Sebagian pedati yang ditinggalkan di perut lembah menjadikan perjalanan iring-iringan Panembahan Hanykrawati sedikit lebih cepat. Barisan semakin ramping karena terbagi menjadi banyak kelompok yang masing-masing mempuyai tugas sendiri-sendiri. Demikianlah Panembahan Hanykrawati hampir mencapai sisi luar Alas Krapyak ketika Agung Sedayu dan Kinasih berhasil menyusulnya.
“Bagaimana keadaan orang-orang yang berada di belakang?” tanya Panembahan Hanykrawati pada Agung Sedayu sambil menggerakkan kepala seakan ingin melihat para pengiringnya.
“Mereka dalam keadaan yang cukup baik, Panembahan,” jawab Agung Sedayu. Lantas ia pun bertanya tentang kesehatan raja Mataram itu. Pengamatan singkat pun dilakukan oleh senapati pasukan khusus ini. Penglihatan Agung Sedayu memantau perubahan yang terjadi pada paras wajah Panembahan Hanykrawati yang tampak memudar. Seharusnya pemimpin Mataram ini tidak dapat mencapai tempat itu, tapi barangkali karena daya juang yang tinggi, maka Panembahan Hanykrawati dapat menahan udara dingin yang menusuk tulang dan demam yang berat mendera tubuhnya.
Atas permintaan Pangeran Selarong yang langsung disampaikan padanya di depan Panembahan Hanykrawati, Agung Sedayu tidak dapat menolak tanggung jawab yang dibebankan penuh di atas pundaknya. Tanpa menyatakan keberatan, Agung Sedayu segera menjalankan permintaan itu dengan memilih sebagian orang untuk memeriksa keadaan di bagian depan. Mereka ditugaskan untuk mengamankan bangunan sederhana berangka kayu yang beratap jerami yang akan dijadikan tempat istirahat Panembahan Hanykrawati. Ki Grobogan Sewu ditunjuk sebagai pemimpin regu karena kelebihannya terkait penanganan anjing-anjing pemburu yang dikandangkan agak jauh dari bangunan kayu. Ki Anjangsana bersama Pangeran Selarong tetap berada di dekat Panembahan Hanykrawati, sementara perondaan akan dikendalikan langsung oleh Agung Sedayu sendiri.
Agaknya malam hampir menjelang tiba. Gelapnya sudah menutupi seluruh permukaan Alas Krapyak. Para pengiring mempersiapkan segala sesuatu demi keperluan esok hari dengan sungguh-sungguh meski didera lelah. Usai itu semua, mereka mengambil waktu untuk istirahat. Beberapa di antaranya mendapatkan giliran jaga.Meski demikian, sebagian orang merasa sulit memejamkan mata. Dan malam itu serasa bergerak lebih lambat bagi semua orang termasuk Panembahan Hanykrawati dan Pangeran Selarong.
“Kinasih,” kata Agung Sedayu pada gadis yang berjalan sebelah menyebelah dengannya.
“Saya, Ki Rangga,” ucap Kinasih.
“Hanya ingin memastikan, bahwa benar Raden Mas Rangsang melakukan pengejaran dengan arah menuju hutan ini?”
“Meski saya tidak begitu hafal wajah atau bentuk tubuh Pangeran Mas Rangsang tapi saya melihat dua orang berkejaran ke arah hutan ini.”
Agung Sedayu memutuskan untuk mengawal Panembahan Hanykrawati dari jarak yang agak jauh tapi cukup memadai untuk penyelamatan jika bahaya kembali mengancam. Perondaan yang dilakukan dengan berjalan kaki itu segera menyodorkan temuan yang cukup mengejutkan. Ketajaman penglihatan senapati Mataram itu memang berada di atas rata-rata. Waktu itu, Agung Sedayu mendapati dua jasad terbujur kaku di balik rimbun semak. Sambil memeriksa dua jasad itu, Agung Sedayu mengingat bahwa memang ada sejumlah orang yang bertugas khusus di dalam Alas Krapyak. Mereka menempati bangunan kayu untuk merawat belasan anjing yang secara khusus dilatih untuk berburu.
“Orang-orang ini tidak mati dalam keadaan wajar,” desis Agung Sedayu. Sejenak ia memandangi Kinasih dari samping, kemudian berkata, “Apakah ada bekas-bekas perkelahian? Dapatkah kau merunut jejak mereka untukku?”
“Jejak pembunuh atau jejak beliau-beliau ini?” Kinasih balik bertanya dengan tangan memberi isyarat tentang maksudnya.
“Betul. Jejak mereka ini… dari arah kedatangan,” jawab Agung Sedayu yang diam-diam semakin kagum pada ketajaman nalar Kinasih.
Kinasih bangkit tapi ketika hendak beranjak, tiba-tiba ia memutar tubuh. “Apakah saya akan melakukannya sendirian?”
Agung Sedayu tersadar bahwa gadis itu tidak dalam keadaan baik. Sedikit gugup, Agung Sedayu menjawab, “Tidak, oh tentu tidak. Kita lakukan bersama-sama. Mari, marilah kita segera kerjakan.” Agung Sedayu lantas memanggil seorang pengiring yang berada di dekat mereka lalu memberi pesan penting terkait dua jasad kaku tersebut.
Dalam waktu itu, Agung Sedayu sadar ada yang janggal di dalam hatinya. Entahlah, ia pun tidak tahu sebab kegugupannya itu. Pada bagian hatinya yang lain, ia merasa senang karena dapat berdekatan dengan Kinasih. Namun pada sisi yang berbeda, ia tahu bahwa di sekitar mereka ada maut yang mengintai Panembahan Hanykrawati.
Bagi Kinasih, persetujuan Agung Sedayu menjadi saat-saat yang membahagiakan. lagi. Kesopanan senapati Mataram itu terhadap perempuan – meski berusia lebih muda – mampu menawan perasaannya. Kepedulian dan kehati-hatian punggawa tangguh Mataram padanya benar-benar membuat Kinasih meleleh. Hamparan hijau di dalam rongga jiwa Kinasih seperti sedang menerima sinar matahari yang memanjat naik. Embun tampak berkilau dan begitu sedap dipandang. Meski malam sudah tidak dapat dibedakan karena suasana Alas Krapyak sedemikian gelap, tapi segalanya terlihat terang benderang. Kehangatan sigap mendekap hati Kinasih dan udara dingin tak terasa sedikit pun. Sekali-kali terdengar lolong anjing dari kejauhan. Bila sendirian dan sedang terluka, Kinasih tidak sanggup untuk berandai-andai. Bisa jadi, ia akan memilih untuk tinggal di sekitar prajurit Mataram. Tapi bersama Agung Sedayu, Kinasih melakukan penyelidikan dengan hati berbunga-bunga. Kegirangan yang seolah tiada berbanding. Harapan terasa semakin mendekati nyata walau kadang berseling kegelisahan. “Sesuatu yang indah selalu dapat dihancurkan,” ucap Kinasih dalam hatinya.
Demikianlah Agung Sedayu dan Kinasih menjelajahi lingkungan sekitar bangunan kayu. Mereka cermat dan teliti menyisir jejak berteman suara ketonggeng serta serangga malam lainnya. Hingga menjelang tengah malam, mereka berdua masih tampak sibuk mencari sebab-sebab yang mengarah pada dua jasad kaku yang telah dirawat oleh prajurit Mataram.
“Tidak mungkin ada akibat tanpa sebab,” gumam Agung Sedayu. Sambil duduk di atas akar yang menyembul keluar dari tanah, ia meneruskan kata-kata, “Kita tidak melihat jejak yang lain. Yang ada hanya jejak mereka berdua dan itu pun berasal dari sekitar kerangkeng anjing.”
“… dan kerangkeng pun masih terkunci dengan selarak kayu melintang,” sambung Kinasih.
“Yang tersisa untuk kita adalah bekas pukulan jarak jauh dan sedikit semak yang berantakan,” kata Agung Sedayu. Sejenak kemudian terdengar helaan napas panjang dari pimpinan pasukan khusus ini. Murid utama Kiai Gringsing itu tampak mengerutkan kening, lalu mengucap kata-kata yang hanya dapat didengar oleh Kinasih. Sementara gadis – yang mungkin sepantaran usia dengan Mangesthi – itu mendengar penuh seksama sambil sesekali melihat wajah Agung Sedayu dengan seluruh perasaan. Dalam waktu seukuran air mendidih ketika direbus, Agung Sedayu tiba-tiba menghentikan perkataan. Jari telunjuknya berada di depan bibir. Kinasih mengerutkan alis lalu mencoba menajamkan pendengaran.
Untuk menjaga keadaan dan memastikan keamanan, Agung Sedayu meraih tangan Kinasih agar bergeser lebih dekat padanya. Segenap indra Agung Sedayu bekerja cepat bahwa ada seseorang yang menyertai mereka, Tapi, orang itu ada di mana? Siapa? Apa tujuannya? Agung Sedayu tidak ingin meraba-raba. Oleh karena ia merasa ketajaman pendengarannya belumlah cukup menangkap getar halus yang menyentuh gendang telinga, Agung Sedayu mengetrapkan Sapta Pangrungu setahap demi setahap hingga memperoleh kepastian ; ada seseorang yang menyebut namanya dengan gelombang suara yang sangat rendah.
Kinasih menatap wajah Agung Sedayu dari samping hingga tanpa sadar tubuh mereka bersentuhan.
Sementara itu, Agung Sedayu mulai mengerahkan perhatian mencari sumber suara. Ini sudah pasti hanya dapat dilakukan oleh orang-orang pilihan. Namun sejauh itu, Agung Sedayu belum mendapatkan arah.
Kinasih masih memandang wajah Agung Sedayu penuh rasa kagum.
Perlahan namun pasti, Agung Sedayu mengarahkan pandangannya pada sebatang dahan yang melintang sekitar tiga puluh atau lima puluh langkah dari tempat mereka. Melalui Sapta Pandulu, Agung Sedayu akhirnya mengetahui ada orang yang telungkup memeluk dahan supaya dapat tersamar dalam gelap.
Kinasih melihat sebelah tangannya yang tergenggam Agung Sedayu dengan rasa yang berkecamuk.
“Kita tidak sendiri, Kinasih,” bisik Agung Sedayu. “Karena engkau terluka, bukan tidak mungkin itu memengaruhi pendengaran ataupun penglihatanmu.”
Kinasih mengangguk perlahan.
“Jangan kau gerakkan kepalamu pada arah kotaraja. Seseorang sedang mengawasi kita. Aku kira ia mengenaliku karena menyebut namaku.”
“Mungkinkah itu Pangeran Jatmika?” tanya Kinasih sambil menyebut panggilan lain untuk Raden Mas Rangsang.
“Aku tidak dapat memastikannya.”
Mendadak orang itu lenyap dari pandang mata Agung Sedayu. Namun ketajaman pendengaran Agung Sedayu dapat menangkap getar lembut yang terinjak benda yang nyaris tanpa bobot karena begitu ringan!
“Ia di sini!” Agung Sedayu berseru dengan suara tertahan. Ia bangkit sangat cepat hingga Kinasih nyaris terpental jika tidak bersiaga.
Tanpa suara, tanpa hembus angin yang mendahului atau mengiringi, seorang anak muda tiba-tiba berdiri pada jarak kurang lima langkah dari Agung Sedayu.
“Pangeran,” sapa Agung Sedayu kemudian bersalam hormat.
“Tegaklah,” kata Raden Mas Rangsang yang kadang-kadang juga dipanggil dengan nama Raden Mas Jatmika. Kemudian pangeran Mataram ini mengangguk pada Kinasih yang berdiri di balik punggung Agung Sedayu. “Paman,” ucap Raden Mas Rangsang kemudian, “aku telah mengetahui kedatangan Panembahan bersama kalian sebelum memasuki Alas Krapyak.”
Mengetahui jati diri orang yang berhadapan dengan mereka, Kinasih bergeser lalu dengan sikap santun berdiri sebelah menyebelah dengan Agung Sedayu. Mereka lantas mendengar perkataan putra raja Mataram itu dengan seksama.
“Dari percakapan beberapa orang yang menempati sisi selatan hutan ini, aku mendengar bahwa iring-iringan Panembahan mendapat serangan beberapa kali,” kata Raden Mas Rangsang lalu menghembuskan napas panjang. “Aku harus berterima kasih pada kalian atas penjagaan dan pengamanan yang sangat baik pada raja Mataram.”
“Kami melakukannya dengan lapang hati, Pangeran,” ucap Agung Sedayu.
“Aku mengetahui keberadaan mereka ketika mengejar seseorang yang mungkin ia adalah salah satu pemimpin mereka,” lanjut Raden Mas Rangsang. “Aku kira Paman sudah mengetahui kejadian tersebut.”
Agung Sedayu mengangguk lalu dua matanya terpejam.
Raden Mas Rangsang seperti mengetahui isi pikiran Agung Sedayu, lalu katanya, “Apakah Paman mempunyai dugaan mengenai orang-orang yang berada di sekitar hutan?”
Kisah lanjutan Geger Alas Krapyak : Bara di Bukit Menoreh… Nantikan kelahirannya di gandok kiri Padepokan Witasem
“Kami telah memeriksa keadaan sekitar bangunan kayu yang sekarang menjadi tempat istirahat Panembahan,” ucap Agung Sedayu. “Lalu kami temukan dua mayat yang membujur di sebelah utara bangunan. Meski demikian, kami tidak menemukan bekas-bekas adanya perkelahian.”
“Menurut Paman, apa yang menjadi sebab kematian dua orang itu?”
“Pukulan jarak jauh atau setidaknya ada benda tumpul yang mematahkan tulang-tulang penting mereka. Saya kira itu hanya dapat dilakukan dari belakang atau dengan kecepatan dan kekuatan yang cukup. Bila tidak demikian, dua abdi itu pasti melakukan perlawanan.”
“Berarti malam ini kita akan berhadapan lagi dengan sekumpulan orang gila yang haus kekuasaan.”
Agung Sedayu dan Kinasih tidak berkata sedikit pun. Mereka hanya memandang ke bawah. Kegeraman Raden Mas Rangsang dapat dimengerti karena kenyataan memang seperti yang diucapkan pangeran Mataram itu. Tanpa memperhatikan akibat dan derita panjang, Raden Atmandaru dan pengikutnya seolah bersuka ria mengobrak-abrik tatanan Mataram. Itu jelas bukan persoalan yang tidak dapat dianggap seperti angin lalu. Tapi pada malam itu, perhatian mereka berdua terpusat pada keselamatan Panembahan Hanykrawati.
“Apakah, menurut Pangeran, orang-orang Raden Atmandaru telah mengepung bangunan kayu?”
“Aku tidak sependapat jika Paman katakan sebuah kepungan karena ayah dapat mencapai tanah lapang yang berada di sekitar kedalaman hutan,” jawab Raden Mas Rangsang.
“Walau itu bisa menjadi kemungkinan yang lain.” Agung Sedayu berkata sambil memandang langit melalui sela-sela dedaunan yang rapat di atas mereka.
Raden Mas Rangsang mengangguk dalam-dalam. “Masuk akal karena aku tidak melihat seorang pun pada jalur yang sama dengan yang kalian tempuh saat memasuki hutan.”
“Kami meronda berkeliling dengan Panembahan Hanykrawati sebagai pusat lingkaran. Bila perhitungan kami tidak salah, lingkungan Panembahan bebas dari orang asing pada jarak sekitar seratus langkah.”
“Itu berarti hampir seluas tanah lapang itu sendiri,” kata Raden Mas Rangsang.
Agung Sedayu lantas menerangkan bahwa di antara mereka juga ada anak buah Raedn Atmandaru yang menjadi tawanan.
“Seharusnya mereka dihukum sewaktu masih berada di lembah,” kata Raden Mas Rangsang denga alasan supaya tidak menjadi beban ketika ada serangan lagi di dalam Alas Krapyak. Namun ia berpikir sejenak, kemudian berkata lagi, “Tapi mereka dapat dimanfaatkan bila ratusan anak panah mengarah pada ayahanda.”
Agung Sedayu dan Kinasih tidak mengatakan sesuatu pun atas ungkapan pikiran pangeran Mataram tersebut. Ketika Raden Mas Rangsang menanyakan siasat yang mungkin sudah disiapkan oleh senapati pasukan khusus itu, Agung Sedayu pun mengungkapkan dengan singkat.
“Baiklah, aku kira waktu sudah cukup pertemuan singkat ini,” kata Raden Mas Rangsang. “Aku akan melihat keadaan ayah. Dan rencana Paman juga akan didengar oleh adimas Pangeran Selarong. Aku pikir Pangeran Selarong tidak akan keberatan dengan siasat tadi.”
“Pangeran lebih paham persoalan ini,” ucap Agung Sedayu.
Sejenak Pangeran Mas Rangsang memandang wajah Kinasih yang sedikit sekali berkata-kata. Dari tatap matanya, putra raja itu menyadari bahwa Kinasih tidak dalam keadaan yang baik untuk bertempur. “Jaga diri kalian,” ucap Raden Mas Rangsang. “Bisa jadi pertemuan kita berikutnya akan terjadi di dalam pertempuran.” Usai berkata demikian, Pangeran Mas Rangsang tiba-tiba lenyap dari pandangan.
Klik juga : Saluran Padepokan Witasem di Youtube
“Demikian pula untuk Pangeran,” kata Agung Sedayu dengan bahasa tubuh memberi hormat pada arah kepergian putra raja tersebut. Kinasih pun melakukan hal yang sama meski Raden Mas Rangsang sudah meninggalkan mereka.
Malam tenggelam semakin dalam dan gerimis sepertinya enggan beralih dari Alas Krapyak. Ketika semakin dekat dengan tempat yang kelak dikenal sebagai Kandang Menjangan, Raden Mas Rangsang menngubah pergerakannya. Ia mengayun kaki secara wajar menuju tempat Panembahan Hanykrawati agar tidak mengejutkan prajurit atau senapati yang tugas jaga.
Dalam waktu itu, putra raja tersebut berulang kali menarik napas panjang. Sesuatu tampaknya sedang mengganggu pikirannya. Kesehatan Panembahan Hanykrawati yang tak kunjung membaik akan memengaruhi keadaan hingga kegiatan berburu usai. Ia mengulang suara hati dan pikiran yang sama serta sering ditujukan pada dirinya sendiri. “Aku belum pernah melihat ayah tampak tenang dalam sehari pun. Sepanjang waktu setiap kali aku bersama beliau, mengapa selalu ada gurat cemas pada wajah beliau? Tapi aku harus menyadari bahwa aku juga melihat bahwa orang-orang tertentu yang berada di sekitar beliau mempunyai tatapan binatang buas. Perburuan ini, selain untuk menenangkan rakyat Mataram, mungkin menjadi kesempatan beliau untuk istirahat sejenak dari perbedaan-perbedaan pendapat yang kacau di istana.”
Beberapa penjaga terlihat akan mengiringi Raden Mas Rangsang saat mengenali lelaki muda yang berjalan tenang mendatangi bangunan kayu. Namun agaknya pangeran Mataram itu keberatan lalu berkata, “Aku baik-baik saja. Sebaiknya kalian tetap berada di gardu penjagaan dengan tetap menjaga kewaspadaan. Kita tidak tahu rencana dan yang sedang diperbuat oleh lawan.”
Para prajurit pun sadar, maka mereka pun mematuhi perintah putra raja yang juga merupakan keturunan Pangeran Benawa tersebut.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA
Terima kasih.