Belasan langkah di belakang Bondan adalah Bhre Pajang. Pemimpin Pajang ini sengaja mengikuti jejak Bondan. “Aku yakin dia mampu melakukannya. Dan sebaiknya memang aku tidak jauh darinya. Bondan memilih anjing pemburu yang tidak begitu bising, pilihan menarik. Dia ingin mengamati keadaan sedekat mungkin. Hal yang tidak mungkin dia dapatkan jika mengikuti anjing yang menyalak tanpa henti,” Bhatara Pajang membatin.
Mereka semakin jauh merayap ke bagian tengah hutan. Suasana lebih gelap jika dibandingkan dengan keadaan di luar. Rapat dedaunan menjadi payung yang sulit ditembus sinar matahari yang sedang bermalas-malasan. Setelah melewati sungai kecil yang dangkal dan mengalir pelan, sebuah tanah yang sedikit lapang tergelar di hadapan mereka.
Seketika Bondan meluncur deras ke arah utara. Dia melihat seekor rusa yang berjalan keluar dari balik rerimbun semak. Sejurus kemudian, Bondan semakin mendekati buruannya, tetapi rusa itu meloncat dan berlari cepat menjauh.
Dua orang yang ikut dalam perburuan itu melihat pergerakan rusa, mereka mengarahkan anjing-anjing untuk menutup jalan lari rusa. Pengejaran Bondan sedikit memasuki bagian yang rapat dengan pepohonan. Akar-akar dari tumbuhan besar melintang liar menjadi kesulitan tersendiri yang dihadapi Bondan.
Dengan cekatan, dia meraih sebatang ranting lalu melontarkannya ke sisi kanan rusa. “Berpalinglah ke sebelah kiri. Ayolah!” Harap Bondan dalam hatinya. Dia melihat tanah lapang terhampar di sebelah kanan jalur pengejarannya. Tiba-tiba, sesuai harapannya, rusa berbelok kiri memasuki tanah lapang yang ditumbuhi rumput setinggi lutut orang dewasa. Bondan mengerahkan kecepatannya berlari. Dengan gesit dan lincah, dia memotong jalur lari hewan buruannya. Sedikit pergumulan kemudian terjadi antara Bondan dan rusa yang bertubuh sedikit besar itu. Para pengiringnya datang membantu lalu dalam waktu singkat, rusa yang lumayan besar itu telah terikat.
“Luar biasa! Dia mempunyai kecepatan gerak dan berpikir yang sama.” Bhre Pajang membatin seraya mendekati Bondan yang sedang mengebaskan pakaian. Sambil menyentuh bahu Bondan, Bhre Pajang berkata, “Tentu menyenangkan bagimu, bukan? Engkau beradu cepat dengan seekor binatang tercepat.”
Hela napas panjang keluar dari hidungnya, Bondan menjawab, “Sangat melegakan meski awalnya saya berpikir tentang sebuah kesulitan yang belum saya mengerti. Tetapi, Paman dapat melihatnya, saya berburu dengan tangan kosong.”
“Ya. Aku menyaksikannya,” sahut Bhre Pajang dengan raut muka cerah, “Apakah kau masih menerima tantangan jika aku mengajakmu beradu lari menuju gundukan kecil di sebelah sana?”
“Hitungan ketiga?”
Bhre Pajang menjawabnya dengan anggukkan kepala, lantas meminta salah seorang pengiringnya untuk memberi aba-aba.
Ketika pengiringnya itu belum menutup bibirnya setelah berhitung, dua orang yang berada di depannya telah melontarkan diri sangat cepat. Tanah lapang itu telah mereka lintasi begitu cepat. Rintangan baru menanti mereka berdua di bagian dalam hutan, akar-akar raksasa membujur tidak terarah, ranting berduri menjadi halangan yang harus mereka lampaui.
Sekali-kali Bondan harus bergelantungan dan menggunakan dua tangannya sebagai pendorong laju geraknya. Sementara Bhre Pajang memilih sedikit memutar setiap kali terhalang ranting yang menjulur menutup jalur larinya. Sedikit demi sedikit Bhre Pajang menjauhi Bondan. Dua kaki Bhre Pajang terayun lebar dan cepat.
“Apakah paman sedang terbang?” gumam Bondan ketika melihat pamannya seperti melayang deras di sela-sela pepohonan.
Hentakan kaki Bhre Pajang begitu lembut namun sangat bertenaga. Setiap ranting yang diinjaknya, rumput yang dilaluinya, batang pohon yang dijejaknya seolah tidak bergetar. Kemampuan tinggi Bhre Pajang menjadi perintah bagi Bondan untuk mengerahkan segenap kemampuannya.
“Paman seperti menunjukkan padaku agar aku dapat menyamainya. Baiklah, aku akan berusaha untuk itu,” jawab Bondan dalam hati seraya mempercepat ayun kaki demi mengejar Bhre Pajang.
Ikuti kisah Bondan dari awal,klik di sini
Tidak lama waktu yang mereka butuhkan untuk mencapai gundukan tanah yang lebih kecil dari bukit. Bhre Pajang tiba terlebih dulu kemudian menanti kedatangan Bondan di bawah sebatang pohon asam. Diam-diam dia mengakui kecepatan yang dimiliki oleh keponakannya itu. Dalam hatinya, Bhre Pajang sering menempatkan Bondan sebagai anak tunggal meski tidak pernah mengutarakan secara terbuka.
“Andaikan Giri Prana masih diberi kesempatan untuk bernapas sampai hari ini, tentu dia sedikit lebih tua dari Bondan.” Kenangan Bhre Pajang menyusup kalbu. Seorang anak lelaki yang tidak panjang usia karena wabah penyakit yang menyerang seisi kota Pajang. Meski banyak upaya yang dilakukan Bhatara Pajang untuk memperoleh keturunan, tetapi kehendak yang dimilikinya selalu berbatas tembok tebal. “Aku tidak menyerah untuk mencari jalan agar berketurunan, namun satu kehendak yang lebih besar dariku mempunyai pertimbangan yang berbeda denganku. Sekalipun aku tidak ingin menyerah, tetapi kehendak itu mampu memaksaku untuk kembali pulang. Ia menekanku untuk selalu melihat sekeliling,” desis panjang Bhatara Pajang dalam hati.
“Dan ternyata kehendak agung memang memberi jawaban ; Bondan. Ia didatangkan padaku meski kami harus berbagi dengan eyang Gajahyana. Memang Bondan tidak bersama kami sepanjang hari, tetapi ia selalu ada di tengah kami berdua setiap kali kami merindukannya.
“Kakang Panji Alit, kau memang tidak pernah mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin di Pajang. Menjadi pelayan rakyat Pajang dalam kedudukan yang sama dengan mereka adalah impianmu sejak kecil. Engkau lebih memilih jalan yang sulit untuk dilewati orang kebanyakan dan engkau mampu menjalaninya. Sekarang, lihatlah! Kau tinggalkan untukku seorang lelaki kecil yang serupa denganmu. Ia sedang berlari menuju ke arahku. Sesaat lagi, bahkan mungkin lebih dekat dari sesaat, anakmu akan berada di tempat yang sama denganku.
“Bondan akan menjadi seseorang yang mumpuni dengan banyak wawasan. Bukan sekedar gelar perang, meski tak pernah ingin menjadi prajurit tetapi dia mampu berpikir seperti seorang panglima perang!” Bhre Pajang mengulang ingatan tentang kakaknya, Panji Alit. Menurut banyak kabar yang beredar, ayah dan ibu Bondan berhasil mencapai moksa dalam usia muda.
Dan seperti yang dipikirkan oleh Bhre Pajang, Panji Alit dan istrinya memilih untuk berdharma melalui jalan sulit. Mereka berdua memberi kepercayaan penuh pada Resi Gajahyana dan Bhre Pajang untuk merawat dan membesarkan Bondan.
Dalam angannya, Bhre Pajang merasa tengah berbicara dengan Panji Alit. “Kakang, tidak lama lagi, saya akan melamar seorang gadis untuknya. Tentu Kakang akan senang mendengarnya. Gadis itu seorang putri orang terpandang. Tetapi bukan itu yang saya maksudkan! Gadis itu berbeda dengan gadis yang seusia dengannya. Dia tidak pernah menyematkan sebuah atau semacam tanda yang sebenarnya menjadi haknya. Dia seperti gadis kademangan pada umumnya. Pergi ke pasar, turun ke sungai dan tidak pernah canggung mengerjakan pekerjaan rumah tapi dia menyimpan satu perbedaan. Hanya satu tapi jaraknya cukup jauh, Kakang. Gadis itu tangkas berkuda dan mempelajari olah kanuragan. Saya telah mengamatinya beberapa lama, dan saya yakin gadis itu akan mampu menempatkan diri di sisi Bondan, anakmu.”
Sejurus kemudian, seusai Bhre Pajang kembali dari angannya, Bondan telah berada di sebelahnya. Bhre Pajang manggut-manggut menatap Bondan yang belum menunjukkan rasa lelah meski telah bersimbah peluh. Bhre Pajang menatap lekat Bondan dengan teliti. Dari kaki hingga kepala. Ia tersenyum lebar tetapi sikap Bhre Pajang mengundang penasaran keponakannya itu.
“Apakah ada yang aneh dengan saya, Paman?”
“Tidak.”
“Jika demikian, maka Paman adalah orang yang aneh hari ini.”
“Hmmm.”
“Berburu tanpa senjata itu keanehan yang pertama tetapi mengasyikkan.”
“Yang kedua?”
“Sikap Paman. Melihat saya dari bawah ke atas, dari atas ke bawah, bahkan terlintas dalam pikiran bahwa mungkin akan lebih baik jika saya menggantung diri dengan kaki berada di atas.”
Bher Pajang tertawa renyah. Katanya kemudian, “Aku ingin berbincang denganmu.”
“Begitu penting?”
“Sangat penting. Dan karena sifat urusan yang tidak biasa, maka aku memilih tempat ini. Kesibukanku sebagai seorang adipati tidak akan menjangkau hingga kemari. Kau juga sedikit banyak tidak akan berpikir mengenai padepokan.”
Alis Bondan bertaut. Dia mencoba meraba arah pembicaraan pamannya. Bhre Pajang memutuskan untuk membiarkan Bondan merenung kata-katanya.
Hanya gesek dedaunan dan suara burung yang terdengar saat mereka duduk berdampingan tanpa suara. Bondan tenggelam dalam perasaannya yang masih belum berhenti membuat dugaan, sementara Bhre Pajang sesekali melirik Bondan sambil merencanakan kata-kata yang akan diucapkannya.
Bondan menarik napas panjang lalu menggerakan bibirnya, “Saya tidak mungkin dapat menduga akhir dari sebuah rahasia yang akan terjadi.”
“Bukan sebuah rahasia.” Bhre Pajang mengubah letak duduknya.
“Menjadi penyebab untuk mencari tahu tentang sikap Paman yang sepertinya menyimpan sesuatu yang sangat besar. Mungkin dapat mengejutkan atau bahkan membunuh saya! Tetapi sudah pasti jika Paman sedang menyusun sebuah rencana.”
“Aku akan katakan. Apakah kau siap menerima segala ucapan Paman?”
“Saya adalah Bondan. Telah terbiasa untuk menyesuaikan diri dengan cepat dan dilatih untuk menjadi kuat.”
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atas nama Roni Dwi Risdianto. Konfirmasi tangkapan layar dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.