“Benar, kita dikelilingi oleh berita itu,” ucap Agung Sedayu. Dengan kening berkerut, senapati Mataram ini kemudian bertanya, “Nyi Ageng, dorongan yang Anda maksudkan itu, apakah semacam kasak kusuk yang mengarahkan orang agar mengayun pilihan pada orang tertentu?”
Nyi Banyak Patra tersenyum. “Aku kira setiap orang di dalam Kraton sudah mencapai kedewasaan dan kebebasan berpikir. Andaikata benar mereka sudah menentukan pilihan, tentu saja itu bukan karena paksaan.” Sambil mendorong napas panjang, Nyi Banyak Patra manggut-manggut pelan lalu mendesah, “Aku harap demikian.”
“Berita itu walau tidak dipercaya kebenarannya oleh sebagian orang, tapi saya pikir mereka pun mempunyai alasan yang dapat memberi bukti sebaliknya,” kata Agung Sedayu.
“Apakah kau termasuk orang yang percaya pada kabar itu?” tanya Nyi Banyak Patra. “Engkau dapat berkata jujur dengan bebas. Tanpa perlu sungkan atau takut padaku. Aku bukanlah kaki tangan raja dan bukan pula penjilat. Justru aku adalah saudara perempuan dari pendiri Mataram yang memikul beban berat untuk menjaga supaya tidak ada perpecahan.”
“Baiklah,” jawab Agung Sedayu. “Bagaimanapun, Nyi Banyak Patra pun termasuk pilar penyanggah Mataram maka saya menerima perkataan itu sebagai perintah.” Prajurit yang menjadi orang kepercayaan Panembahan Senapati pada masa hidupnya itu kemudian melanjutkan, “Saya kurang mengenal dengan baik Pangeran Mas Wuryah. Saya mungkin termasuk orang yang jarang bertemu atau melihat beliau secara langsung. Itu keadaan yang bertolak belakang dengan keadaan yang banyak saya jumpai di kotaraja dengan segala sesuatu yang terkait dengannya. Pengamanan kotaraja, tanggung jawab petugas sandi, pengawalan raja dan segala yang berada di bawah tugas-tugas itu, saya tidak pernah mendengar nama Raden Mas Wuryah disebut-sebut. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan mendiang Panembahan Hanykrawati. Saya berjalan di belakang beliau dalam peristiwa Demak dan pertempuran lainnya.”
“Keraguanmu memang beralasan,” kata Nyi Banyak Patra. “Perlu pula kau pahami bahwa aku tidak mempunyai hak membela salah seorang dari mereka keponakan karena mereka semua adalah keturunan Panembahan Senapati. Selain itu, aku pun tidak hidup bersama mereka di kotaraja. Apakah benar salah satu dari mereka itu seperti yang diucapkan orang-orang? Aku tidak tahu sebenarnya. Namun untuk latar belakang Pangeran Mas Rangsang menjadi raja Mataram, itu dapat kau tanyakan pada Ki Patih setelah waktu ini.”
Agung Sedayu sadar bahwa berita yang bertiup kencap itu mempunyai tujuan dan akibat tertentu. Dia tidak mendengar kabar Raden Mas Wuryah hidup dalam keadaan terpasung. Tidak pula tersebar berita mengenai orang-orang yang hilang karena kebutuhan pribadi tertentu yang haus darah. Di dalam Kraton pun tentu ada orang yang berkesadaran tinggi yang dapat meminta mendiang Panembahan untuk mencegah, melarang atau bahkan meniadakan tindakan tak terpuji. Bayang kecemasan jelas merambat pada wajah pemimpin pasukan khusus itu saat memikirkan hal terburuk yang terjangkau olehnya.
Pancaran rasa cemas itu dapat diketahui oleh Nyi Ageng Banyak Patra yang berada di samping Agung Sedayu. Dalam waktu itu, mereka berdua sedang duduk berdampingan di seberang bagian depan gerbang Kepatihan. Walau demikian, keberadaan mereka tidak diketahui oleh para peronda maupun penjaga gardu. Nyi Banyak Patra, meski berpakaian sederhana dan tampil seperti kebanyakan perempuan sepuh pada umumnya namun sama sekali tidak mengurangi keagungan yang menyorot kuat darinya. Agung Sedayu yang tampil dengan jati diri sesungguhnya pun cukup jauh dari pengamatan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka. Kebanyakan orang itu menganggap Nyi Banyak Patra dan Agung Sedayu sama seperti mereka yang sedang bercengkerama di sekitar alun-alun.
“Cukup wajar bila kau merasa gelisah atau cemas dengan perkembangan yang bermula dari Kraton,” kata Nyi Ageng Banyak Patra. Tidak jauh beda denganmu, aku hanya mempunyai sedikit keterangan mengenai jati diri Raden Mas Wuryah.”
“Bila saya mengenang Kyai Gringsing, saya dapat melihat peran besar Ki Juru Martani dalam pendirian dan perjalanan Mataram ini,” ucap lirih Agung Sedayu. “Sepeninggal Ki Gede Pemanahan, Ki Juru Martani adalah pelindung dan perancang unggul yang berada di samping Panembahan Senapati. Maka, jika dibandingkan dengan keadaan terakhir, saya membuka kemungkinan bahwa Pangeran Mas Rangsang adalah pemikir yang berada di belakang mendiang Panembahan Hanykrawati selain Ki Patih Mandaraka. Tapi, Nyi Ageng, itu adalah sebuah kemungkinan atau omong kosong yang melintas di dalam pikiran saya.”
“Lanjutkan, silahkan,” kata Nyi Ageng Banyak Patra.
“Saya berangan-angan Pangeran Mas Wuryah sedang disiapkan oleh kakaknya di masa depan sebagai orang yang dapat membantunya berpikir dan berencana. Pada usia yang begitu muda seperti saat ini, saya kira bukan alasan bagi orang-orang untuk menuduhkan sesuatu yang keji pada beliau. Dan bukan pula alasan satu-satunya dari Raden Mas Rangsang untuk mengambil alih kepemimpinan Mataram.”
“Apakah perkataanmu itu berdasarkan ketajaman nalarmu atau ketakutanmu? Aku tidak tahu jawaban sebenarnya. Meski begitu, kau tidak perlu menjawabnya dan aku pun tidak perlu tahu,” kata Nyi Ageng Banyak Patra sambil tersenyum. “Bahkan tiada nama Raden Mas Wuryah disebut dalam banyak tugas, bukankah itu juga karena usianya yang masih sangat muda? Aku yakin kau tidak melewatkan pertimbangan itu.”
Agung Sedayu mengangguk. Sebenarnyalah, di dalam hatinya, dia memang bermaksud mengungkap semua kemungkinan yang dapat terjadi. Serba sedikit dia mendapatkan laporan rahasia bahwa ada pembicaraan sembunyi-sembunyi tentang dirinya yang tidak dapat menerima pemimpin baru selain Raden Mas Wuryah. Oleh sebab itu, untuk meyakinkan dirinya sendiri, Agung Sedayu merasa perlu menuang segala isi pikirannya di depan Nyi Banyak Patra. Selain itu, dia bermaksud agar kesalahpahaman tidak menyeruak antara dirinya dan para sesepuh Mataram terutama Nyi Banyak Patra. Dengan demikian, dia pun tidak gegabah mengikuti suatu pendapat agar condong pada pihak tertentu.
“Aku dapat mengerti maksudmu, Sedayu,” ucap Nyi Banyak Patra. “Aku sadar bahwa masa depan Mataram tidak dapat hanya dirancang dan digambarkan di dalam angan-angan. Langkah nyata harus ada agar semua mimpi Mataram dapat diwujudkan. Atas alasan itu, aku merasa lega dengan segala yang kau katakan di depanku sekarang. Namun, kau juga harus paham bahwa untuk mewujudkan tentu Raden Mas Rangsang tidak dapat bergerak sendiri. Dia harus mendapatkan dukungan dari semua orang.”
Agung Sedayu menarik napas panjang dengan tatap mata lurus memandang gedung Kepatihan di depannya. Tak lama kemudian, tampak dua orang yang dikenalinya menggantungkan kain putih di bagian leher. “Ki Demang Brumbung dan Ki Lurah Plaosan,” ucapnya dalam hati. Sementara kain putih itu adalah tanda baginya bahwa Ki Patih Mandaraka hendak bertemu dengannya. “Waktu pun tiba untuk saya,” kata Agung Sedayu pada Nyi Banyak Patra.
Perempuan sepuh yang kesaktiannya jarang diketahui orang itu kemudian mengerutkan kening. “Bagaimana itu?”
Agung Sedayu menunjuk dua orang yang berdiri agak serong dari regol Kepatihan. “Mereka berdua adalah utusan Ki Patih Mandaraka dengan tanda khusus untuk saya.”
“Bila demikian,” ucap Nyi Banyak Patra,”kau dapat mengatakan hal yang sama pada Ki Patih Mandaraka. Perkembangan keadaan memang hampir mempunyai kepastian tapi jika kau dapat membuat beliau tenang, maka itu akan menjadi jauh lebih baik untuk didengar oleh beliau pada masa senja seperti ini.”
“Semoga Ki Patih sudah menyiapkan perintah bagi kami, para prajurit, untuk melakukan sesuatu,” kata Agung Sedayu. Sejenak kemudian, dia berdiri lalu memungut sebutir batu kecil, melontarkannya dengan kekuatan terukur kemudian tepat mendarat di sebelah kaki Ki Lurah Plaosan.Tampak kemudian dua orang itu berjalan mendekati gardu jaga yang terletak di samping regol Kepatihan. Mereka berbincang sebentar lalu berjalan beriringan ke arah utara.
“Mari,“ ajak Nyi Banyak Patra, “kita kembali ke Kepatihan. Aku akan mengurus sedikit luka-luka Kinasih. Sepertinya dia sudah berjarak sedikit lagi dengan kesembuhan. Mungkin butuh satu atau dua hari lagi, lalu kau dapat mengajaknya bertualang lagi. Anak itu masih membutuhkan dari orang-orang sepertimu, dan satu lagi, aku merasa tenang bila Kinasih dapat menyadap banyak pengalaman bersamamu.”
Jantung Agung Sedayu sedikit terguncang. Kinasih bukan gangguan atau ancaman baginya, tapi, mengapa perasaannya masih bergetar bila nama itu disebut di depannya? Dengan sedikit rasa tak nyaman di dalam hati, Agung Sedayu beranjak bangkit lalu berjalan sedikit di belakang Nyi Banyak Patra.