Liem Go Song bersikap seperti tidak mendengarkan sesorah Tung Fat Ce. Ia tertarik melihat beberapa anak muda yang berpapasan dengan mereka dengan senjata tergantung di pinggang. Lekat tatapan mata Liem Go Song memperhatikan cara mereka berjalan dan menenteng senjata. Katanya, ”Lebih baik kita berkeliling melihat sekitar pedukuhan induk. Kita berbagi dua kelompok dan berpencar. Besok pengamatan ini berlanjut ke pedukuhan-pedukuhan di sekitar pedukuhan induk. Setelah itu kita bertemu di depan pasar.”
”Bukankah justru akan lebih berguna jika kita bertemu Ki Demang hari ini?” Tung Fat Ce bertanya dengan wajah tegang.
Liem Go Song mendongakkan kepala, menggeleng lalu ucapnya, ”Matahari telah bergeser, senja akan datang sebentar lagi. Ki Demang dapat menjadi curiga apabila kita menemuinya sore nanti. Lagipula kita belum mendapat bahan yang cukup untuk menilai keadaan tempat ini. Kau dapat melihat sejumlah anak muda yang seperti terlatih memegang senjata dan cara mereka berjalan itu memberi arti lain. Anak-anak muda itu tentu telah memperoleh latihan bela diri.”
Sesaat kemudian mereka berunding, lalu Tung Fat Ce mengambil arah timur bersama Toa Sien Ting, sedangkan Liem Go Song menuju ke barat dengan Chow Ong Oey.
Dan sejak saat itu mereka mengamati suasana pedukuhan induk dan sekitarnya. Berulang kali mereka menyaksikan beberapa kelompok anak muda sedang melatih kekuatan wadag dengan berlari di sepanjang lereng bukit, dan tak jarang juga mereka mengangkat beban. Terkadang mereka mendaki jalan kecil dengan senjata tergenggam. Pada malam hari, dua kelompok kecil itu melihat beberapa kelompok anak muda sedang berlatih olah kanuragan yang agaknya dilakukan di bawah petunjuk pemimpin padepokan yang diundang Ki Juru Manyuran. Mereka menyaksikan anak-anak muda kademangan berlatih di banjar pedukuhan.
Setelah lewat masa dua hari, pada akhirnya mereka bertemu di kedai yang cukup besar dan berhadapan letaknya dengan pasar di pedukuhan induk.
“Agaknya sudah cukup pengamatan kita selama dua hari ini,” Tung Fat Ce membuka perbincangan. Lalu ia bertanya, ”Apakah kalian merasakan kejanggalan dalam latihan-latihan yang kita lihat selama ini?” Ia menatap satu per satu kawannya yang duduk mengelilingi meja.
Toa Sien Ting hanya menggelengkan kepala. Dia tidak melihat kejanggalan yang dimaksud selama mengamati kegiatan yang dilakukan anak-anak muda kademangan. Begitu juga Chow Ong Oey yang kemudian melihat ke arah luar kedai.
“Memang kejanggalan itu ada dan mereka sangat rapi menutupinya,” berkata Liem Go Song. Dua kawannya segera menoleh ke arahnya dengan kening berkerut.
Senyum tipis tersembul dari bibir Tung Fat Ce yang kini mulai memelihara kumis yang melintang di bawah hidungnya. “Sebenarnya ada perbedaan antara meningkatkan kemampuan pengawal dengan sebuah persiapan untuk peperangan,” berkata Tung Fat Ce yang pernah menerima latihan keprajuritan semasa di Tiongkok. “Perhatikanlah tata cara mereka bertempur dalam latihan. Kadang mereka terbagi dalam kelompok-kelompok kecil, tetapi aku pernah melihat mereka berlatih dalam jumlah besar. Mereka tergabung dalam satu perintah dan tata gerak mereka lebih mirip prajurit dibandingkan sekedar seorang pengawal,” terang lelaki yang berusia lebih dari setengah abad ini.
“Ada benarnya, ada benarnya.” Liem Go Song mencondongkan tubuh ke meja, lalu berkata dengan jemari yang seperti menggambar sesuatu di atas meja, ”Latihan itu lebih mirip dengan apa yang dahulu pernah kita lakukan di perpustakaan istana. Aku melihat mereka cukup tangkas dan cekatan dalam mengubah susunan gelar maupun berkelahi seorang demi seorang.”
Kawan-kawannya mengangguk, karena gambaran yang diberikan Liem Go Song membuka nalar mereka. Mereka sedang menghadapi sejumlah besar anak muda yang disiapkan untuk berperang.
“Lantas, bagaimana rencanamu selanjutnya, Tung Fat Ce?” tanya Liem Go Song.
“Jika seperti itu, maksudku, apabila latihan-latihan yang kita saksikan adalah persiapan perang, itu akan membuat kita harus berbagi tugas,” kata Tung Fat Ce lalu memegang keningnya, kemudian lanjutnya, ”Liem Go Song, kau dapat mengingat kembali tata keprajuritan dan bila mungkin kau dapat melatih mereka beberapa gelar perang.”
Lima orang itu adalah orang yang berwawasan luas dan telah mengalami banyak peristiwa dalam kehidupan keras dan tipu daya. Di dalam kedai itu mereka mengutarakan setiap hasil pemikirannya dan rencana serta usaha yang harus ditempuh. Makanan dan minuman tidak berhenti mengalir ke meja mereka, pemilik kedai dengan senang hati melayani mereka.
Sesekali mereka meminta pemilik kedai duduk bersama mereka. Satu dua pertanyaan diberikan oleh lima orang itu bergantian. Kecurigaan pemilik kedai semakin lama semakin pupus ketika mendengar penuturan bahwa mereka adalah utusan negeri seberang yang sedang menyamar. Bukti-bukti pun mereka tunjukkan untuk meyakinkan pemilik kedai. Selain wawasan yang luas, kecakapan Tung Fat Ce dan Toa Sien Ting mengolah kata semakin meyakinkan pemilik kedai. Pada akhirnya, sejumlah keping perak ditambahkan agar pemilik kedai tidak membuka suara keras.
“Tentu saja akan semakin kuat. Jika mereka ini bersedia bekerja untuk Ki Demang, tentu aku akan mendapatkan penilaian tersendiri di hadapan Ki Demang.” Mata pemilik kedai berbinar-binar. Ia membayangkan penghormatan yang akan diterimanya dari Ki Demang dan seluruh penduduknya jika upayanya berhasil. Ia akan mengantarkan orang-orang asing itu ke rumah Ki Demang sebelum matahari mencapai puncak langit esok hari.
“Baiklah, Ki Sanak berlima. Datanglah besok pagi dan aku akan mengantarkan kalian bertemu dengan Ki Demang. Sementara itu, selepas senja nanti, aku akan lebih dahulu memberitahukan kehadiran kalian kepadanya,” kata pemilik kedai.
Lima orang itu bertukar pandang, lalu mengangguk–anggukan kepala.
“Tentu saja kami semua harus berterima kasih pada Ki Sanak. Jika bukan karena Ki Sanak, mungkin kami akan menjadi kecil di depan Ki Demang,” berkata Toa Sien Ting. Lalu ia bangkit berdiri membayar semua hidangan yang dimakan bersama ketiga kawannya. Mereka pun beringsut keluar kedai dan berjalan menuju penginapan kecil di sebelah utara pasar.
Tatkala matahari membawa serta garis kemerahan tenggelam di balik ufuk barat, Ki Samarta tiba di depan halaman rumah Ki Demang. Penjaga gardu menghentikan pemilik kedai di depan gardu.
”Ki Samarta, silahkan naik pendapa. Saya akan memberitahu kedatangan Ki Samarta pada Ki Demang,” kata penjaga.
”Baiklah,” Ki Samarta melangkah melewati regol halaman dan menapak kaki menaiki tangga pendapa. Sementara itu penjaga gardu telah bertemu dengan Ki Demang.
”Apakah ia memberi tahu keperluannya?”
”Saya tidak menanyakan itu, Ki Demang.”
”Baiklah, aku segera menemuinya di pendapa.”