Menanggapi pendapat Ki Patih Mandaraka, pada sudut lain, Nyi Ageng Banyak Patra bergeming. Bibirnya mengatup rapat dengan wajah menunduk. Selang beberapa lama, katanya, “Dan seandainya mereka akan melakukan itu, maka sejumlah pilar penyanggah pasti sudah disiapkan. Mungkin mereka telah menyiapkan sejumlah dusun atau pedukuhan sebagai gudang perbekalan dan juga tempat persembunyian. Lelaki itu tidak mungkin akan menempatkan mata yang sulit melihat keadaan Mataram secara langsung. Mereka pasti berada di dalam sini, di kotaraja atau istana Ananda Panembahan.” Garis wajah Nyi Banyak Patra mendadak berubah menjadi tegas ketika mengucapkan ‘di dalam sini.’
Kinasih mengangkat pandangan mata, berpaling pada gurunya lalu kembali membenamkan wajah.
Gerakan kecil Kinasih diketahui oleh Nyi Banyak Patra. Kemudian perempuan sepuh itu berkata lembut, “Adakah sesuatu yang ingin kau ungkapkan di sini, Anakku?”
Kinasih mengangguk, lalu berkata dengan suara lirih, “Ki Rangga Agung Sedayu sudah pulih meski belum dapat mencoba menggunakan seluruh kemampuan. Saya tidak berani membuat keputusan lebih jauh tanpa sepengetahuan Nyi Ageng.”
Nyi Ageng Banyak Patra lurus menatap Agung Sedayu. Kemudian katanya, “Aku kira memang seperti itulah keadaan Ki Rangga.” Sejenak Nyi Banyak Patra mendiamkan diri, kemudian lanjutnya, “Tentu ada hal lain yang ingin kau sampaikan padaku, Kinasih. Katakan saja.”
“Pajang tidak dalam keadaan baik-baik saja.” Terlihat Kinasih seperti di bawah tekanan hebat ketika mengucapkan kalimat itu.
Nyi Banyak Patra, Ki Patih Mandaraka dan Agung Sedayu segera menatap perempuan muda itu dengan pandangan sungguh-sungguh. Terutama Agung Sedayu yang cukup terkejut dengan penuturan singkat itu. Pikirnya, bagaimana Kinasih dapat menerangkan keadaan walau sedikit di Pajang sedangkan selama beberapa hari dia tidak terlihat berpergian jauh? Perubahan pada air muka Agung Sedayu diketahui jelas oleh dua sesepuh Mataram, tapi mereka bersikap seolah-olah senapati Mataram itu juga mengetahui kemampuan Kinasih.
Hujan sedikit mereda. Gemuruh angin dan ledakan petir tidak lagi sering terdengar. Namun ketegangan di dalam ruangan itu semakin mendekati puncak sewaktu Kinasih bergeser setapak maju. Sikap tubuh Kinasih seperti menunjukkan bahwa dia sedang menunggu arahan Nyi Ageng Banyak Patra.
“Mendekatlah kemari,” ucap guru Kinasih.
Kinasih melangkah lebih dekat. Sejenak kemudian, dia sudah berada di samping Nyi Ageng Banyak Patra dengan sepenuh wajah menghadap pada gurunya.
“Sepeninggal guru, seorang senapati Pajang datang ke dusun, saya bertemu dengannya di dekat sebuah sendang,” kata Kinasih perlahan sambil mengatur napas. “Mungkin beliau ingin bertemu dengan Guru tapi saya katakan bahwa Panjenengan tidak berada di tempat.”
Nyi Ageng Banyak Patra mengangguk, kemudian berucap pelan, “Baik, kemudian?”
“Senapati tersebut mengatakan sesuatu….” Kinasih menghentikan kalimatnya. Untuk beberapa lama, dia memandang sekeliling seakan-akan ingin memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikuti pembicaraan rahasia itu.
Semua orang menunggu.
“Senapati tersebut mengatakan bahwa bahaya besar sedang mengintai keselamatan Panembahan Hanykrawati,” lanjut Kinasih.
Hanya Agung Sedayu yang terhenyak mendengar penuturan Kinasih. Sedangkan Ki Patih Mandaraka dan Nyi Ageng Banyak Patra sama sekali tidak memperlihatkan perubahan sikap maupun wajah. Dalam waktu itu, Agung Sedayu berpikir, apakah sesepuh berdua itu telah mengetahui adanya ancaman ataukah beliau berdua sudah mapan menata batin? Pemimpin barak pasukan khusus di Menoreh itu tidak menyembunyikan rasa penasaran pada sepasang matanya.
“Maaf, Ki Rangga,” kata Kinasih sambil menundukkan kepala. Seakan mengetahui rasa yang tersimpan di dalam dada Agung Sedayu, Kinasih melanjutkan, “Untuk kali ini, saya tidak dapat membuka jati diri senapati Pajang tersebut.”
“Benar,” Nyi Ageng Banyak Patra berucap memberi dukungan pada muridnya. “Mengenai siapa senapati Pajang yang dimaksudkannya, jati dirinya lebih baik tetap menjadi rahasia.”
Mendengar ucapan Nyi Banyak Patra, Agung Sedayu tidak lagi menyibukkan pikirannya untuk menebak-nebak sosok senapati Pajang itu. Oleh karena dia sendiri tidak ingin kehilangan perhatian pada gerakan Panembahan Tanpa Bayangan, maka mengikuti permintaan atau perintah Nyi Banyak Patra akan lebih membuat ruang pikirannya dapat disibukkan dengan pergerakan lawan.
Menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya masih menunggu perluasan dari kalimat singkatnya, Kinasih berkata kemudian, “Beliau mengatakan bahwa sejumlah orang sedang menunggu waktu yang biasa dimanfaatkan Panembahan Hanykrwati untuk berburu. Mereka mungkin juga sudah membuat persiapan-persiapan untuk penyergapan atau serangan kilat, demikian yang dikatakan pada saya.”
“Sepertinya mereka memang tidak sekedar membuat pengalih perhatian dengan menyulut kekacauan di Tanah Perdikan dan Sangkal Putung,” ucap Ki Patih Mandaraka. “Seandainya dapat dan kalian bisa menerima, aku bisa mengatakan bahwa pencurian kitab Kiai Gringsing adalah sesungguhnya perusak perhatian. Mungkin kalian akan menyimpulkan bahwa aku melebih-lebihkan peristiwa itu, tetapi, bagaimanapun, Agung Sedayu adalah orang penting yang harus mereka singkirkan pertama kali. Jika Agung Sedayu memilih memusatkan pikiran dan tenaganya untuk mencari kitab gurunya, bukankah mereka sudah dapat dipastikan berhasil menyingkirkan sebuah batu sandungan? Aku kira kalian dapat menerima pendapatku bila cermat menilai yang terjadi di Tanah Perdikan dan Sangkal Putung. Perhatikanlah, Raden Atmandaru tidak pernah menuntaskan pertempuran di sebuah tempat. Mereka lebih memilih mundur daripada mempertahankan yang telah direbut. Tentu saja ada alasan kuat di balik keputusan itu.”
Tidak orang yang mengutarakan isi pikirannya atas ucapan Ki Patih Mandaraka. Namun dalam waktu itu, Agung Sedayu merasa sedang diminta Ki Patih Mandarakan untuk menjadi yang terdepan pada saat-saat yang akan datang. Pikirnya, mana mungkin Ki Patih meragukan kesetiaannya pada Mataram demi kitab Kiai Gringsing? Setelah menatap langsung setiap pasang mata yang tertuju padanya, Agung Sedayu berkata, “Sebagian besar orang-orang Raden Atmandaru atau mungkin seluruhnya tidak mengetahui keadaan saya. Demikian pula yang terjadi pada orang-orang Mataram, bahkan orang terdekat saya pun tidak akan menyangka bahwa saya hadir pada pertemuan ini.”