Ketenangan Bhatara Pajang pun memaksa Bondan menyerah pada keinginannya.
Sebenarnya Bondan tidak ingin mengatakan itu di hadapan pamannya. Apalagi tidak ada desakan dari Bhre Pajang, tetapi cara pamannya memandang serta wibawa agung yang membuncah dari raut wajahnya telah mengubah keadaan! Keputusannya untuk tetap diam dalam beberapa saat membuat Bhatara Pajang mampu membongkar isi hati Bondan! Dengan nada suara tenang dan menyejukkan, Bhatara Pajang berkata, ”Perkawinan bukan sebuah ikatan yang mengebiri kebebasan seseorang. Kau dapat melihatnya padaku. Sebagai seorang adipati, aku bertanggung jawab pada ratusan ribu orang yang tersebar di tanah yang begitu luas. Aku juga seorang suami. Dan tentu kau telah melihat bahwa aku menjalankan segalanya dengan baik.”
“Paman adalah orang yang berbeda dengan saya.”
“Tidak!” tegas Bhatara Pajang, ”aku sama halnya denganmu. Aku juga mempelajari olah kanuragan dan berbagai gelar perang. Rontal-rontal yang berisi ajaran leluhur telah aku baca meski belum seluruhnya.”
“Untuk sementara ini, saya tidak dapat berpikir dengan baik. Segala sesuatu yang berhubungan dengan saya terlihat seperti mengalami perubahan. Saya merasakan sesuatu yang besar sedang terjadi dalam diri saya. Sesuatu itu sedang bergeser dan banyak berkata-kata di dalam hati saya.” Bondan berpaling kemudian lurus menatap wajah pemimpin Pajang tersebut. Tetapi itu tidak berlangsung lama, Bondan seperti terhisap oleh kekuatan besar yang bersembunyi di balik dua kelopak mata pamannya.
“Saya akan membicarakan ini dengan eyang Gajahyana,” kata Bondan kemudian. Ia menarik napas panjang lalu berkata lagi, ”Mungkin bisikan-bisikan yang tengah terjadi dalam hati saya dapat segera mereda. Saya membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan rencana Paman.”
“Baiklah.” Bhatara Pajang mengangguk lantas meraih pundak Bondan kemudian, ”Kita kembali ke istana.”
Bhre Pajang lantas bersuit nyaring sebagai tanda bagi pengiringnya supaya segera bersiap. Suasana telah beralih. Tidak ada lagi perlombaan adu cepat saat mereka kembali menuju kota Pajang. Justru Bondan ingin menggerakkan kaki menjauhi Pajang dan tidak kembali selamanya! Langkah Bondan begitu berat saat diayun. Bahkan dia menaiki punggung kuda dengan rasa enggan. “Meski rencana perjodohan ini benar-benar menyesakkan, tetapi aku tidak mungkin berlari meninggalkan eyang dan paman. Dan jika aku lakukan itu, satu kepastian telah menungguku ; menjadi anak terkutuk!” ucap Bondan dalam hati.
Demikianlah mereka beriringan memacu kuda namun tidak begitu cepat. Setibanya di batas luar kota, Bondan tidak menyertai pamannya kembali ke istana. Tidak banyak percakapan yang terjadi di antara mereka. Para pengiring pun seperti menyadari bahwa suasana memang sedang membeku. Mereka tidak berusaha mencairkan keadaan. Mereka cukup tahu diri.
Ketika mereka mencapai persimpangan kecil, Bondan menyatakan diri berpisah kemudian langsung memintas jalan menuju padepokan.
“Saya pikir mungkin ini lebih baik, Paman.”
Bhre Pajang berpaling padanya dengan kening berkerut.
“Saya akan mengambil arah sebelah kanan dan langsung menuju padepokan.”
Bhre Pajang mengangguk kemudian berkata, ”Jika kau merasa itu lebih ringan untuk dilakukan, sebaiknya memang begitu. Nanti aku akan katakan pada bibimu tentang semuanya.”
Setelah berpamitan pada setiap orang seperti yang biasa dilakukannya, Bondan memacu kuda dengan kencang. Debu tebal pun segera mengepul di antara derap kaki kuda. Langit Pajang telah berhias warna jingga tapi Bondan tidak memandangnya dengan senyum di wajah.
Bhre Pajang menatap punggung Bondan hingga lenyap dari pandangan matanya. Dia lalu berkata pada pengiringnya, ”Bondan akan mencari tiang pancang yang kuat ketika sedang mengalami guncangan hebat. Dan jika itu terjadi dan kalian berada di dekatnya, maka kalian harus menjadi pelindung baginya.”
“Meskipun kepandaian Bondan jauh lebih tinggi dari kami?”
“Dia akan menghantam setiap benda yang berada di dekatnya meski harus menghilangkan nyawanya. Lantas, bagaimana jika yang terdekat dengan Bondan adalah anak istri kalian?”
“Lantas, apa yang harus kami lakukan untuk melindungi Bondan dari amarahnya sendiri?”
“Sebut saja namanya lalu diamlah. Duduklah di dekatnya, biarkan dia berbicara. Bondan akan menemukan jawabannya sendiri.”
“Kami akan memegang teguh itu, Tuan.” Ucapan Keling Juwana, orang dekat Bhatara Pajang, menegaskan itu sebagai wakil dari teman-temannya. Dan mereka pun berkuda perlahan menuju pusat kota Pajang.
Temaram cahaya tidak menjadi halangan bagi Bondan untuk menembus hutan yang memang tidak terlalu pekat. Dia tiba di regol padepokan ketika bintang pertama yang cukup besar telah menghias kaki langit. Bondan tidak menunjukkan sesuatu yang janggal saat menuntun kuda dan membersihkan dirinya. Seorang cantrik menyapanya dan mengajaknya makan malam bersama karena Bondan terlambat mengikuti kebiasaan yang terbentuk lama di padepokan.
“Marilah, makan bersamaku!” ajak cantrik itu ketika melihat Bondan telah keluar dari bilika dalam keadaan bersih.
“Baiklah,” jawab Bondan. Mereka berdua segera duduk berhadapan dengan hidangan di tengah mereka. Sesekali mereka terlibat percakapan ringan tentang kegiatan sepanjang hari itu. Lantas Bondan memberitahu pada cantrik itu bahwa dia akan menemui gurunya.
“Eyang Gajahyana memang telah menantimu.”
“Aku akan menemuinya.” Bondan mengundurkan diri setelah membantu membereskan perlengkapan makan.
Di atas sebuah batu pipih berwarna hitam, Resi Gajahyana duduk dengan sikap seperti sedang bersemedi. Meski jalan panjang telah ia lewati, bahagia dan lara telah menjadi tawar baginya, tetapi Bondan membawa keadaan baru dalam hatinya.
“Kebahagiaannya adalah perasaanku, duka Bondan adalah sakitku, tetapi Bondan bukan milikku.” Batin Resi Gajahyana perlahan terusik. Dia melangkah di antara belukar penuh duri dengan sebuah rahasia besar membentang di hadapannya. Resi Gajahyana berada di persimpangan yang menyulitkan. Dia tidak dapat menolak rencana Bhre Pajang dengan menjodohkan Bondan. Resi Gajahyana memiliki alasan kuat untuk menerima.
“Sudah jelas Bondan tidak akan mewarisi sebuah kademangan, karena aku tidak mendidiknya untuk perkara yang berusia pendek. Kadipaten Pajang adalah wilayah luas yang akan menjadi miliknya, jikad ia inginkan. Tetapi aku mengenal guru Siwagati. Nama yang dahulu dihormati oleh banyak orang. Dan nama inilah yang mendorongku untuk menerima usulan Bhre Pajang.
“Sekarang, tiba-tiba muncul satu pertanyaan yang menjadi sebab keraguanku. Apakah Ki Sarwa Jala masih sama dengan orang yang selama puluhan tahun sangat disegani orang? Dia berada di lingkungan yang rumit. Aku tidak menyangka. Sama sekali tidak pernah menduga jika Ki Juru Manyuran mempunyai cita-cita yang sulit masuk akal.”
Alam pikiran Resi Gajahyana berhenti berputar tatkala langkah kaki Bondan terdengar mendekatinya. Resi Gajahyana sedikit bergeser memberi tempat pada muridnya. Tetapi Bondan memilih duduk di hadapannya. Di atas batang kayu panjang dan belum dibelah untuk menjadi kayu bakar. Tidak ada yang dilakukan oleh Resi Gajahyana selain memancarkan keteduhan melalui sorot matanya. Kedalaman hati Resi Gajahyana memberi kesempatan bagi Bondan untuk menata dirinya.
“Eyang, saya belum pernah diajak berembug tentang perjodohan ini, tentang gadis itu, bahkan Eyang tidak sekalipun mengajakku bicara tentang kemapanan. Dan tiba-tiba, paman dan Eyang mendorongku memasuki kehidupan baru yang belum pernah saya perkirakan akan datang lebih awal. Tentang penghidupan, saya dapat melakukan banyak kegiatan agar menjadi sebab berputar. Tetapi, Eyang, itu tidak dalam waktu dekat. Saya masih ingin melihat bagian lain dari bumi. Melanglang jauh dari Pajang. Banyak sisi kehidupan yang masih ingin saya saksikan. Tulisan-tulisan di rontal adalah jendela, saya hanya bisa merasakan sebatas tulisan itu sendiri.” Bondan mengutarakan keresahannya pada seorang lelaki yang menjadi saksi hidup pemerintahan Dyah Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana.
“Kau akan dapat melakukan itu, anakku. Tidak akan ada orang yang mampu menghalangimu ketika kau menghendaki sesuatu.”
“Tidak mungkin saya dapat mengadakan perjalanan jauh dengan beban berat.”
“Beban berat? Aku tidak pernah mengatakan itu padamu. Atau mungkin kamu telah melupakan bab penting dari banyak pengajaran dariku. Bondan, apabila kau enggan mengikatkan diri pada pernikahan atau sebuah keluarga, maka ada baiknya bagimu untuk melihat ke dalam hatimu. Kamu dapat bertanya dan mencari jawaban yang telah tersedia di dalam relung jiwamu.” Ucapan sejuk Resi Gajahyana sedikit memberi ketenangan pada murid utamanya itu.
Meski Bondan terhitung sebagai cantrik yang berusia muda, tetapi setiap orang di padepokan memahami jika anak muda itu telah mendapat perhatian khusus dari Resi Gajahyana semenjak bayi. Karunia yang ada di dalam diri Bondan menjadi jawaban bagi orang-orang yang menolak anggapan itu. Sebagai cucu Resi Gajahyana adalah kenyataan yang tidak dapat ditolak oleh banyak orang, dan bakat yang berlimpah turut memperkuat pendapat bahwa Bondan adalah anugerah bagi Kadipaten Pajang.
“Apakah Eyang akan berkata tentang ikatan yang melekat?”
Resi Gajahyana mengangguk. “Keinginanmu untuk menjelajahi bagian lain di bawah kaki langit adalah ikatan yang kuat. Keinginan yang mungkin akan menjadi sebab hidupmu berakhir di dalam sesuatu yang tidak dapat diterima oleh hatimu sendiri. Tentu saja menjadi Aswatama bukan tujuanmu yang utama, tetapi menjadi Bondan adalah kehendak eyang sejak engkau dilahirkan. Apabila kau menginginkan sebuah perjalanan jauh dalam masa berbulan-bulan atau ribuan pekan, eyang dapat pastikan bahwa kau akan mendapat kesempatan itu. Satu atau tiga bulan setelah perjodohan itu dilaksanakan, kau dapat pergi ke kotaraja. Belajarlah dan temui mereka karena kalian sebenarnya berasal dari satu pohon yang sama.”
Seketika dada Bondan seolah akan mengeluarkan ledakan dahsyat. Ia begitu gembira mendengar jawaban yang tidak pernah disangkanya. Sebelumnya dia berpikir bahwa Resi Gajahyana akan menolak keinginannya untuk berjalan jauh dan tetap mengurungnya di dalam padepokan. Tetapi kini, segala sesuatu seolah menjadi terang baginya. Malam yang pekat dan terbungkus rapat dengan kabut pun seperti berganti menjadi awal hari.
Kekuatan Ucapan Panembahan Hanykrawati
Bondan seolah tidak sanggup menahan rasa bahagia. Dia ingin melompat jungkir balik dan berteriak keras-keras untuk meluapkan isi hatinya, kemudian katanya, ”Terima kasih, Eyang. Meski masih mempunyai ganjalan yang berat, tetapi saya akan memaksa diri ini untuk menerimanya. Eyang tidak pernah mengajarkan sebuah kesalahan pada saya, dan tidak mungkin pula mengarahkan saya pada sebuah jalan yang kelam.” Bondan bangkit lalu menyentuh punggung tangan gurunya dengan bibirnya. Dia selalu merasa lemah dan lidahnya kelu setiap kali harus berhadapan dengan Resi Gajahyana. Selalu dan setiap kali mereka berhadapan, maka satu-satunya hal yang dirasakan oleh Bondan adalah tenggelam dalam laut kebijaksanaan.
Sepeninggal Bondan, Resi Gajahyana kembali mengingat lawatannya ke Kademangan Grajegan.
Pada saat itu, Resi Gajahyana ingin membuktikan sendiri laporan-laporan dari para cantrik dan orang-orang yang berkunjung ke padepokan. Mereka berada di bawah satu suara bahwa sesuatu yang membahayakan langit dan tanah Pajang tengah besemayam di sana.
“Denyut gerakan itu masih terlalu pelan untuk dirasakan jika kita hanya melewati jalanan di kademangan, Guru,” kata Menjangan Biru, seorang cantrik yang berada di dalam jajaran kedua di padepokan. Menjangan Biru juga menjabat sebagai kepala keamanan yang membawahi seluruh kawasan di lereng timur Merbabu. “Terakhir kali, saya mengadakan pengamatan di Grajegan, adalah berita yang santer berkumandang di langit kademangan,” Menjangan Biru menambahkan, ”tentang kedatangan seorang senapati dari pasukan yang kalah di Sumur Welut. Ki Wisanggeni kini muncul menjadi sosok yang disegani di kademangan.”
“Ia bekerja untuk Ki Juru Manyuran dan membentuk sekelompok orang untuk sebuah gerakan.” Garasakan menyusulkan keterangan singkat.
Resi Gajahyana bergantian memandang murid-muridnya dan menangkap sinar kesungguhan di balik sorot mata dua orang yang dipercayainya.
Lalu, pada malam itu, kata-kata terakhir Bondan sangat membekas dalam hatinya. “Jika benar Ki Juru Manyuran dibantu Ki Wisanggeni akan bergerak menuju Pajang, itu berarti aku akan menerima hukuman dua kali. Bondan akan menghukumku dengan caranya sendiri. Bondan tidak akan menentangku karena dia orang yang memiliki kepatuhan tinggi. Sinar mata Bondan adalah penghukum yang lebih kejam dari seluruh dewa di khayangan. Namun untuk menghentikan rencana Bhre Pajang dibutuhkan alasan yang sangat kuat. Tentu Bhatara Pajang akan menolak jika alasanku hanya berupa pendapat dan kesimpulan-kesimpulan yang mungkin saja dapat bernilai salah. Lalu, bagaimana jika benar?
“Ki Banyak Abang telah melakukan persiapan secara wajar. Dan kegiatan di padepokan pun semakin meningkat dan padat. Para prajurit bawahan Ki Banyak Abang mampu menggabungkan diri dengan tata cara padepokan. Mereka telah terlibat dalam usaha untuk peningkatan kemampuan pribadi.
“Dan untuk Bondan, aku akan membekalinya dengan lebih ketat dalam satu atau dua bulan ke depan. Dia harus bersiap sepenuhnya bila segala kemungkinan buruk terjadi tanpa henti. Aku telah mengetahui kedalaman hatinya. Satu-satunya kekuatanku yang dapat diandalkan, ketika semua ilmu telah pergi tanpa tersisa, adalah Bondan.” Desah Resi Gajahyana dalam hati lalu menarik napas panjang dengan perasaan sedikit lega.
Dalam penilaiannya, sebagian prajurit Pajang telah bersiap dan kepandaian mereka telah meningkat selapis dari sebelumnya.
“Mereka telah bersiap dan semoga itu telah mencukupi. Bondan akan dilahirkan, baik disengaja atau dipaksa oleh keadaan saat itu terjadi.” Resi Gajahyana memutar ulang gambaran-gambaran yang tersimpan dalam ingatannya, lantas menghanyutkan diri kembali larut dalam keheningan.
Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.