Padepokan Witasem
arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak
Bab 5 Berhitung

Berhitung 11

Kiai Rontek terperanjat ketika melihat Pangeran Benawa melakukan gerakan-gerakan yang menjadi dasar penguasaan ilmu tingkat tinggi. Tata gerak yang sangat sulit dikuasai oleh anak seusianya, tetapi menjadi berbeda ketika Pangeran Benawa melakukannya! Ia diam sesaat, lalu membeku sebelum menggores kagum dalam hatinya. Ia tercengang betapa Pangeran Benawa mampu membuat selisih pengalamannya dengan Ki Gurasan menjadi tidak terlihat.  Sejenak kemudian ia mengangguk lalu berkata pada Ki Gurasan, ”Kau terlalu bodoh dan menganggap ringan pekerjaan ini. Sebagai akibatnya adalah engkau akan menghadapi Kebo Kenanga!”

Usai mengatupkan bibirnya, Kiai Rontek meloncat lalu menyambar tubuh Pangeran Benawa yang tiba-tiba terkulai lemas ketika Kiai Rontek menggerakkan tangannya. Sebenarnya pada saat itu, Kiai Rontek membidikkan ilmunya untuk melumpuhkan simpul saraf Pangeran Benawa tanpa menyentuhnya. Bayangan Kiai Rontek yang memondong Pangeran Benawa berkelebat menembus malam sebelum Ki Gurasan dan yang lain mengedipkan mata.

Sekejap kemudian mereka sadar bahwa Pangeran Benawa telah lenyap dari pandangan mata.

Bersamaan dengan itu, Ki Gurasan pun melesat ke arah yang berlawanan dengan Kiai Rontek. Sementara kawanan Ki Gurasan secepatnya melarikan diri keluar dari padepokan melalui jalur yang telah disiapkan sebelumnya.

loading...

Para cantrik padepokan saling bertukar pandang kemudian mereka berpaling pada Kang Tanur yang membujur lemas tanpa daya. Pada saat itu, mereka seperti orang yang kehilangan akal. Mereka ingin berteriak keras-keras tetapi kekuatan mereka seolah terhisap dengan kepergian Pangeran Benawa. Dalam waktu yang sedikit lama, mereka tidak mampu berpikir tentang tindakan yang dapat dilakukan.

“Siapa yang kalian hadapi?” tiba-tiba suara Ki Getas Pendawa menyentak mereka dari lamunan. Para cantrik itu merasa seperti disengat oleh ular paling berbisa saat  suara Ki Getas Pendawa menyusup jauh ke dalam hati, lalu menggugah perasaan untuk kembali menjadi sadar.

Bersamaan dengan itu, terdengar pula suara yang sangat mereka kenal baik. Ki Buyut Mimbasara telah duduk merendah di sebelah Kang Tanur. ”Lukamu cukup berat. Kau harus mendapat perawatan yang cukup,” berkata Ki Buyut. Kedua tangan Ki Buyut bergerak cepat menyentuh simpul-simpul saraf dan urat darah untuk meringankan luka-luka Kang Tanur. Sejenak kemudian ia berdiri dan menebar mata memandang sekelilingnya.

“Seseorang yang bernama Kiai Rontek, Ki Buyut,” terbata-bata Kang Tanur memberi keterangan pada gurunya.

Kang Tanur berusaha memberi petunjuk arah dengan tangan yang nyaris tidak dapat digerakkan. Ia berkata lagi setelah mengatur napasnya, ”Maafkan saya, Ki Buyut.”

“Berusahalah untuk tenang dan jangan pikirkan angger Pangeran,” sahut Ki Buyut, ”ini bukan kesalahanmu dan juga bukan kesalahan para cantrik. Tidak ada yang patut disalahkan dalam peristiwa ini.” Kata-kata yang diucapkan Ki Buyut Mimbasara memang menenangkan hati para cantrik. Mereka yakin bahwa Ki Buyut tidak akan menimpakan kesalahan pada mereka. Para cantrik itu paham bahwa Ki Buyut mempunyai wawasan yang melampaui kedalaman samudera.

“Aku mendengar suara angger Jaka Wening dalam perjalanan menuju kemari,” kata Ki Kebo Kenanga sebelum berhenti sejenak, lalu lanjutnya, ”sepertinya aku datang terlambat.” Ki Buyut menarik napas dalam-dalam. Meskipun ia terlihat tegar menerima kenyataan bahwa Pangeran Benawa tidak terlihat berada disekitarnya, namun sebenarnya kecemasan mendera dalam hatinya. Ki Buyut berpaling pada Ki Getas Pendawa yang berdiri mematung menghadap arah kepergian Kiai Rontek.

Beberapa lama Ki Getas Pendawa memusatkan perhatian, lalu ia menundukkan wajah kemudian berkata,”Siapapun orang yang menculik angger Jaka Wening, sudah barang tentu ia mempunyai kepandaian sangat tinggi.”

Ki Getas Pendawa memutar tubuh lalu bergeser menghampiri Ki Buyut Mimbasara. Katanya lirih, ”Kakang, saya kira tidak ada lagi yang dapat kita lakukan pada malam ini.”

Ki Buyut menatap lekat wajah Ki Getas Pendawa, ia mengangguk kemudian berucap, ”Derap kakinya sudah tidak terdengar lagi. Dan kita harus katakan keadaan Angger Pangeran pada ayahnya meski kita belum mengetahui siapa sebenarnya orang yang merusak keadaan ini.”

Wedaran Terkait

Berhitung 9

kibanjarasman

Berhitung 8

kibanjarasman

Berhitung 7

kibanjarasman

Berhitung 6

kibanjarasman

Berhitung 5

kibanjarasman

Berhitung 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.