Suasana masih tampak hening. Belum satu pun para petinggi Mataram yang berada di tempat itu terlihat bersuara hingga orang asing itu kembali berteriak, “He, Mataram! Kenapa kalian diam saja? Ataukah memang benar setelah matinya Sutawijaya dan si tua bermulut berbisa itu kini Mataram hanya berisi para pengecut?”
Belum ada tanggapan dari pihak Mataram. Sepertinya mereka memang masih diliputi berbagai pertanyaan dalam hati mereka di mana tiada angin tiada hujan tiba-tiba ketiga orang itu dengan penuh berani telah membuat keributan dalam acara itu. Sehingga cukup lama mereka menjadi termangu-mangu.
“Ki Lurah, sepertinya mereka bukan orang baik-baik,” desis Ki Resa Demung.
“Benar, tapi siapa mereka itu? Sungguh berani telah membuat kekacauan di kotaraja pada saat-saat seperti ini,” sahut Ki Lurah Meranti.
“Sepertinya mereka bukan orang sembarangan. Jika berani berbuat seperti itu tentu mereka orang-orang yang berilmu sangat tinggi.”
“Mungkin pengelihatanmu benar, Ki Demung, namun aku belum berani menduga apa pun dari apa sebenarnya tujuan mereka itu.”
“Lalu siapa saja petinggi istana yang ada di panggung kecil di ujung itu?”
“Jika sudah datang tentu Pangeran Purbaya ada di sana. Karena beliaulah yang mempunyai tanggung jawab utama dalam hajatan ini. Tapi aku sempat melihat Tumenggung Alap-alap sudah berada di sini.”
“Sepertinya ada yang naik, Ki Lurah,” tukas Ki Resa Demung.
Dan sebenarnyalah seperti yang terlihat seseorang kemudian dengan langkah yang cukup tenang menaiki panggung itu. Orang itu kemudian menghampiri ketiganya. “Siapa Ki Sanak ini? Kenapa tiba-tiba membuat keributan di sini? Apakah Ki Sanak tidak sadar di mana saat ini berada?” tanya orang yang sepertinya salah seorang dari petinggi Mataram.
Ketiga orang itu memandangnya dengan tajam kemudian salah satu di antaranya berkata, “Dimana aku saat ini, he? Kau kira aku buta tidak tahu di mana saat ini berada!!”
“Jika demikian, kenapa Ki Sanak begitu degsura berani berbuat kekacauan di sini. Tahukah hukuman atas apa yang Ki Sanak lakukan ini?”
Ketiga orang itu justru tertawa lantang mendengar ucapan salah seorang petinggi Mataram itu. “Siapa yang sanggup menghukumku di sini?” Kembali suara gelak tawa itu terdengar semakin lantang bagaikan bergulung-gulung di setiap sudut arah. “Katakan, siapa saat ini orang-orang Mataram yang sanggup menghukum aku! Aku adalah Panembahan Pulangsara!”
Mendengar pengakuan orang itu, petinggi Mataram itu pun hatinya berdesir. Bagaimanapun juga sebagai seorang prajurit yang cukup dengan pengalaman dirinya pernah mendengar nama besar dalam dunia olah kanuragan saat ini.
“Luar biasa!” kata petinggi Mataram itu, “angin apa yang telah membawa seorang Panembahan Pulangsara ke sini? Akan tetapi sayang kedatanganya sebagai seorang perusuh. Eman nama besarmu, Ki Sanak.”
“Siapa namamu? Aku ingin tahu apakah kau pantas berbicara seperti itu padaku?” kata orang yang menyebut dirinya Panembahan Pulangsara itu.
“Namaku Danuwirya. Aku seorang Panji, salah satu di antara para paraga yang bertanggung jawab dalam perhelatan ini. Untuk itu sebelum semuanya terlanjur aku persilahkan Ki Sanak turun, dan pergi dari sini.”
“Suruh Panembahan Hanyakrakusuma ke sini untuk menemuiku!” sergah Panembahan Pulangsara
“Kurang ajar! Kau semakin keterlaluan, Ki Sanak! Kau anggap siapa dirimu hingga berani meminta Sinuhun menghadap padamu? Karena itu kali ini kau harus ditangkap!” sergah Ki Panji Danuwirya yang kini menjadi gusar. Dia pun lalu mengangkat tangan kanannya membuat satu isyarat.
Dalam sekejap berlompatanlah belasan prajurit ke atas gelanggang tersebut. Dan tanpa aba-aba kedua kalinya mereka bergerak mengepung ketiga orang pengacau itu.
“Ha ha ha ha ha…! Apakah memang benar Mataram sudah tidak ada lagi jago pinunjul sehingga kau akan mengorbankan tikus-tikus tidak berguna ini? He, Danuwirya! Kau kira aku tidak mampu melibas mereka dalam sekali gebrak!” kata Panembahan Pulangsara lantang.
“Jumawa..!” geram Ki Panji Danuwirya, “Prajurit! Tangkap dua orang itu, biarkan aku meringkus orang tua tidak tahu adat ini!”
Suasana di atas gelanggang pun menjadi riuh. Yang mana sedianya tempat itu digunakan untuk melakukan uji tanding dalam acara pendadaran prajurit. Kini justru menjadi ajang pertarungan asli di antara para pengacau itu melawan pasukan keamanan Mataram dibawah pimpinan Ki Panji Danureja.
Sebagai seorang penanggung jawab acara pendadaran itu tentu sudah menjadi kewajiban bagi Panji Danuwirya untuk meredam segala bentuk kekacauan, meski kekacauan itu dilakukan orang berilmu sangat tinggi sekali pun. Dan ternyata Panji Danuwirya memang bukanlah orang dapat dipandang sebelah mata dalam soal ilmu olah kanuragan, sehingga pada pembukaan gerak seranganya telah sedikit merepotkan Panembahan Pulangsara.
Akan tetapi lawan Ki Panji Danuwirya kali ini adalah seorang tokoh dalam dunia olah kanuragan yang namanya cukup menjulang di wilayah wetan tanah jawa. Panembahan Pulangsara dikenal sebagai salah satu dari lima tokoh sakti dari timur diantara empat tokoh berkemampuan tinggi lainnya yang sangat di segani, sejajar dengan nama Warok Merak Abang dari Panaraga. Yang mana Panembahan Pulangsara namanya begitu menjulang di daerah pesisir utara tanah Jawa bagian timur bahkan sampai tlatah Demak.
Namun hal itu tidak lantas membuat Panji Danuwirya menjadi gentar. Sebagai salah seorang senapati Mataram Panji Danuwirya tentu telah mengalami berbagai pertarungan bagaimanapun kerasnya. Apalagi pertempuran kali ini ibarat sebuah pertarungan demi kehormatan wibawa Mataram yang mana seseorang telah berani berbuat kekacauan di pusat kotaraja Mataram itu sendiri.
Dari awal Panji Danuwirya terlihat begitu ganas melakukan berbagai tekanan-tekanan kearah lawannya. Tampaknya perwira prajurit itu tidak mau bermain-main. Apalagi lawan yang dihadapinya seorang Panembahan Pulangsara. Gerakan yang dilakukanya pun terlihat cukup mengagumkan dengan pukulan-pukulan yang dilancarkan melalui tangan juga kakinya. Sampai pada suatu saat terlihat jelas perwira Mataram itu mulai mendesak kedudukan Panembahan Pulangsara yang terpaksa melakukan tepisan-tepisan dari serangan rumit yang dilancarkan Panji Danuwirya.
Namun Panji Danuwirya menjadi sedikit heran setelah sekian lama merasa mampu melancarkan serangan bahkan tekanan-tekanan yang berbahaya, sampai saat itu pula belum sekalipun dirinya mampu mendaratkan pukulannya ke arah Panembahan Pulangsara. Sehingga memaksa Ki Panji Danuwirya untuk meningkatkan kemampuan ilmunya hingga pertarungan di antara keduanya pun semakin lama tampak semakin sengit.
Sementara itu di sisi lain pertarungan kedua pengikut Panembahan Pulangsara justru tampak begitu kepayahan menghadapi belasan prajurit terlatih dari Mataram itu. Sehingga dalam waktu yang tidak begitu lama keduanya harus mengakui betapa pertempuran secara berkelompok yang ditampilkan para prajurit itu semakin lama terasa semakin membadai. Pertahanannya pun seperti benteng baja yang sulit ditembus dengan serangan serangan yang dilancarkan keduanya.
Dalam pada itu di satu sudut tempat yang tidak begitu menjadi perhatian orang-orang di sekitar alun-alun itu. Seseorang terlihat begitu tajam menyaksikan pertarungan yang berlangsung sengit di atas gelanggang itu. Sesekali orang itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya seperti menilai olah kemampuan orang-orang yang bertarung di atas panggung tersebut.
Sementara Ki Resa Demung pun sedari awal juga terlihat begitu tajam memperhatikan jalannya pertarungan yang semakin lama semakin sengit itu. Akan tetapi kini tidak terlihat lagi Ki Lurah Meranti berada di dekatnya. Lurah prajurit itu ternyata telah bergabung dengan belasan prajurit yang mengepung dua orang pengikut Panembahan Pulangsara tersebut.