Padepokan Witasem
Pajang, Gajahyana, majapahit, Lembu Sora, bara di borodubur, cerita silat jawa, padepokan witasem, tapak ngliman
Bab 4 Tapak Ngliman

Tapak Ngliman 2

”Ingat baik-baik semua pesan Resi Gajahyana, Ngger,” berkata Ki Swandanu ketika tubuh Bondan telah tergantung. Melihat Bondan dan Ki Swandanu menunjukkan kesiapan, lantas dua perondan mengambil kedudukan ke tempat yang agak jauh.

Sejenak kemudian, dengan mata terpejam, Bondan mengawali pesan permulaan Resi Gajahyana. Rasa gatal perlahan membalut dua kakinya, lalu merambat seluruh tubuh hingga dua matanya. Perlahan ia mencoba menguasai rasa gatal itu dengan mengikuti petunjuk dari Resi Gajahyana. Lambat laun rasa gatal itu mulai sirna, lalu digantikan rasa pening yang menusuk-nusuk isi kepalanya. Kepala Bondan bergetar kuat, berguncang keras dan seperti akan meledak. Darah menggenang di setiap rongga kepala Bondan. Tak lama setelah itu, darah lambat  mengalir keluar dari mata, hidung dan telinganya. Beberapa kali Bondan terlihat kesulitan untuk bernapas, namun Ki Swandanu siaga memeriksa keadaan Bondan berulang-ulang.

Utusan dari Pajang itu menilai keadaan Bondan belum menyimpang dari petunjuk dan pesan Resi Gajahyana. Ia berbisik mengingatkan agar Bondan tidak keluar dari pakem dan tetap bertahan dengan keadaan itu.

Malam serasa merayap sangat pelan, dan Bondan sejengkal demi sejengkal merambah ke setiap petunjuk gurunya. Darah mulai berhenti mengalir keluar dari setiap lubang di bagian kepala. Rasa pedih seperti sayatan sembilu pun berkurang. Ketika malam berlalu setapak demi setapak, cakrawala mulai merona merah, berangsur-angsur Bondan dapat menyempurnakan lelakunya. Matahari tegar melayang di kaki langit ketika Bondan merasakan tubuhnya terasa bugar. Napas dan peredaran darahnya mulai teratur.

loading...

Keadaan itu berlangsung hingga fajar merekah ketika kedua perondan tiba di dekat mereka. Hampir semalaman mereka terjaga demi menyaksikan lelaku Bondan. Dirambati rasa tidak percaya, mereka menurunkan tubuh Bondan atas permintaan Ki Swandanu. Aneh, menurut mereka, karena tubuh Bondan terasa lebih ringan dan wajahnya segar seperti mendapatkan istirahat yang cukup.

Latihan itu tidak berhenti dalam semalam.

Bila pagi datang mengawali hari, Bondan akan mengambil istirahat sejenak. Pada siang hari ia akan pergi ke dalam hutan kecil untuk mengembangkan jalur pernapasan dan mengamati peredaran darahnya. Di malam hari,  ia akan ke pohon pre bersama Ki Swandanu dan selalu ditemani dua perondan.

Demikianlah keadaan Bondan yang bermalam dua hari dua malam berturut-turut di banjar pedukuhan.

Sepanjang waktu ketika rombongan Ken Banawa berada di pedukuhan, Ki Karna selalu datang di pagi hari untuk merawat kuda-kuda dari rombongan Bondan. Ki Hanggapati merasa tidak enak melihat Ki Karna menjadi sibuk. ”Biarlah kami sendiri yang mengurus kuda-kuda itu, Ki Karna,” berkata Ki Hanggapati.

”Oh, tidak. Aku adalah tuan rumah kalian berempat. Sewajarnya aku melayani keperluan kalian, terlebih Angger Bondan adalah momonganku saat masih merah,” berkata Ki Karna ramah.

Begitulah yang menjadi kegiatan wajar di sekitar mereka hingga akhirnya pada hari ketiga, Ken Banawa dan rombongannya menemui bekel pedukuhan dan jagabaya untuk berpamitan. Pagi-pagi, waktu pasar temawon, empat orang itu keluar dari pedukuhan. Ki Karna melepas Bondan dengan pepat di dadanya. Betapa ia teringat Bondan saat masih belum dapat merangkak, kemudian mereka bertemu kembali setelah belasan tahun berlalu. Sebulir air mata bergulir dari pelupuk matanya.

Lirih suara Ken Banawa terdengar oleh Ki Karna. “Keindahan selalu menjadi kenangan, dan setiap kali kita mengingatnya maka itu seperti kesedihan yang dirasakan oleh anak-anak saat jauh dari ibunya. Bocah lelaki yang dulu terlihat seperti seekor anak ayam yang selalu berpayung pada ekor induknya, kini telah menjadi burung elang. Ia akan menjelajahi lembah dan lereng, bukit dan padang agar harapan tetap berkembang.”

“Anda benar, Tuan Senapati,” ucap Ki Karna.

Punggung empat penunggang kuda itu kemudian menjadi empat titik kecil yang merelakan diri menyusup di bawah garis cakrawala. Mereka akan menempuh jalan dengan melingkari Gunung Lawu. Keputusan itu disepakati karena jagabaya mengabarkan keadaan di sekitar Lawu tentang para penjahat yang meningkatkan kegiatan. Dari seorang saudagar, yang berasal dari pedukuhan itu, juga mengabarkan keterangan yang sama ketika bertamu di rumah bekel pedukuhan dan bertemu Ken Banawa di tempat itu. Ungkapnya, ia berlega hati karena dapat tiba di pedukuhan dengan rombongan yang masih lengkap.

”Saya tinggalkan seluruh barang untuk mereka. Bagi saya yang paling penting adalah keselamatan pengawal dari pedukuhan, Ki Bekel,” kata saudagar. Ki Bekel dan Ken Banawa mendengar dengan perhatian penuh.

Saat itu adalah bulan kedua sejak kehadiran Ki Nagapati di Pajang. Dan menginjak bulan ketiga dari bergabungnya lima orang asing di Kademangan Grajegan.

”Menurut Ki Jagabaya, sekelompok orang di lereng-lereng gunung cukup terampil menggunakan senjata. Aku hanya khawatir mereka adalah bagian dari pasukan Ki Nagapati,” kata Ki Swandanu. Menurutnya, keputusan untuk melintasi lereng Lawu akan menghambat Bondan memenuhi harapan Resi Gajahyana. Namun begitu, ia akhirnya luluh setelah Bondan mampu meyakinkan dirinya.

”Mungkin Ki Swandanu ada benarnya. Tetapi juga tidak menutup kemungkinan mereka adalah orang-orang dari padepokan di sekitar lereng gunung,” ucap Ki Hanggapati coba menepis kekhawatiran Ki Swandanu.

”Saya berharap seperti itu. Tentu kelompok itu sangat kuat jika benar pasukan Ki Nagapati. Bagaimana menurut Anda, Ki Benawa?” tanya Ki Swandanu sambil menoleh ke arah Ken Banawa.

”Menurut saya, rasanya tidak mungkin mereka itu pasukan Ki Nagapati. Pasukan Ki Nagapati mempunyai ciri-ciri khusus dalam penyerangan maupun bertahan. Kalaupun mereka harus mundur, tidak akan merubah cara mereka bertempur. Pikiran mendasar seorang Ki Nagapati adalah pertahanan mereka adalah bentuk serangan terbaik. Sehingga dengan demikian, tidak akan ada orang yang lolos sari sergapan mereka.” Ken Banawa menatap lurus jalan yang seoalah tiada ujung.

”Tetapi mereka bukan dalam peperangan,” kata Ki Hanggapati beralasan.

Wedaran Terkait

Tapak Ngliman 9

kibanjarasman

Tapak Ngliman 8

kibanjarasman

Tapak Ngliman 7

kibanjarasman

Tapak Ngliman 6

kibanjarasman

Tapak Ngliman 5

kibanjarasman

Tapak Ngliman 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.