Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 4 Tapak Ngliman

Tapak Ngliman 7

”Lekas serahkan senjata kalian atau tinggalkan pedati!” teriak seorang pengawal pedukuhan.

”Kalian memang gila. Rebut senjata kami dengan nyawa kalian!” balas seorang pengawal Menoreh tak kalah garang.

”Diam semua! Dengarkan aku. Keamanan di pedukuhan ini adalah tanggung jawabku, Ki Sanak,” bentak Ki Jagabaya kemudian, ”aku adalah Ki Wandira.” Ia berkata seperti itu dengan dada terbusung. Sementara para pengawal saling berhadapan dengan senjata terhunus dan mengkilat diterpa sinar obor yang terpasang di banjar.

Ki Sukarta merenung beberapa lamanya agaknya ia menimbang, apakah akan keluar pedukuhan malam itu juga atau menyerahkan senjata dan bertolak keluar esok hari? Seorang anak muda keluar dari barisan pengawal Tanah Menoreh lantas berjalan mendekati Ki Sukarta. Anak muda ini bersikap tenang, sorot matanya menunjukkan sikap yang jauh lebih muda dari usianya.

loading...

”Paman Sukarta, saya kira tidak ada salahnya mengikuti perintah Ki Wandira. Seandainya mereka mempunyai rencana jahat, aku yakin itu tidak akan dilakukan malam ini. Jumlah pengawal pedukuhan sama dengan jumlah pengawal kita. Tetapi dari cara memegang senjata, maka pengawal kita berada satu tingkat lebih baik. Percayalah,” bisik pelan anak muda yang kurang lebih berusia sedikit lebih tua dari Bondan.

”Baiklah, Ngger, jika menurutmu itu lebih baik.” Ki Sukarta maju setapak sambil mengangkat tangannya dan berkata, ”Ki Jagabaya. Aku serahkan senjataku.”  Kemudian penyerahan senjata itu diikuti oleh pengawal-pengawalnya. Pengawal dari Tanah Menoreh dengan berat hati mengikuti sikap Ki Sukarta, selain merasa segan kepadanya, juga mereka tahu penyerahan senjata itu karena saran dari anak muda yang berada dalam barisan mereka. Anak muda itu mendahului pengawal tanah Menoreh menyerahkan senjatanya yang terbuat dari kayu berbentuk seperti pedang.

Dalam waktu itu, Bondan dan Ki Hanggapati menyelinap memasuki halaman banjar dan bersembunyi di balik rimbun tanaman yang berjarak hanya beberapa langkah dari banjar. Keduanya mendengar cukup jelas percakapan antara Ki Sukarta dengan Ki Jagabaya. Bondan menebar pandangan berkeliling untuk memperkirakan tempat persembunyian Ki Banawa dan Ki Swandanu. Sementara Ki Hanggapati memijat-mijat keningnya, sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Apakah itu menimbang untuk kembali ke gua?

Mata Ki Hanggapati tiba-tiba terbelalak . Tanpa sadar ia menutup mulutnya yang menganga lebar.  Bondan terkejut mendengar desah di sebelahnya segera menoleh Ki Hanggapati. Ia melirik ke arah banjar dan seorang anak muda seusianya maju mendekati Ki Sukarta. Anak muda itu mempunyai sorot mata yang mengagumkan. Ia mampu menjaga gejolak hatinya di tengah-tengah senjata yang siap mengalirkan darah.

“Paman mengenali anak muda itu?” tanya Bondan seraya menggamit lengan Ki Hanggapati.

Ki Hanggapati menganggukkan kepala dan tampaknya ia telah menguasai dirinya. Cahaya dari beberapa obor memenuhi ruangan di banjar sehingga keadaan menjadi lebih terang. Lalu ia menjawab, “Itu adalah Jalutama, anak lelaki dari Ki Buyut Giritama, penguasa Sima Menoreh.” Ki Hanggapati mulai menimbang tentang kemungkinan untuk dapat berbicara dengan Jalutama.

Bondan manggut-manggut mendengar jawaban Ki Hanggapati. Ia kembali memalingkan pandangannya ke banjar ketika pengawal kademangan terlihat mulai mengumpulkan senjata-senjata yang telah dilucuti. Bondan mulai mengkhawatirkan keselamatan Ki Sukarta dan yang lainnya. Ia mengamati keadaan sekitar banjar dengan tatap mata yang tajam. Bondan tak ingin berbuat gegabah dengan memotong lebar halaman meskipun ia mempunyai kecepatan mengagumkan karena orang-orang di banjar akan menaruh kecurigaan jika ada yang melihat dirinya melintas. Tetapi ia juga akan menjadi dangkal berpikir jika memberi tanda dengan suara tertentu karena tidak akan dikenali oleh Jalutama dan kawan-kawannya.

Dalam waktu itu, Bondan merasa harus dapat mencapai pedati-pedati yang ditinggalkan karena tempat itulah yang terdekat dengan pengawal Ki Sukarta. Ia mendongakkan kepala lalu melihat ada kemungkinan untuk dapat mencapai pedati-pedati tanpa diketahui oleh banyak orang. Ia menggamit Ki Hanggapati dan jemari Bondan memberikan tanda bahwa ia akan menyisir bagian atas menuju pedati-pedati yang berada di seberang banjar.

“Berhati-hatilah.” Ki Hanggapati menganggukkan kepala.

Sekejap kemudian tubuh Bondan melenting ke atas lantas dengan cepat menyisir atap banjar tanpa me-nimbulkan suara. Dengan kemampuannya yang tinggi, ia dapat menyelinap di antara dahan pepohonan dan melayang turun beberapa langkah di belakang Ki Swandanu dan Ken Banawa. Sebenarnya Bondan merasa heran dengan keadaan dirinya malam itu. Betapa kini ia dapat melihat lebih jelas dan terang dalam kegelapan.

“Mungkin hanya perasaanku saja. Tetapi baiklah, persoalan ini akan aku tanyakan kepada eyang setiba di Pajang,” katanya dalam hati.

Sementara Ki Swandanu dan Ken Banawa kini mulai merayap mendekati pedati-pedati yang ditinggalkan oleh para pengawal Ki Sukarta. Keributan yang terjadi di banjar ternyata memberi kesempatan bagi Ki Banawa untuk membuka satu – dua pedati. Senapati prajurit Majapahit ini terpana menyaksikan perhiasan dan benda – benda terbaik berada di dalam pedati yang diperiksanya. Namun begitu, ia tidak membiarkan angannya merambah luas tanpa batasan. Sepenuhnya ia mengerti bahwa setiap dugaan yang terlampau luas akan membawa pengaruh buruk yang mungkin tidak akan berakhir.

Wedaran Terkait

Tapak Ngliman 9

kibanjarasman

Tapak Ngliman 8

kibanjarasman

Tapak Ngliman 6

kibanjarasman

Tapak Ngliman 5

kibanjarasman

Tapak Ngliman 4

kibanjarasman

Tapak Ngliman 3

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.