Padepokan Witasem
Bab 7 - Bara di Bukit Menoreh

Bara di Bukit Menoreh 22 – Satu Wajah tapi Dua Orang

Agung Sedayu telah mencapai ladang liar yang luas ketika tirai kabut pagi itu mulai melayang naik. Rumput telah tampak begitu tinggi sehingga menghalangi persawahan yang terletak di belakang ladang itu.

Laju kuda Agung Sedayu mulai berkurang dan senapati Mataram itu merasa sudah saatnya untuk istirahat sekedarnya. Kotaraja masih cukup jauh dari untuk dicapainya dalam waktu singkat. Agung Sedayu akan memasuki wilayah kotaraja pada sat orang-orang mulai melakukan kegiatan. Jalan-jalan akan dipenuhi orang yang berlalu lalang dengan segala kepentingan. Penyamaran akan menjadi jalan baginya untuk menyelinap masuk Kepatihan. Tapi, apakah dia segera langsung menuju Kepatihan atau berkeliling dulu mengitarinya untuk melakukan sedikit pengamatan? Pastinya Ki Demang Brumbung akan menemui kesulitan bila orang-orang di dalam Kepatihan mulai bertanya-tanya, ke manakah dirinya sepanjang malam?

Usai memberi waktu bagi kudanya untuk mengendurkan otot kaki, Agung Sedayu meneruskan perjalanan dengan kecepatan sedang. Dia tak ingin terlihat mencurigakan. Memang itu akan membuat dirinya lebih lama tiba di kotaraja, tapi penyamaran harus segera dijalankan. Dari kejauhan, gerbang kotaraja terlihat megah tanpa mengabaikan sisi-sisi keanggunan yang melambangkan kelembutan raja Mataram. Sejumlah pengawal tegak berjaga mengawasi orang-orang yang keluar masuk melalui pintu gerbang. Jumlah mereka tidak berubah meski Agung Sedayu mengira akan ada penambahan. Tak lama kemudian, Agung Sedayu mengangguk pelan seperti sedang berkata pada dirinya sendiri, “Oh, kepala keamanan kotaraja ternyata meningkatkan jumlah regu peronda.” Senapati dari pasukan khusus itu tidak membuat dugaan, apakah ada orang baru yang ditunjuk sebagai kepala keamanan kotaraja atau tidak? Sepenuhnya Agung Sedayu menjauh dari perkiraan-perkiraan tentang orang-orang yang digantikan atau ditunjuk untuk jabatan baru oleh pengganti Panembahan Hanykrawati.

loading...

Namun pada saat Agung Sedayu telah melampaui gerbang kotaraja, maka terlihatlah kemudian perbedaan-perbedaan dari beberapa waktu sebelumnya. Jarak waktu pengawasan antar regu peronda ternyata lebih rapat tapi tidak berubah dari segi jumlah anggota. Pemimpin pasukan khusus Mataram itu banyak melihat regu peronda berpapasan satu sama lain dan itu adalah keadaan yang sulit dijumpai pada masa pemerintahan Panembahan Hanykrawati. “Tentu saja Mataram harus meningkatkan kewaspadaan dan membuatnya seperti itu untuk mempersempit ruang gerak lawan di dalam kota,” kata Agung Sedayu dalam hati.

Banyak siasat ganas dari juru siasat Raden Atmandaru ternyata dapat dijalankan para pengikutnya dengan penilaian nyaris sempurna. Terakhir adalah usaha mereka mengambil alih Kademangan Sangkal Putung dengan cara membakar lumbung lalu menduduki kediaman Ki Demang. Walau tidak mencapai hasil yang ditetapkan, tapi siasat seperti itu mungkin saja dijalankan di dalam kotaraja, pikir Agung Sedayu.

Sinar matahari sudah menggatalkan kulit sewaktu Agung Sedayu melintas di depan Kepatihan. Suasana di sekitar Kepatihan tidak terlampau ramai. Sebelumnya, senapati pasukan khusus Mataram itu telah mengitari bagian belakang Kepatihan tapi dia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Segala sesuatu berlangsung wajar, pikirnya. Walau demikian, Agung Sedayu tidak segera menuju regol Kepatihan. Dia akan masuk sebagai seorang kerabat dekat Ki Demang Brumbung. “Bagaimanapun, aku harus dapat membaca dari permukaan ketika banyak orang tahu bahwa Agung Sedayu sedang tidak berada di Kepatihan,” kata Agung Sedayu dalam hati.

Perlahan kemudian, Agung Sedayu menuntun kuda, mendekati gardu lalu mengatakan keperluannya pada prajurit jaga di gerbang Kepatihan.

Prajurit jaga itu mengerutkan kening saat mendengar Agung Sedayu menjelaskan keinginannya bertemu Ki Demang Brumbung untuk suatu keperluan.

“Benar, Ki Sanak,” ucap Agung Sedayu lalu meneruskan dengan tambahan keterangan mengenai kedudukan dan nama asli dari orang yang ingin ditemuinya.

“Oh, aku mengerti,” sahut prajurit jaga itu tanpa sadar bahwa orang yang sedang bicara dengannya adalah Agung Sedayu. Ini benar-benar penyamaran yang luar biasa! Prajurit itu pun segera meneruskan keinginan Agung Sedayu pada atasannya yang berada di bagian dalam gardu jaga. Waktu berlalu sesaat ketika seorang prajurit yang diperintahkan untuk memanggil Ki Demang Brumbung tampak berjalan bersama orang yang akan ditemui Agung Sedayu.

Di bagian belakang gardu jaga, Ki Demang Brumbung memandang orang asing itu dengan tatap mata bertanya-tanya.

“Saya, Ki Demang,” ucap Agung Sedayu lalu mengatakan beberapa hal yang dapat membantu Ki Demang Brumbung mengenali dirinya.

“Oh, baik, baik,” kata Ki Demang Brumbung sambil mengusap wajah lalu menggelengkan kepala. Dia harus dapat menutup rasa heran karena dua pengawal berada di dekat mereka. Tentu Ki Rangga mempunyai tujuan tertentu hingga tak membuka penyamaran sampai batas ini, pikir Ki Demang Brumbung.

“Jadi, apakah saya mendapat izin untuk menunggu Ki Rangga Agung Sedayu di sini?” tanya Agung Sedayu dalam penyamarannya.

“Tidak, tentu Ki Sanak tidak saya perkenankan menunggu Ki Rangga di belakang gardu jaga,” sahut cepat Ki Demang Brumbung. “Pastinya saya akan dinilai deksura karena tidak menghargai tamu Ki Rangga Agung Sedayu.” Ki Demang Brumbung cepat bangkit dari duduk lalu berkata, “Marilah, silahkan Ki Sanak mengikuti saya.”

Adalah Ki Patih Mandaraka yang tidak dapat dikelabui ketika melihat sosok asing yang datang bersama Ki Demang Brumbung di beranda belakang. Orang kedua Mataram itu mengangguk sambil melepaskan senyum bernada hangat pada Agung Sedayu yang berselubung penyamaran.

“Bagaimana dengan perjalanan jauh yang Ki Sanak tempuh?” tanya Ki Patih.

Agung Sedayu mengangguk hormat dengan sikap seperti yang ditunjukkan para pedagang. “Meski selalu ada guncangan tapi segala sesuatu berjalan lancar dan aman,” jawab Agung Sedayu lirih. Dia harus bersuara pelan agar tidak mudah dikenali oleh orang-orang yang kadang-kadang berjalan di samping beranda.

“Saya mengundang Ki Sanak untuk bermalam di Kepatihan,” kata Ki Patih kemudian, “mungkin ada baiknya apabila Mataram mencoba membuat terobosan baru untuk perdagangan.”

Agung Sedayu mengangguk lalu berpaling pada Ki Demang Brumbung yang terus manggut-manggut.

Ki Patih Mandaraka pun lantas membahas persoalan yang membosankan bagi orang-orang yang berusaha mencuri dengar isi percakapan mereka. Agung Sedayu dan Ki Demang Brumbung memahami itu semua, maka mereka berdua tampak sungguh-sungguh menyimak kata demi kata Ki Patih Mandaraka.

Pembicaraan tiga orang itu terus berlangsung hingga bayangan mulai condong ke timur.

Ki Patih Mandaraka bangkit dari duduk, lalu berkata, “Silahkan Ki Sanak beristirahat.” Kemudian memandang Ki Demang Brumbung sambil berucap, “Ki Demang bisa antarkan tamu kita ini ke bilik yang dekat dengan Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Saya, Ki Patih,” kata Ki Demang Brumbung.

Di antara dinding pemisah dua bilik itu, ada sebuah pintu yang menjadi penghubung. Maka Ki Demang Brumbung pun melepas pengait yang berada di bilik Agung Sedayu yang sesungguhnya. Dengan demikian, Agung Sedayu dapat melepas penyamaran di bilik yang dimaksud Ki Patih, lalu keluar dengan jati diri sebenarnya dari ruang yang sebelah menyebelah dengan bilik sesungguhnya.

Seperti yang dikatakan Ki Patih Mandaraka pada salah bagian ucapannya saat mereka berbincang di beranda sebelum itu. Setidaknya, mereka bertiga telah membuat sedikit kekacauan di antara penyusup yang kemungkinan masih beredar di dalam Kepatihan.

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA  Terima kasih.

“Memang, perkembangan dan perubahan selalu membingungkan pada setiap orang yang menaruh harapan terlalu tinggi,” kata Ki Patih sebelum meminta Ki Demang Brumbung mengantarkan sosok asing itu. “Perubahan dari yang palsu menjadi asli, dari asli yang mampu membuat penggandaan barang dagangan, maka setiap calon pembeli yang berpikiran kosong akan terlena.”

Untuk menjalankan pesan Ki Patih Mandaraka tersebut, Agung Sedayu pun menunggu hingga suasana menjadi remang-remang sebelum keluar dari biliknya. Selang beberapa lama ketika cahaya matahari digantikan oleh oncor dan obor, senapati pasukan khusus itu melangkah menuju bangunan yang ditinggali Ki Demang Brumbung bersama prajurit lainnya. Sejumlah peronda yang berkeliling di dalam Kepatihan dan pelayan pun terkejut dengan Agung Sedayu yang tiba-tiba ada di depan mereka. Sebagian memandangnya dengan ternganga dan tatap mata tak percaya, tapi senapati Mataram itu sama sekali tidak mengubah sikapnya. Agung Sedayu, seperti biasa yang dia lakukan, tetap menyapa dan berbicara seperlunya tanpa kesan merendahkan lawan bicara.

Wedaran Terkait

Bara di Bukit Menoreh 9 – Pertempuran pun Pecah di Pelataran Banjar

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 8 – Pembeda Itu Bernama Sukra

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 7 – Sukra dalam Pengamatan Agung Sedayu

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 6 – Agung Sedayu ; Benarkah itu Sukra?

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 5 – Agung Sedayu Mempermalukan Lawan!

kibanjarasman

Bara di Bukit Menoreh 4 – Agung Sedayu, Pemburu yang Diburu

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.