“Malam yang tidak terlalu bagus untuk mengawasi pintu air,” ucap Agung Sedayu ketika ia berada dua atau tiga langkah di belakang Ki Sentana.
“Benar,” sambut Ki Sentana sambil berpaling ke belakang. Seraya berusaha mengingat pemilik suara, pandang mata Ki Sentana berusaha menerobos gelap yang membayangi wajah Agung Sedayu. “Ke mana Ki Sanak hendak pergi?”
“Oh, saya sedang menuju rumah Ki Sentana,” jawab Agung Sedayu, kemudian, “apakah Anda berkenan memberi arah?”
“Aku adalah orang yang engkau cari,” polos Ki Sentana bersuara. “Ada apa? Mungkin aku dapat melakukan sesuatu untukmu.”
“Kebetulan yang menjadi keberuntungan saya,” senyum Agung Sedayu terurai saat ia mengatakan itu namun ia yakin Ki Sentana tidak akan dapat melihat raut wajahnya. “Sebenarnya saya tidak ingin merepotkan Anda, Ki Sentana. Saya melihat Anda tengah bergegas menuju ke sebuah tempat.”
“Ya, tempat itu adalah rumahku,” sahut Ki Sentana. Ia menambahkan kemudian, “Aku baru saja memeriksa jalan-jalan air yang mengitari tanah persawahan. Aku merasa tidak enak waktu melihat awan gelap di sebelah timur.”
Dua ratus atau tiga ratus langkah kemudian mereka tiba di depan rumah Ki Sentana. Agung Sedayu sekilas mengedarkan pandangan dari balik topi lebar. Tidak ada bunyi khusus selain gemuruh hujan. Tidak ada bayangan yang berkelebat semasa perjalanannya menuju rumah bebahu pedukuhan. Namun ia tidak dapat mengendurkan kewaspadaan.
“Ki Sanak,” kata Ki Sentana, “hingga kita sampai di sini, engkau belum mengenalkan dirimu. Tetapi aku ingin berpikir baik. Mari, masuklah.” Ki Sentana mendahului langkah Agung Sedayu lalu menunjuk lincak bamboo yang berada di beranda depan. Katanya, “Kita akan berbincang di sini.” Lantas ia melewati pintu rumahnya kemudian terdengar suara bercakap dari balik dinding.
Malam itu tidak terdengar suara binatang malam. Tidak juga terlihat musang atau binatang lain yang menyeberangi jalanan. Suasana begitu tenang dan Agung Sedayu merasakan bahaya besar sedang mengintai tempat kelahirannya.
Desir langkah terdengar mendekati pintu masuk, Ki Sentana telah berada di beranda dengan wedang sereh panas dan mangkuk kosong. “Ki Sanak,” ucap Ki Sentana, “aku pikir sebenarnya tidak asing dengan caramu berjalan tetapi aku tidak dapat memastikan itu.” Ia memainkan kain bajunya. Berbagai praduga berkecamuk dalam kepalanya, walau demikian Ki Sentana tidak memperlihatkan keresahan di hadapan Agung Sedayu. Bahkan ia terlihat begitu tenang.
“Tentu Anda tidak akan bertanya apakah saya seorang pengembara,” kata Agung Sedayu mengedarkan senyum dalam kerubung malam. Ia sedikit mendekat, mengucap pelan di samping telinga Ki Sentana, “Saya harap Anda tidak terkejut dan berbuat sesuatu yang tiba-tiba. Saya Agung Sedayu.”
Ketika nama itu memasuki ruang dengarnya, Ki Sentana mengangguk bijak. Keagungan mendadak menyeruak keluar dari hatinya. “Seperti inikah Agung Sedayu yang dikenal orang sebagai senapati pilihan Mataram? Menyelinap dalam gelap malam ketika turun hujan? Tentu ada kepentingan yang tidak dapat diberikan orang lain selain aku.” Dengan pikiran semacam itu, Ki Sentana mengubah letak duduknya. Sekilas ada keinginan gila untuk meminta imbalan pada lelaki tangguh kelahiran Jati Anom tetapi ia segera sadar bahwa itu tidak pantas dilakukannya!
“Ki Rangga,” suara Ki Sentana sedikit bergetar saat rasa gugup mendadak mendatangkan kekalutan baginya. “Sudah tentu ini bukan persoalan remeh karena Anda datang ke rumah saya pada malam hari begini. Bisa jadi ini sebuah kebetulan, tetapi saya tidak ingin ada kekeliruan yang dapat mendatangkan masalah.” Ki Sentana ingin meluruskan anggapan karena ia pikir kedatamenemuinya karena persoalan kebakaran beberapa hari yang lalu.
“Anda tidak perlu khawatir,” kata Agung Sedayu menenangkannya, “saya tidak dalam keadaan untuk mencurigai siapapun. Justru sebaliknya, saya mengharap bantuan Anda untuk menjadi lapis pertama dari siasat yang telah disetujui oleh kakang Untara.”
“Pembicaraan ini telah membuat saya menjadi gugup. Terus terang saya katakan bahwa perasaan ini tidak ada sebelumnya. Bahkan seandainya Anda adalah seorang penjahat sekalipun, saya telah bersiap untuk suatu perkelahian,” Ki Sentana mengalihkan muka ke arah bintang-bintang. “Jika begitu, silahkan Ki Rangga, Anda dapat mengutarakan itu lalu mengarahkan pergerakan kami.”
Di bagian halaman dan sekitarnya tidak terlihat sesuatu yang dapat menarik perhatian Agung Sedayu, namun gegabah bukanlah sikap yang dimiliki senapati pasukah khusus. Hujan masih turun meski tidak terlalu rapat. Angin sejenak mengendurkan hembusannya. Masa peralihan musim sedikit membawa perubahan suasana di Jati Anom.
Agung Sedayu memberi penjelasan singkat mengenai hubungan Ki Sentana dengan rencananya. Ia meminta Ki Sentana dapat menghubungi jagabaya dan bekel pedukuhan. Tetapi ia tidak mengatakan langkah yang akan ditempuhnya. Ia juga tidak mengatakan akan mengikuti Ki Sentana menuju tujuan. Agung Sedayu akan membentengi Ki Sentana dari sisi yang tidak akan terjangkau oleh pengatur air pedukuhan itu.
Dalam waktu yang tidak lama, keduanya terlihat menuruni tangga pendek beranda dan melintasi pekarangan Ki Sentana. “Kita berpisah di sini,” kata Agung Sedayu. “Saya akan kembali ke rumah dan seolah-olah menunggu seseorang datang.”
“Oh,” raut wajah Ki Sentana menyiratkan sebuah pemahaman. Ia pun akan melakukan perbuatan yang sama. Ketegangan menyelimuti sekujur hati Ki Sentana. Ia terlibat dalam tugas penyamaran. Pekerjaan yang benar-benar baru baginya. Ia akan menuju ke rumah jagabaya dan bekel pedukuhan dalam bayangan sosok Agung Sedayu. “Aku berada dalam bahaya besar dengan perlindungan senapati besar,” bisiknya dalam hati. Walau kecemasan mengikuti langkah kakinya, Ki Sentana tetap tegak dalam keyakinannya pada Agung Sedayu.
Keteguhan hatinya tercermin pada langkah kakinya. Ki Sentana sama sekali tidak pernah menoleh belakang. Ia berjalan seperti tidak terjadi sesuatu sebelumnya dan tidak berharap hal buruk berada di depannya. Dalam perjalanan di bawah hujan, Ki Sentana berhasil menemui Ki Jagabaya, lalu dengan singkat ia mengutarakan rencana Agung Sedayu. Kali ini, Ki Sentana bersikap seolah-olah ia adalah Ki Jagabaya karena tugas penyampaian ke rumah bekel pedukuhan akan dilakukan Ki Jagabaya.
Demikianlah penyampaian berantai itu dirancang oleh Agung Sedayu. Setiap petugas hanya mendatangi satu pintu rumah, selanjutnya petugas penghubung akan berganti orang. Uraian singkat telah diterima oleh bebahu pedukuhan dalam masa yang cukup pendek. Mereka mulai menyiapkan segala sesuatu yang diminta Agung Sedayu.