Jantung Kinasih berdetak kencang. Darah Kinasih berdesir lebih cepat. Gadis cerdas yang juga rupawan itu segera tampak berpikir sungguh-sungguh. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Ki Patih Mandaraka. Pikirnya, apakah Ki Rangga Agung Sedayu akan menyusup saat kericuhan terjadi? Bagaimana bila dirinya tertangkap sebelum Agung Sedayu berhasil masuk keraton? Mati terbunuh jelas menjadi jalan keluar yang terbaik karena dapat menutup jalan menuju Ki Patih Mandaraka maupun gurunya. Bagaimana jika ia tertangkap hidup-hidup lalu mendapatkan perlakuan tidak senonoh? “Aku dan Ki Rangga seperti menanti batas yang tidak bertepi,” desah gelisah Kinasih dalam hati. Hilangnya kehormatan bukan hal penting selama rencana Ki Patih Mandaraka dapat berjalan lancar. Setelah berulang-ulang menarik napas panjang agar perasaannya menjadi lebih tenang, Kinasih berkata, “Sebenarnya saya tidak ingin bertanya pada Ki Patih. Tapi, ada sesuatu yang terasa begitu mengganjal di dalam hati saya.”
Kinasih adalah murid tunggal Nyi Ageng Banyak Patra yang mempunyai perawakan tubuh seperti kebanyakan gadis-gadis Mataram. Tidak ada yang istimewa. Sepasang lengan dan kaki pun kerap bermandi lumpur dan berdekatan dengan perapian. Kemampuannya pun belum sepenuhnya diketahui atau dinilai oleh Ki Patih maupun Agung Sedayu secara langsung. Namun, keberhasilan Kinasih membawa Agung Sedayu dari Slumpring ke Pajang adalah peristiwa yang tidak mudah diabaikan oleh Ki Patih Mandaraka. Bagaimana mungkin seorang dara mampu menembus kabut yang bertenaga raksasa ketika terjadi perkelahian di Slumpring? Demikian sebagian alasan Ki Patih Mandaraka. Sedangkan Agung Sedayu baru membuat pengamatan berdasarkan kemampuan Kinasih menyerap bunyi-bunyian ketika mereka mengamati Sukra di hutan sebelum Sangkal Putung. Dalam waktu itu, Ki Patih Mandaraka menatap lekat wajah Kinasih., lalu ucapnya, “Ungkapkan, aku siap mendengarkan.”
Dengan perasaan yang belum tenang, Kinasih tanya dengan suara sedikit bergetar, “Tentu pergerakan saya bukanlah kunci keberhasilan Ki Rangga menjalankan tugas. Ki Patih, benarkah demikian?”
Pertanyaan yang terlontar itu sebenarnya tidak sulit bagi Ki Patih Mandaraka bila yang bertanya adalah Agung Sedayu. Perlahan-lahan Ki Patih Mandaraka memandang berkeliling, pada dua wajah yang berdiri di dekatnya. Mereka berdua adalah orang-orang yang jauh lebih muda usia dan cukup jauh dari lingkar kekuasaan di Mataram. Mereka dahulu adalah anak-anak muda yang hidup bersama sejuk udara pegunungan dan hijau lembah-lembah yang tersebar di Mataram. Kini, mereka berada di tengah-tengah pergumulan saling tikam orang-orang yang haus kekuasaan. Selintas dalam pikiran Ki Patih Mandaraka adalah pertanyaan yang ditujukan pada dirinya sendiri, apakah banjir darah akan terjadi di Mataram? Ketika Kyai Plered berada di tangan orang lain, hati Ki Patih Mandaraka kerap tersirap. Pertempuran sengit telah meletus di Sangkal Putung dan belum dapat dikatakan selesai atau kademangan tersebut sudah beranjak menuju kehidupan damai. Belum, ancaman belum memalingkan muka dari Mataram.
“Kinasih,” kata Ki Patih Mandaraka kemudian, “Semuanya tergantung kepada banyak hal atau keadaan. Engkau tidak bergerak sendiri tapi juga tidak perlu mengetahui siapa-siapa yang berjalan atau berlari dengan siasat di sekelilingmu. Aku dan Agung Sedayu, engkau dan gurumu, kita semua belum tahu kedudukan orang-orang yang sedang membidikkan anak panah pada punggung Panembahan Hanykrawati. Yang pasti dan cukup kau ketahui adalah engkau tidak sendiri.”
“Saya, Ki Patih,” ucap Kinasih dengan pandangan mata menghunjam lantai di bawah kakinya.
Dalam waktu itu, Agung Sedayu cepat merancang satu sisi rencana untuk dirinya sendiri. Tidak mudah mengayun langkah di dalam lingkungan Kepatihan, dan lebih tidak mudah lagi melintasi jalan, mendekati istana Panembahan Hanykrawati. Penyamaran? Itu belum dianggap cukup karena keberadaan dirinya sudah diketahui meski hanya sebagian kecil orang. Maka, pikirnya, lebih baik menunggu Nyi Banyak Ageng Patra atau Ki Demang Brumbung yang belum kembali ke dalam ruangan, kemudian semua rancangannya dapat disesuaikan dalam pembahasan selanjutnya.
Hari sudah menjelang malam walau warna sekitar nyaris tidak begitu jelas menampilkan batasan.
Nyi Ageng Banyak Patra dan Ki Demang Brumbung memasuki ruangan ketika sudah tidak banyak yang diucapkan Ki Patih Mandaraka pada Agung Sedayu maupun Kinasih. Setelah mengambil waktu sejenak, Nyi Banyak Patra berbicara lirih pada Ki Patih Mandaraka. Raut wajah dua sesepuh Mataram tersebut tampak sungguh-sungguh dan yang demikian itu memunculkan pertanyaan yang berputar-putar di dalam kepala orang-orang sekitar mereka.
Nagasasra dan Sabun Inten
Agung Sedayu berjalan tegap menghampiri lingkar pembicaraan Ki Patih Mandaraka dan Nyi Banyak Patra. Kemudian Kinasih mendapatkan giliran, dan Ki Demang Brumbung menjadi orang terakhir yang mendapatkan arahan dari sesepuh berdua. Ada siasat yang terpisah bagi mereka bertiga, sepertinya begitu. Masing-masing tidak dapat mengetahui siasat yang dijalankan oleh yang lain.
Ki Patih Mandaraka menyatakan pertemuan telah selesai dan setiap orang dibebaskan jika ingin keluar dari ruangan atau tetap tinggal di dalam.
Pada waktu itu, wayah sirep bocah, di sisi kanan beranda Kepatihan, Kinasih bersimpuh di depan gurunya. “Ini adalah sebuah penegasan tentang kehadiran sekaligus keberadaanmu di Mataram, Anakku. Aku tidak menganggap bahwa saat-saat seperti ini menjadi kesempatan bagi Mataram memaksamu membuat janji setia. Tidak, aku tidak menginginkan itu. Aku mengizinkan bila kau merasa perlu untuk mundur karena ketidakpantasan atau sebab yang lain. Sepenuhnya, aku bebaskan dirimu untuk memilih.”
Kinasih menggeleng tanpa kata-kata.
Lanjut Nyi Ageng kemudian, “Engkau tidak dapat mundur lagi setelah malam tiba di pertengahan. Segalanya akan berlangsung sangat cepat, bahkan mungkin selesai tanpa kau sadari.”
Kinasih mengangguk.
Nyi Banyak Patra tahu bahwa muridnya sedang menata diri di dalam hatinya. Tugas yang dibebankan pada Kinasih bukanlah pekerjaan yang mudah dikerjakan oleh orang dengan kemampuan setingkat rangga atau panji. Bukan pula mempunyai kesamaan dengan kebo danu Jaka Tingkir. Namun, Kinasih memang harus mampu memicu kerusuhan yang sanggup memancing kegilaan banyak orang. Dari balik kelopak matanya, Nyi Banyak Patra membayangkan Kinasih yang tiba-tiba menjadi senjata rahasia Mataram yang sanggup meluruhkan tebing cadas Merapi. “Tapi aku harus tetap bersyukur bahwa Kinasih tidak sendirian. Ada Agung Sedayu, Ki Demang Brumbung dan yang terutama adalah Raden Mas Rangsang juga akan mengetahuinya,” ucap lirih Nyi Banyak Patra dalam hati sambil memanjatkan harapan yang baik pada Yang Maha Sempurna.