“Siapa sebenarnya mereka, Paman? Begitu beraninya mereka berbuat kekacauan di jantung kotaraja” desis Wirantaka.
“Orang itu adalah satu di antara tokoh yang kini kondang dengan nama Lima Tokoh Sakti dari Wetan. Ilmunya sangat tinggi, dan tentu saja Ki Panji Danuwirya itu sebenarnyalah bukan tandingannya. Dan aku yakin jika orang tua itu mau, sudah sejak awal tadi Panji Danuwirya terkapar,” jelas Ki Resa Demung
“Apakah Lima Tokoh Sakti itu apakah satu perguruan?”
“Tentu tidak, Wirantaka. Mereka dari perguruan yang berbeda-beda akan tetapi memang saat ini lima tokoh berilmu sangat tinggi itu sangat disegani di wilayah wetan termasuk di antaranya kelompok Warok Merak Abang yang kita temui beberapa waktu lalu.”
“Warok Merak Abang? Orang yang kita temui di pategalan Pakis tempo hari?”
“Mereka hanya murid-muridnya. Jika Warok Merak Abang sendiri yang datang waktu itu tentu para prajurit itu akan binasa di sana,” tukas Ki Resa Demung.
Wirantaka pun terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penuturan paman gurunya itu. Dan apa yang menjadi penggraita Ki Resa Demung itu tidaklah salah. Hingga pada pertarungan-pertarungan selanjutnya mulai tampak bahwa Ki Panji Danuwirya perlahan namun pasti merasakan tekanan-tekanan yang semakin dahsyat dari Panembahan Pulangsara, meskipun satu dari tokoh sakti dari wilayah wetan itu sebenarnya hanya bergerak lamban menghadapi serangan ganas lawannya.
Sepertinya hal itu memang disengaja oleh Panembahan Pulangsara untuk tidak segera menundukkan lawannya. Orang tua itu tampaknya ingin mempermalukan Mataram di mana salah seorang senapatinya sengaja dijadikannya bahan mainan dalam pertarungan yang disaksikan oleh ratusan orang tersebut.
Panembahan Pulangsara sepertinya ingin menunjukkan pada semua orang Mataram bahwasanya daerah yang dirintis oleh Panembahan Senapati itu tidak lagi sekuat pada masa-masa para pendiri Mataram itu masih ada. Panembahan Pulangsara ingin membuka mata dunia bahwasanya Mataram bukanlah sebuah negeri yang pantas untuk disegani daerah-daerah lain terkhusus baginya juga daerah-daerah wetan di mana tersebar negeri-negeri bekas wilayah kerajaan Majapahit tersebut.
Bagi Panembahan Pulangsara, Mataram terlalu sombong hingga merasa kuat sehingga merasa pantas menjadi simbol kekuasaan penerus Demak atau Pajang. Dua bekas simbol kekuasaan kerajaan yang lebih banyak diakui oleh negeri-negeri bekas wilayah Majapahit tersebut. Oleh karena itu Panembahan Pulangsara bermaksud ingin menjajal kemampuan Mataram secara langsung sekaligus membuka mata orang-orang bahwa Mataram bukanlah negri yang pantas untuk menjadi yang utama di tanah Jawa ini.
Namun ada sesuatu yang kurang dipahami oleh Panembahan Pulangsara tentang Mataram. Sehingga dirinya menjadi cukup puas telah menjadikan Panji Danuwirya sebagai bulan-bulanan pada pertarungan itu.
Orang tua itu seperti tidak memperhitungkan bahwa ilmu seorang Panji tentu tidak dapat dijadikan sebuah takaran kekuatan sebuah kerajaan layaknya Mataram. Sampai pada saatnya Panembahan Pulangsara merasa bosan dengan permainannya sehingga berkehendak untuk segera merobohkan salah seorang senapati Mataram itu.
Maka ketika terjadi serangan beruntun yang dilakukan Panji Danuwirnya, pada satu kesempatan yang ditentukannya pula, Panembahan Pulangsara tidak menghindari sebuah pukulan keras Ki Panji yang mengarah kepadanya. Dengan sangat percaya diri orang tua itu berdiri tegak dan diam seolah membiarkan saja dadanya jebol dihantam lawannya.
Dan satu benturan itupun tidak terelakkan lagi. Panembahan Pulangsara terlihat seperti terdorong selangkah dari tempatnya berdiri, namun sama sekali orang tua itu tidak mengalami cidera sedikit pun. Bahkan rasa sakit akibat pukulan yang dilancarkan oleh Panji Danuwiryapun sedikit pun tidak dirasakannya sama sekali. Orang tua tersenyum sinis seraya mengibas-ngibaskan kain jubahnya seperti membersihkan debu yang menempel pada pakaian itu.
“Hanya seperti itukah kemampuanmu, Ki Panji? Kenapa kau menggigit bibir? Apakah kau merasa kesakitan?” ucap Panembahan Pulangsara.
Dan memang apa yang terjadi dengan Ki Panji Danuwirya cukuplah payah menyusul terjadinya benturan itu. Tangan kanan Panji Danuwirya merasakan telah memukul dinding baja yang begitu tebal dan keras. Tanganyapun seketika bergetar, disusul tubuhnya yang terdorong beberapa langkah ke belakang seakan merasakan hempasan balik yang mencuat dari tubuh Panembahan Pulangsara.
Semua orang yang melihat itu pun terkesiap melihat hal yang dialami Ki Panji Danuwirya. Mulut mereka seakan ingin berkata namun tertahan sehingga hanya mampu menyaksikan Ki Panji Danuwirya yang berdiri di atas lututnya.
“Gawat, Paman benar, tampaknya Ki Panji tidak akan bertahan lama,” kata Wirantaka.
Sementara Ki Resa Demung hanya terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Paman apakah kita akan diam saja melihat kesombongan orang itu?” sahut Jaladara.
“Apa maksudmu, Ngger?” tukas Ki Resa Demung
“Apakah ilmu orang yang mengaku Panembahan Pulangsara itu memang demikian tinggi sehingga di antara kita atau bahkan tokoh-tokoh perguruan yang ada di sini tidak ada yang mampu melawannya?” lanjut Jaladara.
“Bukan demikian, Jaladara, tentu saja tidak ada manusia yang sempurna. Di atas langit tentu masih ada langit. Dan sekalipun ada di antara tokoh perguruan yang hadir disini merasa mampu menandingi orang itu, tentu mereka tidak akan gegabah mengajukan diri. Meski bermaksud baik akan tetapi kita tidak ingin hal itu justru akan membuat harga diri para senapati Mataram itu menjadi jatuh. Apalagi seperti kau dengar orang itu telah menantang orang-orang istana secara langsung,” jawab Ki Resa Demung. Dan Jaladara hanya bisa mengangguk anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu di atas gelanggang Ki Panji Danureja masih berusaha untuk mempertahankan keseimbangan tubuhnya agar tidak menjadi roboh. Dia pun bangkit dengan tatapan mata yang membara. “Kau memang hebat, Ki Sanak. Akan tetapi aku Panji Danuwirya tidak akan begitu saja menyerah sebelum terkapar tak berdaya,” geramnya. Dipalingkanlah pandangannya ke arah para prajuritnya yang masih terlihat bertarung sengit menghadapi kedua anak buah Panembahan Pulangsara.
“He, kau gedibal Mataram!! Aku peringatkan sebaiknya kau menyingkir sebelum lumat!” kata Panembahan Pulangsara kemudian, “pergilah dan katakan pesanku untuk Panembahan Hanyakrakusuma junjunganmu itu. Katakan aku ingin tahu sampai di mana kehebatan cucu Panembahan Senapati itu hingga sudah merasa menjadi orang yang kuat!”
“Dengar orang tua!” geram Ki Panji Danuwirya, “jangan kau mimpi untuk berhadapan dengan Gusti Sinuhun, selama aku masih tegak di sini.”
“Sombong!” sergah Panembahan Pulangsara. Namun orang tua itu tidak mampu melanjutkan ucapannya. Karena dirinya melihat Panji Danuwirya telah kembali melakukan serangan-serangan berbahaya ke arahnya. Satu unsur serangan yang begitu rumit telah kembali dilancarkan oleh Ki Panji Danuwirya.
Namun kali ini serangan-serangan itu telah dilandasi peningkatan ilmunya pada tataran puncak yang dimilikinya. Seiring dengan setiap gerakan unsur-unsur geraknya telah memunculkan getaran-getaran udara yang cukup panas menebar seperti muncul dari dalam tubuhnya. Hal itu telah memberikan isyarat terhadap Panembahan Pulangsara untuk lebih berhati-hati meskipun orang tua itu sesungguhnya sudah mampu menakar sampai di mana tingkat kemampuan perwira Mataram yang menjadi lawannya itu.
Dengan demikian Panembahan Pulangsara kini harus meningkatkan ilmunya pula hingga paling tidak setara dengan kekuatan yang dilancarkan lawannya.