Pada bagian lain, Ra Kayumas telah membuat geladak kapal perang Demak menjadi gelanggang pertarungan yang dahsyat. Lawan Ra Kayumas sangat gesit mengimbangi kecepatan gerak senopati Blambangan ini. Dua kubu prajurit yang saling berhadapan pun kemudian beringsut menjauhi kedua senopati yang terlibat perang tanding cukup seru dan menakjubkan itu. Sebagian prajurit Demak malah memilih bagian perut kapal untuk mempertahankan diri.
“Kau bertaruh nyawa untuk tujuan yang salah, Ki Sanak” kata Ra Kayumas di sela-sela perkelahiannya.
“Salah dan benar itu tak menjadi persoalan bagiku, Ra Kayumas.”
“Bila begitu, kebodohan adalah persoalan besar yang ada pada dirimu.”
“Diamlah!” seru senopati Demak seraya menebaskan kerisnya yang panjang.
Tetapi Ra Kayumas tidak segera menutup kata-katanya, dengan nada merendahkan lawannya ia melanjutkan, ”Hanya karena kau ingin diakui sebagai senopati dalam wilayah yang lebih luas, lalu kau lepas semua paugeran serta tata nilai keprajuritan.”
“Seorang prajurit berkewajiban melindungi atasannya.”
“Begitukah? Siapakah yang menjadi atasanmu? Raden Trenggana atau Demak?”
“Tak patut kau bertanya seperti itu, Ki Sanak! Kita masing-masing memiliki tanggung jawab yang berseberangan.”
Ra Kayumas berderai tawa. Keris berpamor merah tua telah keluar dari sarungnya dan berputar sangat cepat mengurung senapati Demak, Mahesa Karta. Mahesa Karta berloncatan beringsut menghindar seraya mengurai cambuk yang terlilit pada pinggangnya. Gelegar cambuk menghentak jantung para prajurit yang bertempur di sekitar lingkar perkelahian dua senapati yang berkepandaian tinggi itu. Keunggulan Mahesa Karta dari segi jarak menjadikan pertarungan itu semakin seru. Kelebat Kiai Rimang Pangkon, nama keris Ra Kayumas, mampu mengguncang detak jantung Mahesa Karta.
Selapis demi selapis Ra Kayumas meningkatkan serangannya semakin cepat. Ia begitu trengginas dalam setiap gebrakan. Keris Kyai Rimang Pangkon miliknya telah berubah menjadi kerungkup pertahanan yang sangat rapat. Mahesa Karta merangkai olah geraknya dengan mantap dan luar biasa. Ia tidak terlhat berupaya mengimbangi kecepatan Ra Kayumas. Tetapi ujung cambuk Mahesa Karta terus menerus mencecar Ra Kayumas. Ledakan yang keluar dari ujung cambuk setiap kali Mahesa Karta mengayun sandal pancing itu sekali-kali mengeluarkan percik api yang melesat deras menggapai kulit Ra Kayumas tetapi selalu membentur cahaya merah yang membungkus tubuh Ra Kayumas.
Matahari semakin dekat dengan garis cakrawala ketika angin semakin kencang berhembus. Baik Ra Kayumas maupun Mahesa Karta telah sama-sama menerima gores luka yang telah mengalirkan darah. Pakaian mereka membasah bercampur darah. Tampak gurat panjang melintang pada dada Mahesa Karta, sementara lingkar merah darah telah mengelilingi paha Ra Kayumas.
Dapatkan Cerita Silat Kerajaan Jawa Pdf
Genderang perang dari Blambangan telah bertalu-talu memberi tanda bagi pasukannya untuk kembali ke daratan. Ra Kayumas berteriak memberi perintah mundur bagi pasukannya namun ia sendiri telah bertekad untuk menuntaskan perang tanding melawan Mahesa Karta. Sekalipun anak buah Ra Kayumas merasa gundah dengan perintah untuk mundur tetapi mereka tahu bahwa pertempuran melawan Demak tidak akan selesai pada hari itu juga. Lalu para prajurit Blambangan yang masih dapat bertempur pun kemudian berloncatan kembali ke kapal mereka. Beberapa di antara mereka yang terluka tetapi masih sanggup untuk berjalan lebih memilih terjun ke laut daripada menjadi tahanan prajurit Demak. Banyak di antara prajurit Blambangan yang memandang berat pada kawan-kawannya yang terbunuh, sekalipun ingin hati untuk membawa jasad kawannya kembali ke kapal tetapi mereka paham bahwa pekerjaan itu dapat membahayakan nyawa mereka secara keseluruhan.
“Tak pantas bagimu melarikan diri, Ra Kayumas!”
“Pantang bagiku meninggalkan kapal musuh sebelum merebutnya,” sahut Ra Kayumas. ”Aku hidup agar dapat bergentayangan di laut, kawan!”
Ra Kayumas sepenuh tenaga mengerahkan kemampuannya, tetapi Mahesa Karta telah bersiap. Cambuk Mahesa Karta menggelepar-gelepar tak kalah ganas membalas serangan Ra Kayumas. Ketika keris Kyai Rimang Pangkon menebas bagian pinggangnya, Mahesa Karta menggeliat lantas menjulurkan kaki lurus menyamping menggapai dada Ra Kayumas. Ra Kayumas yang berhasil memangkas jarak cepat bergeser setapak ke samping dan tangkai keris diayunkannya memukul tulang kering Mahesa Karta.
Mahesa Karta menyadari kemahiran lawannya memainkan keris karena Kyai Rimang Pangkon secara tiba-tiba dapat saja berbalik dan ujung lancip keris dapat menembus kakinya. Dan bila itu terjadi maka pertarungan pun segera berakhir karena udara panas yang keluar dari keris dapat membakar tulang dan dagingnya. Lantas dalam jarak yang begitu dekat, ujung cambuk Mahesa Karta menyambar Ra Kayumas dari arah belakang. Keadaan yang sebenarnya sangat sulit dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Kedua senjata itu beradu cepat menggapai sasaran masing-masing.
Ra Kayumas tidak mempunyai waktu cukup untuk menghindari serangan lawannya. Tanpa memutar tubuh atau melihat arah serangan, tiba-tiba Ra Kayumas menerima ujung cambuk itu dengan dengan kerisnya lalu membelitkannya pada keris berlekuk sembilan itu. Yang terjadi kemudian adalah mereka berusaha melepas senjata masing-masing. Keduanya saling menarik dengan kekuatan raksasa. Dalam kesempatan yang tak mungkin terulang kedua kalinya, Ra Kayumas melepas tenaga intinya yang dengan cepat merayap keluar melalui sepanjang lengannya hingga ujung keris. Dan Mahesa Karta pun mengerahkan tenaga intinya ketika tenaga inti Ra Kayumas terasa membakar tangkai cambuknya. Ketegangan tampak pada wajah keduanya. Mereka saling meningkatkan tekanan dan ketika terjadi suara ledakan yang memecahkan gendang telinga, keduanya sama-sama terpental surut.