada di dekatnya hingga bergetar hebat. Tampak jelas dia sedang mencari jalan keluar untuk bongkah besar dalam hatinya.
Bhre Pajang menatapnya dengan sorot mata yang menenangkan. Dia bertanya singkat,”Tetapi?”
“Ya. Tetapi…” sahut Bondan sedikit kesal. Namun dia harus menahan diri untuk tidak membiarkan luap perasaannya meledak kembali. Setelah kertak di dalam dadanya mereda, Bondan meneruskan, “Tiba-tiba saya terikat pada dua tangan dan kaki. Kebebasan saya direnggut dengan paksa.” Dia berhenti sejenak mengatur napas yang mendadak tersengal-sengal. “Saya tidak menganggap Paman telah merenggutnya. Sama sekali tidak! Tetapi saya telah mendapat banyak kisah, saya mendengarnya dari orang-orang yang datang di padepokan. Mereka mengatakan tentang sesuatu yang buruk di dalam perkawinan.” Bondan menunduk dalam-dalam Kemudian berkata lirih, “Kebanyakan mereka mengatakan tidak lagi merasakan kebebasan seperti sebelumnya. Dan itu yang saya takutkan, Paman. “Saya tidak akan lagi menginjak kotaraja, menyusuri pantai atau menuruni lembah. Dinding yang tebal itu akan berdiri tegak di depan saya. Tidak akan pernah ada lagi kisah tentang seorang anak muda yang telah menjelajah hingga ujung timur tanah ini.” Tatap mata Bondan menerawang jauh menggapai arak-arakan mendung yang melintasi langit kota Pajang.
“Tidak ada perempuan yang menyatakan keberatan jika kau telah menginginkan sesuatu. Kau dapat mengatakan itu padanya. Mengenalnya lebih dekat itu menjadi kewajbanmu, Ngger. Paman tidak ingin engkau didampingi oleh seseorang yang tidak ingin memahami dirimu dan keluargamu. Dan kau sendiri harus mengerti tentang dirinya seperti kau mengenali dirimu sendiri. Kenalilah, apakah kau sedikit takut atau mungkin ketakutan telah mendatangimu? Berpikirlah tentang sesuatu yang indah.”
“Saya menikah dan belum ada kemapanan dalam hidup saya selain kanuragan.”
“Keprajuritan adalah satu jalan yang dapat kau lalui.”
“Menjadi seorang prajurit belum pernah mendapat tempat dalam pikiran saya. Dan paugeran mengikat prajurit lebih ketat daripada sebuah perkawinan.”
“Bondan, kau adalah orang yang akan melanjutkan keberlangsungan istana Pajang. Semestinya kau harus melewati tahapan itu sebelum datang masa untuk menggantikan Paman.”
Wajah Bondan semakin dalam menatap tanah tempatnya duduk. Dia menyembunyikan wajah di balik dua lengan. Hatinya berkata, “Aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang adipati. Bagiku, paman adalah pemimpin terbaik.”
Seolah mengerti jalan pikiran Bondan, Bhre Pajang bertanya dengan pandang mata lurus menatap bagian samping wajah Bondan, “Apakah kau juga keberatan jika aku memintamu menjadi seorang adipati?”.
Kelopak mata Bondan tiba-tiba memerah dan seperti sedang menampung bulir air mata. Dia sedang menahan lelehan air mata. Dalam hati, dia mendesah, “Tidak seorang pun pernah mengatakan ini padaku. Perkawinan, adipati dan prajurit. Belum pernah ada! Semuanya adalah tali yang kuat untuk membebat tangan dan kaki.”
“Saya berjanji dengan kesaksian seluruh alam yang mengelilingi kita. Satu janji bahwa saya tidak akan berpikir tentang kedudukan sebagai adipati saat Paman masih hidup di tengah kami. Dan saya telah ucap kata-kata pada banyak orang di padepokan bahwa saya tidak akan menjadi seorang prajurit.” Bondan menghentikan ucapannya lalu membuang muka!
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi tangkapan layar dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.