Ki Panji Badra Wungu sadar bahwa lawannya sudah pasti mengabaikan segala kemungkinan demi mengincar hidup Panembahan Hanykrawati. Tandang Ki Banyuasri benar-benar galak. Orang itu tampak seperti elang yang menyambar mangsa yang berada di dalam kandang. Sangar tapi tanpa perhitungan, begitulah pikiran Ki Badra Wungu.
Tanpa penjajagan atau semacam uji coba pada kekuatan lawan, Ki Banyuasri segera meloloskan senjatanya berupa keris berlekuk lima. Hasrat membunuh sangat kuat memancar darinya dan getaran tenaganya benar-benar memengaruhi udara sekitarnya. Setiap keris kali Ki Banyuasri terjulur atau menebas maka selalu ada hawa maut yang mendesing setelahnya. Pertempuran pun meningkat semakin sengit dan membahayakan Ki Panji Badra Wungu yang masih bertahan dengan tangan kosong.
Senapati Mataram yang handal dalam pengintaian itu masih meraba kedalaman ilmu Ki Banyuasri. Kemudian, pada suatu gebrakan, Ki Panji Badra Wungu mengakui bahwa lawannya menyimpan kekuatan yang luar biasa. Untuk itulah, Ki Badra Wungu segera mengubah tata geraknya dengan mengeluarkan senjata pula yaitu senjata yang berbentuk sama persis dengan lawannya, keris berlekuk lima. Seketika Ki Badra Wungu pun mulai membalas serangan, membenturkan senjata dan beradu tenaga. Keris di tangan Ki Panji Badra Wungu menyambar-nyambar dari segala arah, dan juga mematuk dari bawah hingga bagian atas tubuh Ki Banyuasri.
Nalar Ki Banyuasri seakan-akan mandeg karena hasrat meluap-luap yang memenuhi dadanya sehingga ia tetap bertahan dengan caranya semula sedangkan lawannya meningkat lebih tinggi. Walau Ki Banyuasri sanggup membalas serangan dengan kemampuan yang mengalir sangat deras, tapi itu bukan bekal terbaik untuk meladeni tandang Ki Panji Badra Wungu. Agaknya Ki Banyuasri mengabaikan perkembangan atau tidak mampu melihat perubahan yang sedang dihadapi.
Memerhatikan lawannya yang bertempur dengan cara yang janggal, Ki Badra Wungu memberi peringatan, “Jangan kau buang tenaga dan waktumu. Menyerahlah karena itu yang terbaik dalam hidupmu!”
Ki Banyuasri tidak menanggapi seruan itu. Justru mukanya menjadi merah. Ia makin pun menghentak serangannya lebih cadas.
Namun demikian, Ki Badra Wungu mengimbanginya dengan sangat baik. Senapati ini tidak ingin mengakhiri hidup lawannya secara cepat. Sesuatu sedang mengendap dalam pikiran Ki Panji Badra Wungu dan itu sejalan dengan keinginan Raden Mas Rangsang yang tidak ingin menodai persahabatan orang-orang Pegunungan Sewu dengan Mataram.
Pada saat Ki Badra Wungu sedang menunggu waktu untuk merobohkan Ki Banyuasri, gerombolan anjing pemburu yang dikendalikan Ki Grobogan Sewu bertarung dengan sengit. Hewan-hewan ini menggigit pundak, kaki, lengan dan hampir semua bagian tubuh lawan yang dekat dengan kedudukannya. Binatang bertaring itu seolah mengerti dan memahami setiap perintah yang dikeluarkan melalui suitan-suitan Ki Grobogan Sewu. Sehingga setiap lawan yang terbanting karena terkaman atau terbetot taring yang tajam, maka dua sampai tiga ekor anjing akan merobek-robek dagingnya hingga orang itu terguling-guling dan tak berdaya. Sedangkan senapati Mataram tersebut cukup lincah dan cekatan menghindari perkelahian satu lawan satu dengan lawan yang berkedudukan sama dengannya. Tentu saja Ki Grobogan Sewu tetap mengutamakan satuan tempurnya yang ajaib itu. Setiap kali ada pengawal Mataram yang berteriak memanggil namanya untuk meminta bantuan, Ki Grobogan Sewu segera bergeser tempat sambil membawa beberapa ekor anjing. Atas perintahnya, sekelompok anjing itu pun segera menyerang dengan buas. Dengan siasat demikian, anjing-anjing pemburu mampu menjadi pelapis pergerakan pasukan Mataram dengan cara menggiriskan.
Ada Kiai Sengkelat, ada pula Sabuk Inten (klik)
Malam yang kelam dan berselimut kabut rupanya dapat dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Ki Sekar Tawang. Orang ini menempuh jalan lain saat mengetahui Ki Ajar Mawanti mendatangi Panembahan Hanykrawati yang didampingi Pangeran Selarong dan Ki Baya Aji. Ki Sekar Tawang tidak lagi menjadikan Agung Sedayu sebagai sasaran utama. Pikirnya, jika Ki Ajar Mawanti gagal membunuh Panembahan Hanykrawati maka ia segera dapat melapisi serangan sehingga percobaan dapat diulang. Lelaki yang terlibat dalam permusuhan melawan Panembahan Senapati pada saat penaklukan Madiun itu lantas mengendap, menunggu dengan sabar hingga Ki Ajar Mawanti benar-benar membenturkan kekuatannya. Untuk memastikan orang yang berada di dalam bangunan kayu, Ki Sekar Tawang mengerahkan kemampuan penajaman pendengaran. Pada mulanya, ia sama sekali tidak mendengar napas berhembus di dalamnya hingga pengerahan ilmu itu mencapai batas tertinggi. Ki Sekar Tawang mengerutkan kening lalu berkata pada dirinya sendiri, “Lalu mereka melindungi siapa? Aku tidak mendengar apa pun dari bagian dalam. Dan, ada yang janggal. Mengapa tidak terlihat Mas Rangsang sejauh aku melangkah?” Ki Sekar Tawang menduga Raden Mas Rangsang berada di dalam bersama ayahnya, tetapi mengapa tidak terdengar hembus napas dari dua orang?
Demikianlah keadaan di dalam bangunan yang sangat senyap dan seolah-olah terpisah dari keributan yang berlangsung di sekitarnya. Raja Mataram ini telah menyatakan bahwa dirinya terputus dari segala keinginan yang tampak maupun tidak tampak mata. Panembahan Hanykrawati tidak lagi membutuhkan kesohoran atau juga nama baik yang dikenang sepanjang masa. Dalam waktu itu, orang yang sangat dihormati oleh Agung Sedayu, tampak sangat khidmat dengan mata terpejam melantunkan kidung-kidung jiwani di dalam hatinya. Panembahan Hanykrawati sedang memanjat tinggi pada kedudukan titising pati.
Sementara Raden Mas Rangsang masih bersimpuh di ujung kaki ayahnya. Meski demikian, pangeran Mataram itu tidak mengendurkan kesiagaan. Ia mengetahui kehadiran orang-orang yang mendekati bangunan. Ia mendengar suara perkelahian yang melibatkan Ki Panji Badara Wungu dan Ki Banyuasri. Lelaki muda berderajat tinggi itu juga mendengar langkah kaki seseorang yang mendekati mereka dari arah timur.
Sebelum kesenyapan melanda ruangan, tepatnya setelah para senapati menerima perintah lalu meninggalkan ruangan, Panembahan Hanykrawati berbincang dari hati ke hati dengan Pangeran Mas Rangsang.
“Menjadi raja adalah garis hidup yang telah ditentukan, walau demikian, seseorang selalu mempunyai pilihan untuk menentukan,” kata Panembahan Hanykrawati. Setelah diam sejenak, beliau melanjutkan, “Namun kadang-kadang seseorang tidak dapat menolak suatu ketentuan apabila telah ada kesepakatan atau perjanjian yang mengikatnya sebelum orang itu menyadari sepenuhnya.”
Raden Mas Rangsang mendengar dengan seksama dengan pandangan menatap ke bawah.
“Angger Mas Jatmika, engkau dan Pangeran Martapura berasal dari darah yang sama. Tidak ada yang lebih istimewa dari kalian berdua. Kelebihanmu mungkin menjadi kekurangan Pangeran Martapura, dan juga sebaliknya, mungkin kekuranganmu adalah kelebihannya.” Terdengar helaan napas panjang ucai Panembahan Hanykrawati berkata demikian. “Kewajibanmu adalah melindungi semua saudaramu yang berusia lebih muda, termasuk Pangeran Martapura. Dan menjadi kewajibanmu pula untuk menerima segala keputusan atau ketentuan yang telah berlaku sebelumnya.”
“Ayah,” ucap Raden Mas Rangsang.
“Penobatan Pangeran Martapura sebagai raja harus tetap terjadi karena aku tidak ingin menjadi orang mati yang ingkar janji. Pastikan semua dapat berlangsung penuh kelancaran. Setiap suara-suara keberatan dapat kau dengar lalu pertimbangkan. Aku memintamu untuk tidak melukai hati atau perasaan Eyang Patih Mandaraka. Hormatilah dan tempatkanlah beliau pada kedudukan yang sama dengan keadaannya di masa lalu, di masa hidup kakekmu. Pencapaian hebat para pendahulu tidak menjadi tuntutan bagimu untuk meraih hasil yang sama. Itu bukan suatu ukuran. Tapi keterikatanmu pada kedudukan akan diiringi tuntutan untuk bertanggung jawab pada lingkungan. Apakah seorang raja akan mengabdikan diri sebagai pengayom dan pelindung? Ataukah menjadi seorang penindas?” kata Panembahan Hanykrawati kemudian mencoba bangkit agar dapat duduk di atas pembaringan.
“Saya, Ayah.”
“Sudah barang tentu Eyang Patih tidak akan mengungkapkan keberatannya secara terbuka atau terang-terangan, maka jagalah sikap dan tutur kata pada beliau.” Panembahan Hanykrawati menebar pandangan ke sekelilingnya dan sejauh itu hanya dinding bambu yang menjadi pembatas antara dirinya dengan pertempuran di tanah lapang. “Mereka tidak akan menyerah. Mereka tidak akan rela untuk mengalah. Tapi apabila kita menyerahkan segalanya pada kehendak mereka, aku tidak tahu, apakah itu musibah atau anugerah. Aku sudah mengatakan padamu dan juga berpesan bahwa sepeninggalku adalah kepastian yang tidak terelakkan. Semua itu ada batas waktunya. Setiap awal pasti mempunyai batas akhir dan itu adalah sebab akibat yang mengikatku dalam perjalanan ini. Aku rasa waktuku tinggal sedikit lagi dan tak lebih panjang dari ruas jari.”
Panembahan Hanykrawati, secara berhati-hati, mengangsurkan Kyai Sengkelat pada Raden Mas Rangsang. Setelah memastikan keris pusaka itu disimpan rapi oleh pangeran Mataram itu di balik pakaiannya, Panembahan Hanykrawati perlahan-lahan melipat persendian. Sambil bersila, Panembahan Hanykrawati meletakkan segala keinginan, meniadakan angan-angan dan kenangan masa lalu. Raja Mataram tersebut memenuhi dirinya dengan sareh sumeh semeleh. Sejenak kemudian, napas Panembahan Hanykrawati terlantun begitu halus bahkan dadanya seolah-olah tidak bergerak naik dan turun. Raut wajah Panembahan Hanykrawati memancarkan ketenangan yang luar biasa dan seakan-akan tidak terganggu dengan hiruk pikuk teriakan teriakan dari sebelah luar.
Raden Mas Rangsang pun beringsut surut. Ia menyadari bahwa ayahnya sudah berada di luar jangkauannya. Dengan tatap mata sedih, ia memandang wajah teduh Panembahan Hanykrawati untuk beberapa saat lamanya. Dalam waktu itu, Raden Mas Rangsang pun turut mengheningkan cipta, menyatukan budi dan rasa agar segala sesuatu di dalam dirinya dapat selaras dengan kehendak Yang Maha Kuasa.
Keadaan itu berlangsung cukup lama. Oleh sebab itu, Ki Sekar Tawang pun kesulitan untuk meraba suasana yang sedang terjadi di dalam bangunan.
Pada bagian utara, persis di depan pintu utama bangunan, Ki Ajar Mawanti telah berdiri berhadap-hadapan dengan Pangeran Selarong dan Ki Baya Aji. Tiga orang itu saling memandang dengan tajam. Mereka seperti sedang mengukur ketahanan jiwani saat sama-sama berada di bawah tekanan.
“Apakah ada seseorang yang bernama Raden Mas Jolang di dalam?” tanya Ki Ajar Mawanti.
“Pada siapa kau bertanya?” Ki Baya Aji menyahut dengan ketus.
Ki Ajar Mawanti melirik tajam lalu menyeringai disertai tatapan mata merendahkan. “Aku tidak bertanya padamu karena kalian berdua hanyalah jongos belaka.”
Nyaris saja Pangeran Selarong melabrak Ki Ajar Mawanti karena merasa ucapan orang itu telah melampaui batas, tapi Ki Baya Aji cepat menahannya. Sambil menahan geram, Pangeran Selarong kemudian berkata, “Baiklah, katakan saja segala yang kau suka. Mohonlah segala yang kau inginkan. Lakukan semua selagi kau dapat memandang wajahku.” Selesai mengucap kata, seketika Pangeran Selarong melabrak lawan dengan terjangan yang hebat.
Ki Ajar Mawanti bergeser mundur, lalu membalas serangan dengan cara yang tak kalah hebat. Oleh karena orang ini sudah mendengar kemampuan lawannya yang masih berusia muda, maka senjatanya kemudian berayun-ayun dahsyat. Pangeran Selarong dapat menghindar lalu menarik senjata andalannya yaitu sepasang tombak pendek yang kemudian meraung ganas.
Putaran tombak Pangeran Selarong benar-benar menggetarkan dada Ki Ajar Mawanti. Namun orang itu segera dapat mengimbangi kemampuan pangeran Mataram itu dengan sepenuh tenaga. Menilik tata gerak dan kecepatan yang dimiliki Pangeran Selarong, Ki Ajar Mawanti ternyata harus menghitung ulang kemungkinannya dapat selamat dari pertempuran. Lebih-lebih ternyata Ki Baya Aji ternyata ikut menggempurnya! Dalam pertimbangannya, Ki Baya Aji tidak dapat membiarkan Pangeran Selarong seorang diri bertarung melawan seseorang yang belum diketahui tingkat kemampuannya. Selain itu, Pangeran Selarong pun tidak dalam keadaan yang baik untuk terlibat pertempuran. Putra raja itu sedang mengalami pemulihan usai kemelut hebat di lembah melawan Ki Kebo Saloka.
“Hey! Apakah kalian sudah menjadi pengecut? Bagaimana Mataram sanggup bertahan dengan orang-orang seperti kalian?” seru Ki Ajar Mawanti.
“Diamlah! Bukankah kalian yang memulai dengan membakar pasar dan padesan yang tidak terkawal prajurit? Dan ini adalah pertempuran, bukan perang tanding!” tukas Pangeran Selarong tak mau kalah.
Jawaban yang membuat Ki Ajar Mawanti marah karena malu. Nyatanya memang seperti itu bahwa pengikut Raden Atmandaru telah membakar pasar di Tanah Perdikan, memerahkan Jati Anom dan keributan-keributan yang berakibat jatuh korban dari orang biasa. Untuk membungkam mulut Pangeran Selarong, Ki Ajar Mawanti tidak punya pilihan selain menyerang dua lawannya habis-habisan. Selain itu pula, ia sadar bahwa dua orang lawannya tidak dapat diabaikan karena gabungan kekuatan mereka ternyata cukup menggetarkan.
Demikianlah tiga orang itu segera terlibat dalam pertempuran yang sengit dengan lingkar perkelahian yang cukup luas!
Bentrokan yang diharapkan Ki Sekar Tawang pun terwujud! Orang ini telah melepaskan kendali pertempuran di Alas Krapyak. Setiap kelompok telah menghadapi lawan pada semua keadaan. Ada yang sedang mengendalikan kesimbangan, dan ada juga yang keteteran. Meski sebelumnya telah merancang dan siasat dengan cermat, tapi pergerakan Agung Sedayu telah mengacaukan tatanan yang dikehendakinya. Kecemasan Ki Sekar Tawang seakan menjadi tanda yang menunjukkan bahwa siasatnya akan dikalahkan dan pasukannya pasti ditaklukan oleh pengawal Mataram. Walau demikian, ia cepat mengusir rasa cemas itu karena tujuan yang lebih besar sudah tampak di depan mata. Ki Sekar Tawang sudah memutusakan tidak akan kembali ke pasukannya, buat apa menyelamatkan mereka jika raja Mataram juga dapat selamat? Apakah ia akan menunggu waktu lagi? Lalu kapankah waktu itu datang mengulang kesempatan? Satu pikiran di dalam benak Ki Sekar Tawang adalah tidak boleh ada kekosongan ruang dan waktu bagi Panembahan Hanykrawati untuk menyelamatkan diri. Itu semua adalah sebab dan akibat, inilah dasar keputusan Ki Sekar Tawang. Andaikan pasukannya mengalami kekalahan di setiap gelanggang, itu bukan sebuah masalah baginya karena tujuan utama adalah menghabisi Panembahan Hanykrawati. Ia menyimpan dendam karena perguruannya telah dihancurkan oleh Panembahan Senapati. Bila gagal membalaskan dendam pada ayahnya maka Panembahan Hanykrawati adalah tujuan terbaik, menurutnya.
Ki Sekar Tawang pun bersiap. Ia datang penuh percaya diri dengan ilmu penyerapan bunyi sehingga langkah kakinya benar-benar menjadi sangat ringan. Ia tidak masuk dengan cara mengendap. Dari pintu utama, Ki Sekar Tawang melangkah tegap memasuki bangunan yang bercahaya remang-remang.
Raden Mas Rangsang mengetahui kedatangan seseorang dari langkah kaki yang semakin dekat dengannya. Namun ia tidak ingin membuat dugaan mengenai orang yang datang karena sudah pasti bukan bagian dari para pengawal Panembahan Hanykrawati. Ia pun sudah bersiap karena orang itu dapat berbuat sekehendak hatinya. Ketika orang tersebut benar-benar melewati pintu lalu berdiri tegak di bagian tengah, pangeran Mataram itu barulah mengangkat wajah lalu memandang dengan tajam.
“Mengapa kau baru datang?” tanya Raden Mas Rangsang dengan nada seperti telah lama mengenal tamu tak diundang itu.
“Karena kau terlalu lama tidak mengunjungiku hingga aku berpikir lebih baik mendatangimu terlebih dahulu,” jawab Ki Sekar Tawang.
“Bila demikian, aku ucapkan selamat datang untukmu,” kata Raden Mas Rangsang dengan tenang tanpa mengubah kedudukannya. “Tapi di tempat ini aku tidak mempunyai hidangan yang pantas disuguhkan. Walau begitu, aku ingin kau menganggap ruangan ini terasa seperti bilik yang dikhususkan untukmu oleh raja Mataram.”
Namun nada bicara dan ketenangan pangeran Mataram itu justru sangat tidak menyenangkan untuk didengar oleh Ki Sekar Tawang. Menurutnya, sikap Raden Mas Rangsang adalah tanda bahaya. Putra Panembahan Hanykrawati itu justru memperlihatkan persiapan masak dan akan mampu menyesuaikan diri dalam segala keadaan. Oleh sebab itu, Ki Sekar Tawang tidak segera menyahut melainkan berdiam diri sejenak untuk mengendapkan perasaannya. Apalagi ketika melihat Panembahan Hanykrawati yang bersila dan bersikap seperti mengabaikannya maka gejolak hatinya semakin membara.
“Ki Sanak tidak perlu takut untuk berbicara tentang segala hal atau berbuat apa saja,” sambung Raden Mas Rangsang saat Ki Sekar Tawang masih membisu. “Orang-orang kita, teman-teman saya dan teman-teman Anda, sedang berjibaku di medan tempur tapi Ki Sanak tak perlu takut dengan senjata yang mungkin menyasar ke tempat ini. Tak perlu khawatir dengan bayang-bayang yang sedang memenuhi pikiran karena segalanya adalah wujud semu.”
“Benar,” ucap Ki Sekar Tawang kemudian, “tidak ada hal khusus yang menjadi sebab kekhawatiran atau ketakutan. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sudah mempunyai kesimpulan pamungkas.”
“Apakah Ki Sanak dapat berbagi dengan kami secara suka hati?” tanya Raden Mas Rangsang.
“Mungkin, menurut Tuan, yang akan aku katakan hanyalah rekaan atau dugaan saja.” Sikap Ki Sekar Tawang sepertinya mulai berubah dan itu terpancar dari nada dan pilihan kata-katanya.
Raden Mas Rangsang menepuk tangan dengan pelan. Katanya kemudian, “Tidak baik merendahkan diri seperti itu. Bagaimanapun, usia Ki Sanak jauh lebih banyak daripada saya jadi sudah sewajarnya bila rekaan itu pun berisi pengajaran yang dapat berarti penting untuk orang berusia muda.”
Ki Sekar Tawang melangkah lebih ke dalam. “Tidak ada perasaan itu di dalam hati saya, Tuan. Lagipula, kedatangan ini bukan untuk sebuah percakapan untuk pengenalan karena kita sudah saling mengenal.”
“Apakah itu berarti kita sepakat untuk menjadikan keadaan ini damai seperti semula?” kata Raden Mas Rangsang, “tentu Ki Sanak beranggapan bahwa aku telah gila tapi itulah yang melintas dalam pikiran lalu menjadi dugaan. Maka, saya kira pertemuan ini bukanlah kebetulan, termasuk tujuan Ki Sanak yang tentu saja mempunyai alasan yang sangat kuat.”
“Tentu, tentu saja saya datang dengan pemikiran yang mapan,” ucap Ki Sekar Tawang. “Bukan kebetulan bila seseorang mendapatkan lawan yang seimbang di medan pertempuran. Mereka mempunyai keinginan dan juga kepentingan. Dua hal itu dapat Tuan lihat pada orang-orang di sekeliling Tuan. Jadi, biarlah mereka bertempur dengan mengatasnamakan keinginan dan kebutuhan karena kepentingan dapat disamarkan.”
“Baiklah. Jika begitu, saya dapat menunggu keputusan Ki Sanak,” kata Raden Mas Rangsang dengan nada suara dan ketenangan yang teguh.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya atau gratis. Kami hargai dukungan Anda atas jerih payah kami. Donasi dapat disalurkan melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah selesai. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA
Terima kasih.