Namun dalam waktu yang sama, lurah prajurit ini semakin dekat membawa kematian bagi Toh Kuning. Tubuh lurah prajurit telah terbungkus rapat oleh gulungan pedang. Ia harus secepatnya mengakhiri perlawanan Toh Kuning yang sekali-kali melancarkan serangan balasan. Lurah prajurit beberapa kali melirik kawan-kawannya dan ia gelisah karena pengikut Ki Ranu Welang secara meyakinkan mampu menguasai keadaan.
Meskipun prajurit Kediri cukup lincah dan cekatan dalam menempatkan diri untuk bertempur berpasangan namun tekanan demi tekanan terus menerus dilakukan pengikut Ki Ranu Welang. Sehingga sedikit demi sedikit pertahanan prajurit Kediri menjadi mengendur dan terbuka, berulang kali lurah prajurit meneriakkan perintah untuk mengubah cara bertempur namun lawannya selalu dapat mengurung mereka.
Pertempuran itu telah kehilangan keseimbangan, dentang senjata beradu mulai melemah seiring dengan tumbangnya prajurit Kediri satu demi satu.
“Aku kira tidak boleh ada satu orang prajurit pun yang terlihat hidup,” lirih Toh Kuning berkata. Ia merubah keputusan dan harus membunuh perasaannya sendiri.
Jika pada pertemuan awal, Toh Kuning merasa berat dengan adanya kematian, tetapi kini ia melihat sebuah balasan yang tersembunyi. Satu kematian prajurit Kediri akan menjadi sebab turunnya sebagian besar pengawal keamanan ke setiap jengkal wilayah kerajaan. Dan itu berarti membuat sempit ruang geraknya. Leher Toh Kuning akan menjadi hadiah besar!
Kemudian ia berkata lantang, ”Bunuh semua prajurit Kediri!” Perintah Toh Kuning membuat pengikut Ki Ranu Welang lebih ganas mengayunkan senjata. Setiap prajurit yang roboh pasti akan diikuti oleh seruan kemenangan. Hasrat yang sangat besar untuk dapat keluar dari himpitan perasaan seolah terpuaskan ketika mereka mampu mengakhiri hidup lawan-lawannya.
Beberapa di antara mereka bahkan melakukan perbuatan di luar batas kemanusiaan. Tubuh-tubuh prajurit yang sudah tidak bernyawa pun masih belum lepas dari goresan ujung senjata mereka. Benar-benar kekejaman yang jauh di luar batas kewajaran!
“Biadab!” lurah prajurit membentak nyaring. Ia melihat perlakuan yang diterima oleh jasad kawan-kawannya. Mereka telah mati, lalu kepuasan apa yang dicari orang-orang ini? pikirnya.
Darahnya mengalir lebih cepat, jantungnya berdentam lebih kuat. Ia sangat marah dan ingin keluar dari arena pertempuran. Bukan karena takut disiksa atau menerima perlakuan kejam, lurah prajurit tidak sampai hati melihat jasad kawan-kawannya yang nyaris tidak utuh lagi.
Walaupun ia seorang diri yang tersisa, tetapi ia adalah prajurit Kediri yang dilantik oleh Sri Baginda Kertajaya ketika membentuk kesatuan khusus untuk mendukung rencana Ki Lurah Gubah Baleman.
“Saya tidak mempunyai pilihan lagi, Ki Lurah,” berkata pelan Toh Kuning.
Tiba-tiba ia menarik keris dari balik punggungnya kemudian berjungkir balik di atas kepala lurah prajurit. Toh Kuning telah keluar dari garis serang lurah prajurit. Dan kini keduanya kembali berhadapan dengan lutut sedikit menekuk dan mata Toh Kuning terlihat menyala-nyala.
Perasaan lurah prajurit tergetar hebat melihat perubahan yang terjadi pada diri Toh Kuning. Betapa seorang anak muda yang bermanis muka ketika berbicara dengannya, kini telah berubah lmenjadi pemangsa haus darah. Sekujur tubuh Toh Kuning yang basah oleh darah dan bercampur keringat di bawah timpa remang cahaya menimbulkan kengerian bagi orang yang melihatnya. Senyum ramah dan hangat dari Toh Kuning telah beralih menjadi seringai yang ganas, tatap mata itu mengandung hawa kematian.
Lurah prajurit tidak dapat membiarkan Toh Kuning mengembangkan olah geraknya, meskipun ia tahu bahwa pemuda ini berkelahi setengah hati pada mulanya tetapi lurah prajurit telah melihat keganasan pengikut Ki Ranu Welang. Dalam kesempatan itu lurah prajurit mendapat kesempatan untuk mengatur untuk meloncat mendahului Toh Kuning.
Senjata lurah prajurit itu merupakan senjata yang berbahaya. Senjatanya adalah sebatang pedang yang mempunyai gerigi tajam pada bagian punggungnya sehingga pedang itu benar-benar mengerikan. Pedang lurah prajurit berputar dan terayun dengan dahsyat. Setiap sabetan pedang selalu diikuti desing angin yang mendengung keras sehingga dapat dibayangkan betapa besar tenaga lurah prajurit Kediri itu.
Namun lawan yang dihadapinya adalah Toh Kuning, seorang saudara seperguruan Ken Arok, yang mempunyai ilmu setingkat dengan Ken Arok dan telah mendapat pengakuan dari gurunya untuk memberi pelajaran pada cantrik-cantrik dengan tingkatan di bawahnya. Oleh karenanya Toh Kuning adalah lawan berat bagi lurah prajurit. Ia berkelahi dengan tangkas dan cekatan,. Keris di tangannya seperti mempunyai ribuan mata. Keris itu seakan mengetahui setiap lubang pada dinding pertahanan lurah prajurit.