Kehadiran Panengah di tengah pergumulan hebat antara pengawal pedukuhan dengan pengikut Raden Atmandaru mulai mempengaruhi keseimbangan. Walau demikian, pengawal pedukuhan yang dipimpin Marmaya berjibaku sangat keras. Mereka bertempur mati-matian dan terikat dalam gelar yang diajarkan oleh Agung Sedayu di barak pasukan khusus. Gelar yang dirancang untuk menghadapi lawnyang berjumlah lebih banyak dan lebih mumpuni. Maka dengan begitu penambahan orang dengan kemampuan seperti Panengah tidak begitu mengurangi daya gempur gelar pengawal.
Barisan Sangkal Putung yang menempati gardu perbatasan itu seakan menjadi gerbang awal kademangan pada pertempuran malam itu. Rontoknya Pedukuhan Janti dan ketiadaan perlawanan di tugu batas luar tidak serta merta menjadikan Gondang Wates menjadi lembek. Menurut anggapan kebanyakan pengawal saat itu, setelah mereka menyaksikan barang sekilas perkelahian Dharmana dan Sayoga, sebenarnya tidak ada alasan untuk merendahkan lutut di hadapan pasukan musuh. Bahkan setelah seorang dari tiga pengeroyok terlempar keluar dari pertarungan, lalu bergabung dengan kelompok musuh, tembok pertahanan pengawal pedukuhan masih sulit ditembus.
Tak jauh dari mereka, Dharmana memberikan perlawanan sengit hingga musuhnya tidak lagi dapat merendahkan kemampuannya. Dharmana, meski bukan cantrik utama dari Perguruan Orang Bercambuk, mendapat gemblengan khusus dari Swandaru. Ketika ia menyerap ilmu dari Ki Widura, Swandaru memanggilnya pulang untuk memperkuat lapisan pengawal kademangan. Swandaru Geni yang sempat menjajagi kepandaian Dharmana kemudian memutuskan untuk meluangkan waktu khusus supaya Dharmana semakin baik dalam penguasaan dasar-dasar jalur ilmu peninggalan gurunya, Kiai Gringsing.
Begitu hebat dan sengit Dharmana mempertahankan kedudukannya, Ki Dirgasana pun tak lagi menganggap perkelahiannya sebagai pemanasan. Bahkan pikirnya, “Semakin cepat anak ini dilumpuhkan, semakin cepat pasukan induk akan datang menguasai Sangkal Putung.”
Namun Dharmana bukan lelaki manja yang mudah didesak ataupun digertak. Justru Ki Dirgasana semakin geram karena Dharmana belum juga dapat dijatuhkan dari punggung kuda.
Maka benak Ki Dirgasana penuh bermunculan tiga persoalan yang secara nyata harus dapat dituntaskannya pada malam itu. Pertama, Dharmana ternyata lawan yang sangat tangguh. Kedua, Sayoga yang tidak mudah ditekuk, lalu yang ketiga adalah gelar pengawal yang masih rapi dan masih jauh dari kata berantakan. Ki Dirgasana berpikir bahwa sebenarnya ia tidak membutuhkan waktu lama untuk menaklukkan Dharmana, namun rasa heran muncul dalam dirinya. Pertanyaan besarnya adalah mengapa ia tidak segera menggunakan tenaga cadangan pada pengawal kepercayaan Swandaru? Apa yang menjadi alasannya? Apakah ia berusaha mencari titik lemah pertahanan Dharmana ataukah ingin menarik Dharmana menyeberang pada pihaknya?
Sungguh, Ki Dirgasana yang mampu mengamati kedalaman diri mengakui adanya keinginan menambah kekuatan pasukan Raden Atmandaru melalui Dharmana.
“Menguasai anak ini mungkin sama dengan mengendalikan setengah kekuatan Sangkal Putung. Ia benar-benar gigih dan cukup hebat. Sangat pantas bila menjadi pendampingku di peperangan yang lebih besar,” bisik hati Ki Dirgasana.
Lantas Ki Dirgasana mengeluarkan puji-pujian terhadap kemampuan hebat Dharmana. Seperti amuk rajawali, seperti harimau garang dan bermacam-macam puji serta rayuan yang dapat membuat orang terpesona. Oleh karena itu Ki Dirgasana tidak segera membalas serangan musuhnya maupun memberi tekanan-tekanan yang berbahaya.
Dharmana bukanlah jenis orang yang berpikiran pendek seperti halnya sehelai jerami kering yang mudah terbakar. Ia adalah lelaki muda yang teguh pendirian. Kesetiaan dan rasa hormatnya pada tanah kelahiran telah menjadi bahan bakarnya yang utama. Lintasan-lintasan pikiran Dharmana adalah menghadang musuh, bila tidak memungkinkan untuk mengusir mereka. Dharmana pun mengeluarkan kemampuannya secara menyeluruh. Ia mendorong hatinya kuat-kuat untuk segera mengalahkan Ki Dirgasana.
Pikiran dan perasaan Ki Dirgasana seketika berubah ketika seseorang terpental keluar dari lingkar perkelahian yang sangat seru. “Panengah!” Ki Dirgasana dapat memastikan orang yang terlempar, lalu memandang Dharmana dengan mata berapi-api.
Ia membanting salah satu kakinya, mengalirkan tenaga inti pada dua tangan, lalu menerjang Dharmana yang masih berada di atas punggung kuda.
Serangkum angin deras menghantam Dharmana yang segera menghindar dengan melompat turun, melompat lagi setelah kakinya menyentuh tanah sambil memutar tubuh, kemudian melontarkan tombak sangat kuat pada musuhnya.
Kuda Dharmana meringkik keras, terguling tetapi cepat bangkit lagi kemudian berderap menjauh!
Bayangan tombak melesat, menerpa dada Ki Dirgasana tetapi sebelum ujung tombak dapat menyentuh kulitnya, lelaki ini menggeser langkah setapak, lalu mencekal ujung tumpul senjata yang melintasinya. Sejenak ia memandangi tombak Dharmana yang berpindah ke tangannya. Katanya, “Tombak yang cukup baik. Dan aku akan membunuhmu dengan senjatamu ini!”
Garang wajah Ki Dirgasana sewaktu melontarkan ancaman. Sinar matanya berkilat, lalu ia memutar-mutar tombak secepat kepak sayap branjangan, menyerbu Dharmana yang terpaku melihat gerakan musuhnya ketika menangkap tombak.