Apakah Ki Kebo Saloka benar-benar masih menyimpan kekuatan di dalam dirinya? Ia terpental, terdorong mundur hingga beberapa langkah namun kemudian kembali berdiri tegak. Tidak ada tanda-tanda lehernya patah!
Pangeran Selarong terbelalak! Ia sudah mencapai puncak ilmu tapi lawannya seperti tidak mempunyai rasa sakit sedikit pun. Pangeran Mataram ini pun menyerang dengan gerakan-gerakan hebat. Sepasang tombaknya tampak menari-nari, mematuk dan bergulung-gulung seperti putaran angin topan yang melanda lereng Merapi.
Serangan berbalas serangan.
Gebukan dahsyat Pangeran Selarong seakan-akan tidak membawa akibat bagi Ki Kebo Saloka yang masih mampu menghindar serangan lalu membalas dengan lecutan cambuk.
Tekad Pangeran Selarong makin membara. Ia sudah melihat bahwa tidak ada lagi kesempatan untuk mengurangi kekuatan para pembangkang selain waktu itu. “Aku hanya perlu melakukan yang terbaik demi Mataram pada saat ini, dan itu adalah mengalahkan orang ini,” kata Pangeran Selarong dalam hati. Baginya, bila ia melepas atau mengampuni Ki Kebo Saloka maka sama saja dengan mempermalukan Mataram di depan prajuritnya sendiri. Ki Kebo Saloka tidak menunjukkan gelagat meninggalkan gelanggang. Lalu, mengapa ia justru memberinya jalan? Maka segenap tenaga cadangan pun dikerahkan, disalurkan pada sepasang tombaknya dan sekejap kemudian sejenis ilmu Brajamusti pun telah melapisi senjatanya. Namun akibatnya justru di luar dugaan! Ilmu yang langka itu seolah-olah tidak mendapat tempat yang cukup pada dua tombak Pangeran Selarong, sehingga hawa dari ilmu pun menyebar lalu seakan-akan berubah menjadi dinding yang melapisi tubuh putra raja tersebut.
Sekarang ganti mata Ki Kebo Saloka yang terbelalak saat ujung belati pada cambuknya tidak mampu menyayat kulit Pangeran Selarong! “Bagaimana mungkin anak ini tiba-tiba menjadi kebal? Atau ia terlalu bodoh sehingga mengeluarkan ilmu kebalnya pada saat mendekati ajal?” tanya Ki Kebo Saloka pada dirinya sendiri. Patukan cambuk Ki Kebo Saloka terus menerus merobek pakaian Pangeran Selarong sehingga putra raja itu seperti sedang memamerkan luka-luka yang masih basah.
Orang-orang yang melihat pertempuran yang sangat dahsyat itu tidak dapat menahan kekaguman di dalam hati. Di depan mereka, ada dua orang yang ternyata masih memunculkan kejutan-kejutan pada puncak perkelahian. Bila pada awal pertarungan, Pangeran Selarong mendapatkan banyak luka akibat senjata lawan tapi sekarang yang terluka adalah pakaiannya saja. Sementara Ki Kebo Saloka pun belum tampak melemah meski bagian penting tubuhnya kerap menerima hantaman hebat dari lawannya.
Benar-benar perkelahian yang luar biasa dan akan dikenang sebagai perkelahian dahsyat yang menggetarkan.
Meskipun lecutan Ki Kebo Saloka tidak lagi sanggup melukai Pangeran Selarong namun pada kulit pangeran itu tampak bilu membiru panjang. Rasa pedih pasti dirasakan oleh putra Panembahan Hanykrawati tersebut, tapi ia adalah anak muda yang mempunyai ketahanan jiwani luar biasa sehingga sanggup mengabaikan sakit. Pengetrapan ilmu yang setingkat dengan Brajamusti dilakukan oleh orang yang tepat. Pangeran Selarong – yang pantang menyerah – kembali menggebuk leher Ki Kebo Saloka. Orang ini masih dapat menahan kedudukan – berusaha tidak terjatuh dengan menggunakan tangannya sebagai penopang.
Pangeran Selarong terdorong mundur seakan-akan ada kekuatan yang memantul lalu mengarah padanya. Putra raja itu menyeimbangkan tata gerak dengan satu lutut menempel tanah. Dari tempatnya, pangeran Mataram tersebut – dengan napas terengah-engah – kesulitan melihat bagian muka Ki Kebo Saloka yang masih dalam kedudukannya tapi tanpa pergerakan, mematung.
Dua orang itu masih tetap berada di gelanggang pertempuran dalam keadaan beku.
Pada hitungan napas yang kedua puluh, Kinasih membisikkan sesuatu pada Ki Baya Aji. Lurah Mataram yang berwibawa itu mengangguk lalu menatap tajam pada gelanggang. Kemudian tiga orang itu – Kinasih, Ki Anjangsana dan Ki Baya Aji – berjalan mendekat sambil memberi tanda pada prajurit agar tetap di tempat masing-masing. Ki Baya Aji memeriksa keadaan Pangeran Selarong, sedangkan Ki Anjangsana menyentuh tubuh Ki Kebo Saloka. Terkejutlah kemudian Ki Anjangsana ketika mengguncang tubuh orang yang menjadi lawan Pangeran Selarong. Ki Kebo Saloka tiba-tiba terguling dalam keadaan kaku! Seketika wajah Ki Anjangsana memucat pasi lalu berpaling pada arah Pangeran Selarong.
Ki Baya Aji tampak memejamkan mata ketika menyentuh jalur-jalur darah pangeran Mataram itu, mengangguk, kemudian bangkit lalu berkata, “Keadaan Pangeran tidak terlalu baik, tapi Pangeran akan cepat pulih.”
Orang-orang mendengar ucapan Ki Baya Aji lalu memandang Pangeran Selarong dengan perasaan lega. Langit tidak lagi terancam runtuh, begitu mereka mengucap puji di dalam hati.
Ketika pertarungan Pangeran Selarong sedang berlangsung dengan sengit, Panembahan Hanykrawati seperti menjadi sesuatu yang sulit dimengerti oleh Ki Sawala. Orang ini, sebenarnya, tidak lagi mempunyai harapan atau angan-angan untuk melarikan diri. Keinginannya pun hanya satu ; membunuh atau terbunuh di atas gelanggang. Namun, ia sedang kebingungan menghadapi Panembahan Hanykrawati yang hanya berdiri mematung dengan keris terjulur. Setiap kali ia bergerak ya memang Ki Sawala masih dapat berpindah tempat atau berloncatan. Setiap kali ia mengerahkan tenaga cadangan lalu menyalurkan pada senjatanya… ya benar, itu memang dapat dilakukannya. Namun setiap kali pengerahan tenaga itu ditujukan untuk menyerang Panembahan Hanykrawati maka kekuatannya tiba-tiba seperti lenyap!
Sehingga untuk beberapa lama, Ki Sawala termangu-mangu menghadapi perubahan yang aneh itu. Bahkan ia masih dapat melempar pandangan sejenak untuk melihat perkelahian Ki Kebo Saloka yang berlangsung agak jauh darinya. Saat itu, ia benar-benar menjadi menjadi tegang. Ketika melihat orang-orang lebih banyak memperhatikan gelanggang sebelah, lalu menyaksikan Panembahan Hanykrawati yang mematung sambil memandang dirinya setajam pedang, Ki Sawala berniat untuk mengulurkan tangan membantu Ki Kebo Saloka. Tapi, lagi-lagi terjadi hal aneh! Kakinya seakan-akan terikat dan tidak dapat digerakkan meski hanya setapak.
“Apakah raja Mataram ini bersekutu dengan setan?” tanya Ki Sawala dengan nada geram dalam hati. Teringat olehnya bahwa pernah menjadi pembicaraan pada masa lalu berkenaan sejumlah orang Mataram yang menguasai ilmu langka yang bertumpu pada pandangan mata. “Ki Gede Telengan, Agung Sedayu dan beberapa orang lagi. Tapi, apakah Kakang Panji dan Kiai Gringsing juga menguasai ilmu setan ini?” Ki Sawala bertanya pada dirinya sendiri. Seseorang hanya berdiri tegak seperti batang pohon dan hanya memandanginya saja, baginya, pertempuran semacam ini adalah yang pertama kali dialaminya. Setelah mengamati keadaan yang sedikit longgar, menurutnya, maka Ki Sawala kemudian memutuskan untuk menunggu segala yang akan diperbuat Panembahan Hanykrawati selanjutnya.
Segumpal awan kelabu mengambang rendah di atas hutan. Hanyut perlahan melewati dua bukit yang terpancang di bawah Merapi.
Jauh dari pandangan dan pengamatan orang, sesungguhnya Panembahan Hanykrawati sedang bersunyi diri di tengah gelanggang. Panembahan Hanykrawati berserah sepenuh hati dan keinginan pada kuasa Yang Maha Sempurna. Merendahkan diri dan memaksa keinginan agar tunduk pada kehendak Yang Maha Agung. Meskipun demikian, pemimpin puncak Mataram itu tidak berada di alam perbatasan yang remang-remang. Putra Panembahan Senapati ini mencegah kenangan masa lalu agar tidak masuk dalam ciptanya. Beliau juga menjauhkan diri dari bayang-bayang masa depan. Beliau menjaga diri dari bayang benda yang terlihat nyata, termasuk para pengawal dan orang-orang di sekitar gelanggang.
Jagad suwung gung liwang liwung, tana ana rupa, tan ana suara
Cipta daya kuasa lebur dening Ingkang Maha Kuasa
Dalam waktu yang lebih pendek dari sepenanakan nasi, Ki Sawala benar-benar berada dalam keadaan membosankan. Menjemukan! batinnya. Asap tipis yang terhempas dari petani yang membakar jerami kering datang mengikis kesabaran Ki Sawala. Orang ini hampir putus asa atau mungkin sudah patah harapan. Ia seakan-akan sedang mematahkan ranting lalu melemparkannya ke api. Ia kemudian memandang sekeliling gelanggang dan ternyata orang-orang sudah berkerumun melingkari gelanggang. Mereka tidak berjajar rapi tapi begitu jelas bahwa mereka sudah bersiap apabila terjadi hal buruk pada Panembahan Hanykrawati. Tapi Ki Sawala merasa risih karena seakan menjadi tontonan yang menjemukan. Betapa dirinya hanya berdiri saja berhadap-hadapan dengan Panembahan Hanykrawati tanpa berbuat sesuatu pun. Sorot mata Ki Sawala terlihat beringas seperti ada keinginan untuk melahap Panembahan Hanykrawati hidup-hidup. Sedangkan kerisnya yang terjulur telanjang terkesan seperti kobaran api peperangan. Ia belum banyak mendapatkan luka karena gempuran para pengawal raja memang tidak banyak membuat kesulitan padanya.
Baik Ki Sawala maupun Panembahan Hanyrkawati sama sekali tidak menggeser langkah atau sekedar gerakan kecil untuk mengalihkan perhatian lawan. Tidak, mereka memang hanya saling memandang saja. Tak lama kemudian, Ki Sawala bergeser setapak maju, lalu beralih ke samping dan terus membuat gerakan memutar sebelum kembali ke kedudukan awal. Dalam waktu itu, Ki Sawala mendapatkan gagasan untuk mencoba sekali lagi. Maka ia pun kembali mengerahkan tenaga cadangan lalu disalurkannya pada sepasang lengan, terutama pada kerisnya yang menjadi ujung serangan. Setelah dirasakan cukup, Ki Sawala mengendapkan diri sejenak sambil memandang sasarannya yang tidak bergerak.
Orang-orang menahan napas ketika melihat Ki Sawala bergerak cepat sedangkan Panembahan Hanykrawati masih tetap mematung. Namun mereka lega meski dengan ada pertanyaan di dalam pikiran masing-masing pada saat Ki Sawala tiba-tiba menghentikan serangan begitu saja.
Sebenarnyalah ketika Ki Sawala menghentak, maka seketika daya serangnya musnah! Ia memang dapat bergerak maju dan kerisnya pun terangkat tapi kekuatan itu berasal dari tenaga wadag.
“Oh, begitulah kira-kira,” desis Ki Sawala dalam hati. Lantas pandang matanya mengitari sekitar gelanggang pertarungan. Ki Sawala tidak mengabaikan kemampuan para senapati Mataram, terutama Ki Baya Aji karena kemampuannya mengatur gelar perang. Dan, menurut Ki Sawala, Ki Baya Aji adalah orang paling berbahaya baginya saat itu.
Dari arah timur, tampak Pangeran Selarong berjalan sambil dipapah oleh Ki Sadana. Putra raja itu kemudian berhenti pada jarak sekitar dua puluh atau tiga puluh langkah dari Panembahan Hanykrawati. Ketika mengamati sikap tubuh ayahnya, Pangeran Selarong sadar bahwa sesaat lagi pertarungan akan berakhir. Maka ia meminta Ki Sadana dan seorang pengawal lain agar memindahkannya pada tempat yang diinginkannya.
Sementara Kinasih, Ki Baya Aji dan Ki Anjangsana menempati kedudukan yang berbeda. Meski belum banyak menyaksikan saat-saat genting pada sebuah perkelahian, Kinasih dapat merasakan sesuatu yang berbeda yang sedang meliputi dua orang yang berada di dalam lingkar perkelahian. Ia akan tetap baik-baik saja jika sekedar mempersiapkan sedikit dari tenaga cadangan, pikir Kinasih. Lantas ia memindahkan sebatang kayu yang dijadikannya tongkat ke tangan kanan. Kinasih meningkatkan kewaspadaan dan bersiap atas segala yang bakal terjadi.
Semua orang berada di puncak gelisah. Mereka dilarang mencampuri perkelahian. Bila terjadi sesuatu yang buruk, pastilah itu akan menjadi beban terberat dan kenangan terburuk sepanjang hidup mereka. Dalam keadaan lain, mereka pun harus menerima kenyataan bila menjadi tumpuan kemarahan seluruh orang Mataram. Mereka mungkin akan disudutkan dan disalahkan. Jantung dan kepala mereka terasa seperti akan meledak dengan keadaan itu. Namun saat melihat Pangeran Selarong dan Kinasih berada di dekat mereka, maka benih harapan pun muncul. Seketika mereka pun menyemainya. Bayangan Pangeran Purabaya, Agung Sedayu, Ki Patih Mandaraka dan para tokoh terkemuka lain pun segera muncul dalam pikiran para pengawal. Benar, mereka tidak boleh putus harapan karena Mataram akan tetap menggeliat menyambut matahari pagi.
Sesaat kemudian, Ki Sawala memandang kerisnya lalu berkata dalam hati, “Seandainya benar kau adalah keris kutukan, aku sama sekali tidak peduli. Seandainya benar kau adalah keris yang mencabut nyawa raja-raja Singhasari, aku pun tetap tidak peduli. Aku hanya ingin kau membantuku untuk menghabisi nyawa anak laki-laki Danang Sutawijaya. Itu saja.”
Ki Sawala lantas merenggangkan dua kaki, lalu bertumpu pada salah satunya. Tata gerak dasar yang ditunjukkan olehnya agaknya sudah dalam perhitungan matang. Dengan tangan menyilang di depan dada, sementara tangan sebelah menggantung bebas sambil menggenggam maka itu sudah menjadi gambaran betapa kuat ayunan keris yang akan dikibaskan.
Pangeran Selarong – sedikit terhuyung – melangkah lebih dekat sambil tetap menjaga agar Panembahan Hanykrawati tidak sampai terganggu pengendapan budi dan rasanya.
Pada waktu itu, kesadaran Panembahan Hanykrawati berada di ambang perbatasan dan semakin samar untuk melihat alam nyata tapi sangat jelas ketika menyaksikan alam yang lain. Panembahan Hanykrawati dapat melihat semua yang terjadi di sekitarnya meski dua matanya terpejam. Bahkan, beliau mampu mengetahui yang akan dilakukan Pangeran Selarong sedenyut waktu sebelum benar-benar dilakukan oleh putranya itu. Sehingga ketika keris Kiai Sengkelat terangkat lalu bergerak memutar di atas kepala, maka itu berlangsung di luar kehendak Panembahan Hanykrawati sendiri. Pemimpin Mataram itu pun membiarkan kekuatan asing bekerja sekehendaknya.
Ki Sawala bergerak. Berlari dengan langkah panjang tapi tidak disertai dengan ilmu yang ada di dalam dirinya. Orang itu bergerak dengan tenaga wadag!
Jantung orang-orang sekitar gelanggang pun seakan berhenti berdetak saat pandangan mereka terpaku pada Panembahan Hanykrawati yang sama sekali tidak bergerak.
Namun tiba-tiba langkah kaki Ki Sawala terhenti. Seperti ada kekuatan yang menolaknya. Maka tubuhnya pun terpental tapi bersamaan dengan itu, Ki Sawala pun melemparkan keris – yang menurut pengakuan gurunya adalah keris buatan Empu Gandring – yang kemudian meluncur deras mengarah pada dada Panembahan Hanykrawati!
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.