Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 89

Pada waktu itu, Raden Mas Rangsang menyembunyikan senyum. Ada rasa bangga sekaligus kelegaan ketika mengetahui ketajaman nalar Agung Sedayu di atas papan. Maka rencana tambahan pun disisipkan karena pangeran Mataram tersebut telah mendengar daya ledak yang menghancurkan yang tersimpan dalam diri Agung Sedayu. Lantas Raden Mas Rangsang berkata lirih, ”Baiklah, kita dapat memungkasi pertukaran siasat ini. Bahwa Mataram mempunyai prajurit tangguh adalah karunia yang luar biasa. Aku menyiapkan rencana lain untukmu, Kakang Sedayu.”

“Saya, Pangeran.”

Demikianlah, mereka keluar dari ruang yang tersembunyi. Raden Mas Rangsang memimpin Agung Sedayu pada jalan  yang mengarah ke Kepatihan. Mereka bergerak sangat cepat dengan langkah kaki mereka sangat ringan dan tidak dapat didengar oleh penjaga yang berjarak lima langkah dari jalur keluar. Di bawah pohon randu bercabang kering, Raden Mas Rangsang melepaskan Agung Sedayu disertai rasa segan dan kekaguman yang luar biasa. Perasaan yang dapat mengubah sudut pandangnya pada prajurit-prajurit pilihan seperti Agung Sedayu.

Terasa udara dingin segera menyapa Agung Sedayu ketika sudah mencapai dinding luar istana Panembahan Hanykrawati. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan ketegangan sekalipun sikapnya berusaha untuk tenang. Helai rambut Agung Sedayu yang menggelepar karena sapuan angin gunung seperti menjadi tanda kesibukan hati dan pikirannya. Kesehatan Panembahan Hanykrawati serta kemauan yang tidak seimbang benar-benar mengganggu pikirannya. Segalanya dipersiapkan dengan sangat baik. Pengawalan hingga pengamanan di Alas Krapyak berjalan sesuai rancangan Raden Mas Rangsang. Tapi, apakah semua itu dapat mencegah Panembahan Hanykrawati dari sesuatu yang buruk? Tidak ada orang yang tahu dan dapat melihat kejadian pada masa depan. Seandainya Ki Waskita ada di sampingnya, mungkin Agung Sedayu dapat berharap mendengarkan sepatah dua patah kata  penghiburan. Hanya saja, pada akhir malam itu, Agung Sedayu sendiri saja saat menghadapi tangga yang menjulang memasuki wilayah gelap di angkasa.

loading...

Dari jarak yang cukup, Raden Mas Rangsang tidak dapat mendengar Agung Sedayu berulang menarik napas panjang. Namun ia tahu bahwa senapati bawahannya itu sedang mengamati pergerakan Raden Atmandaru di balik rimbun semak-semak sepanjang jalur menuju Alas Krapyak.

Hari menjelang pagi dan itu adalah hari pertama dari rencana perburuan Panembahan Hanykrawati.

Walau jarak kraton Panembahan dan Kepatihan terbilang cukup dekat tetapi Agung Sedayu bergerak sangat pelan. Ia tidak sedang menunggu perjumpaan dengan seseorang karena Kinasih hampir dapat dipastikan telah berada di dalam Kepatihan atau terlibat tugas lain sesuai perintah Nyi Ageng Banyak Patra. Namun Agung Sedayu bukan tanpa sengaja melambatkan perjalanan. Murid Kiai Gringsing itu mempunyai alasan kuat atas keputusannya tersebut. Pikirnya, ia harus dapat membuat kesimpulan yang meyakinkan dirinya sendiri bahwa Raden Atmandaru benar-benar memegang pusaka yang membuatnya mendapatkan tempat di hati pengikutnya. “Keris Nagasasra Sabuk Inten sudah memadai untuk meyakinkan bahwa dirinya adalah keturunan langsung Panembahan Senapati,” ucap Agung Sedayu dalam hati. Namun, seandainya pusaka keramat itu tidak benar-benar berada dalam genggaman Raden Atmandaru, maka Agung Sedayu harus membuat pengakuan jujur atas kelincahan lidah orang itu.

Selangkah lagi Agung Sedayu akan tiba di depan pintu butulan yang menjadi jalan tembus dari samping barat Kepatihan. Dalam penyamarannya sebagai pencari rumput, suami Sekar Mirah itu tidak menangkap pergerakan orang bila ada yang mengikutinya. “Apakah mereka sedang mempersiapkan diri menyergap Panembahan di Krapyak?” tanya Agung Sedayu pada dirinya. Dengan ketukan tertentu, pintu butulan terbuka setengah lebar, seketika murid utama Perguruan Orang Bercambuk melesat nyaris tidak terlihat.

Setiba di bagian dalam, Agung Sedayu melihat bahwa Ki Patih Mandaraka serta Nyi Ageng Banyak Patra seperti sedang menunggu kedatangannya. Kinasih pun demikian dengan sikap sederhana duduk di sudut ruangan. Kinasih menatap penuh arti dari belakang Agung Sedayu. Ada kelegaan mencuat dari dalam hatinya melihat senapati Mataram itu tidak mengalami nasib buruk dalam tugasnya. Secercah harapan pun terbit seperti cahaya matahari ketika mengenyahkan bayang-bayang.

Setelah berbincang dengan sedikit kedalaman isi, Ki Patih Mandaraka kemudian berkata, ”Baiklah, engkau telah bertemu dan pasti sudah berbicara dengan Raden Mas Rangsang atau mungkin Wayah Panembahan turut berada di tengah-tengah kalian.”

“Seperti itulah, Ki Patih,” ucap Agung Sedayu sambil mengangguk dalam-dalam.

“Uraikan pada kami, Sedayu,” perintah Ki Patih Mandaraka.

Agung Sedayu pun menjelaskan dengan sederhana tanpa meninggalkan tata krama di depan dua sesepuh Mataram. Satu per satu bagian disampaikannya. Pada waktu itu, Ki Patih Mandaraka mendapatkan gambaran yang begitu benderang pada langkah-langkah pengamanan yang diputuskan oleh penanggung jawab keselamatan raja, Raden Mas Rangsang.

Matahari beranjak semakin tinggi saat Agung Sedayu tiba pada pesan-pesan Panembahan Hanykrawati untuk Ki Patih Mandaraka.

Saat Agung Sedayu akan beralih pada siasat yang diterap[kan di Alas Krapyak, Ki Patih Mandaraka memintanya berhenti, lalu katanya, “Dari penyampaian Agung Sedayu, tampak jelas bahwa Panembahan Hanykrawati menghendaki kita berjalan terus. Sungguh, ini adalah pekerjaan berat karena menyimpan kemungkinan akibat-akibat yang sulit dibayangkan.“

Nyi Ageng Banyak Patra terdengar sedikit mendesah. Sebenarnya ia tidak ingin mengungkapkannya namun ketika Ki Patih Mandaraka menatap tajam padanya, Nyi Banyak Patra pun berkata, “Inilah bagian sulit yang harus kita lalui, Eyang. Tidak ada pilihan lain karena sepertinya Panembahan juga tidak menghendaki ada penundaan atau pembatalan perburuan.” Nyi Banyak Patra bangkit dari duduknya, lantas melanjutkan, “Segala sesuatu yang tersembunyi baik di gerumbul semak-semak, di bawah dedaunan pohon-pohon besar di hutan, di bawah permukaan telaga kecil dan sebagainya…seluruhnya…akan menampakkan diri dan keinginan sejati mereka.”

Ki Patih Mandaraka merenung sejenak. Ia dapat mengerti arah pemikiran putra Panembahan Senapati. Oleh karenanya, sesepuh kepercayaan Panembahan Senapati setuju dan menerima kalimat terakhir yang diucapkan oleh Nyi Banyak Patra. Mataram benar-benar harus memperhatikan setiap perkembangan walau selembut butiran debu, demikian yang muncul dari dalam hati Ki Patih Mandaraka. Sejenak kemudian, Agung Sedayu pun diperintahkannya melanjutkan laporan dari hasil pertemuan di kraton Panembahan Hanykrawati.

Dengan sangat hati-hati, Agung Sedayu mengurai langkah demi langkah dari susunan rencana Raden Mas Rangsang. Ia mengerti harus melakukan itu karena suasana akan berubah menjadi tegang bila mulai terkait dengan sesuatu yang memapu mengoyak ketenangan.

“Oh, seperti itulah? Semoga tidak benar,” pekik Kinasih namun ia dapat menahan suaranya saat Agung Sedayu mengungkap dugaan Panembahan Hanykrawati mengenai sumber kekuatan pengaruh Raden Atmandaru.

Nada geram memancar dari kata-kata yang diucapkan Ki Patih Mandaraka. “Selalu ada pengkhianatan. Selalu ada kebodohan yang kerap berulang!” Sekejap kemudian, Ki Patih Mandaraka mereda, lalu berucap sambil menudingkan jari ke permukaan lantai, “Peristiwa yang kerap berulang-ulang menimpa penguasa sejak masa Demak hingga kita yang berada di sini.” Suasana menjadi sunyi hingga Ki Patih Mandaraka bersuara lagi, “Aku tidak ingin mengatakan bahwa hilangnya benda pusaka adalah pengulangan kebodohan dari para penjaga atau orang-orang yang bertanggung jawab pada keamanan, tapi itu lebih mengarah pada keinginan yang tidak pernah mendapat ruang luas untuk dipikirkan. Mungkin kita jauh lebih bodoh dari mereka yang kita curigai sebagai pelaku pencurian. Mungkin karena kita lebih sombong dalam segala keadaan. Mungkin kita juga jauh lebih buruk saat menilai diri kita sendiri bahwa Mataram dipenuhi oleh orang-orang baik yang setia pada tanah air. Kenyataannya, meski kebenaran belum terungkap, Raden Atmandaru mampu menjadikan pusaka Nagasasra Sabuk Inten sebagai pemersatu hati orang-orang yang menyimpan jarum kebencian pada Mataram. Meski benci itu pun tidak sepenuhnya menguasai hati dan perasaan mereka.”

Muram gelisah sejenak menyambar raut wajahnya, namun Nyi Banyak Patra segera dapat menguasai hatinya.

Berlainan dengan Kinasih. Meskipun belum pernah melihat bentuk keris Nagasasra Sabuk Inten, ia dapat membayangkan pengaruh dari benda yang dibuat atas permintaan guru suci pada zaman Majapahit akhir. Dalam pikirannya, pusaka itu bukanlah benda yang haus darah tapi jika berada di tangan orang yang tidak bertanggung jawab maka kengerian dapat segera ditebar. Napas murid Nyi Banyak Patra menjadi tidak teratur dan seperti membutuhkan jalan keluar untuk meledakkan gelisah yang menyesakkan dadanya.

 

=====

Anda dapat mendukung perkembangan kisah dan blog melalui cara :

  1. pembelian karya kami di sini 
  2. pembelian bumbu pecel/sambal kacang Sumber Makmur (silahkan hubungi WA yg tertera di sini)
  3. transfer ke BCA 822 0522 297

Memayu hayuning bawana

Matur nuwun

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 93

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 92

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 91

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 90

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 9

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 88

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.