“Sebut nama agar mudah bagi orang yang akan mencari kuburanmu karena kami diperintahkan untuk menghukum mati setiap pemberontak!” perintah salah satu lurah Mataram.
Orang berpakaian gelap hanya terkekeh dengan senyum tipis merendahkan. Katanya, “Aku tidak akan mati di tangan kalian!”
Dua lurah Mataram yang mempunyai luka ringan mulai berbagi tugas dan membagi diri. Sejenak kemudian, mereka dapat mendesak anak buah Raden Atmandaru. Mereka adalah orang-orang terpilih dalam tugas khusus pengawalan raja dalam perburuan di Alas Krapyak. Para pemuka Mataram, terutama para pangeran, mengusulkan agar dilakukan penyaringan setelah memerhatikan perkembangan pergerakan Raden Atmandaru yang semakin membahayakan tapi sangat senyap. Usulan tersebut dapat diterima oleh Ki Patih Mandaraka serta para tumenggung. Maka, selanjutnya para pengawal dipilih secara diam-diam melalui pengamatan rahasia. Secara umum, tata kanuragan para lurah dan rangga Mataram cukup merata sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan jika harus berhadapan dengan musuh yang berkemampuan cukup.
Orang berpakaian gelap itu memicingkan mata ketika berhadapan dengan dua orang yang bertarung dengan gigih dan ulet. “Mereka mempunyai semangat luar biasa,”geramnya dalam hati. Walau demikian, karena ia adalah orang yang memiliki keyakinan tinggi pada kemampuannya dan bangga pada ilmunya, maka serangan demi serangan dua lurah Mataram tersebut mulai menemui hambatan.
Pada bagian lain, Ki Sanden Merti tiba-tiba menghentikan langkah ketika mendengar bising perkelahian yang terjadi di belakangnya. Raut muka lega membersit pada wajahnya, lalu ia berjalan cepat, berbelok ke utara lalu menghilang di balik dinding bambu sebuah rumah tua. Sesaat kemudian, ia bertemu dengan tiga pemanah suruhan Raden Atmandaru. “Bidikan kalian meleset,” ucap Ki Sanden Merti.
“Aku tidak mengira mereka cukup tangkas berkelit,” sahut salah satu pemanah.
“Pekerjaan pun bertambah dengan hal yang semestinya bisa dihindarkan,” kata Ki Sanden Merti.
“Bukankah Ki Tangkas Jati sudah turun tangan?” pemanah itu menjawab.
“Lihatlah kemampuan dua orang yang menjadi lawan Ki Tangkas Jati,” tuaks Ki Sanden Merti. “Mereka adalah prajurit yang berpangkat lurah dan mempunyai wawasan luas dalam pertempuran. Seandainya Ki Tangkas Jati dibantu dua orang lagi, itu tetap saja seperti mengundang perhatian Pangeran Selarong atau Agung Sedayu.”
“Lalu, apa yang Ki Rangga inginkan? Apakah kami harus menerjunkan diri pada perkelahian itu?’ tanya pemanah berikat kepala merah.
“Apakah kalian begitu bodoh hingga aku harus memberi perintah yang rinci?”
Pertemuan itu berlangsung di balik pohon-pohon pisang yang tidak begitu rapat berjajar. Sepasang mata yang di sekitarnya tumbuh alis yang indah sedang mengawasi mereka dengan tatap mata tajam. Kedudukan orang ini tidak terlalu jauh tapi ia sangat cakap mengatur pernapasan meski baru saja menyelesaikan sebuah perkelahian sengit.
Pengintai itu adalah Kinasih yang mengambil jalur yang berbeda dengan sebelumnya. Kinasih beranjak kembali ke barisan yang dipimpin Agung Sedayu setelah menaklukkan Ki Sindur Jombor melalui pertarungan yang nyaris tidak masuk akal. Pada gelanggang perkelahian mereka berdua, Kinasih tidak ingin mengulur waktu dengan menjajagi kemampuan lawannya. Setelah menghentak kemampuan beberapa tingkat, Kinasih langsung melompat tinggi pada puncak ilmu. Dan itu adalah perkembangan yang tidak terduga atau terpikir sebelumnya oleh Ki Sindur Jombor.
Awal mula perkelahian, Ki Sindur Jombor mengira dapat menghalau Kinasih dalam beberapa gebrakan. Namun ia tidak menyangka kekuatan yang tersimpan dalam diri perempuan muda yang tumbuh di wilayah Pengging itu. Perempuan yang berperawakan hampir sama dengan Pandan Wangi tersebut ternyata menyimpan kekuatan dan juga kecepatan yang luar biasa.
Rasa bangga Ki Sindur Jombor nyaris saja membeku saat membentur tembok tebal pertahanan Kinasih. Kecepatan Kinasih memotong jalur serangan maupun saat menghindar terasa seperti orang yang sudah kenyang dengan pertempuran. Apalagi ketika Kinasih sudah mencapai tataran tertinggi ilmunya, maka kerap terdengar suara berdentuman bila terjadi benturan tenaga. Meski tidak begitu keras terdengar tapi getarannya sanggup mengguncang dada Ki Sindur Jombor.
Perkelahian tangan kosong itu benar-benar di luar batas akal orang-orang kebanyakan. Kibas lengan Kinasih tampak seperti kain panjang berwarna hijau yang bergulung-gulung. Gadis muda ini menerima tempaan keras ilmu yang bersumber pada turunan ilmu Ki Kebo Kenanga yang dikembangkan Nyi Banyak Patra. Tenaga raksasa yang mengalir pada sepanjang lengannya berpadu dengan kecepatan yang menyambar-nyambar menjadikan Kinasih seperti bayangan hitam yang menghantui pikiran musuhnya. Dalam keadaan seperti itu, Ki Sindur Jombor benar-benar berada di bawah tekanan yang sangat berat. Kinasih mampu mengurung dan mempersempit ruang geraknya. Setiap kali Ki Sindur Jombor hendak menjauh untuk melepaskan pukulan jarak jauh, musuhnya telah mengacaukan perhatiannya dengan gerakan-gerakan yang mengecoh hingga kemudian tumit Kinasih mendarat pada dada Ki Sindur Jombor yang terbuka!
Tubuh Ki Sindur Jombor terbanting, berikutnya sangat sulit baginya bergerak. Betapa aliran tenaga Kinasih berhasil menyusup masuk lalu merusak jalur pernapasannya. Tidak ada penderitaan lebih lama buat Ki Sindur Jombor karena sekejap kemudian hidupnya terputus.
Kinasih menarik napas panjang lalu memejamkan mata barang sejenak. Sambil duduk di atas tumit di dekat tubuh Ki Sindur Jombor yang tergolek, desisnya, “Pertikaian berakhir mengenaskan sedangkan aku tidak pernah mengenal dirimu, Ki Sanak.” Terbayang dalam benak Kinasih bayang kesedihan orang-orang yang ditinggalkan. Sepasang telinganya seakan mendengar tangis bocah-bocah yang tidak akan bertemu lagi dengan bapak mereka. Dari balik kelopak, Kinasih seperti sedang melihat kebanyakan orang berusia lanjut memungut puing-puing yang sekiranya masih dapat digunakan. “Akan datang kebenaran, tapi tidak ada yang pernah tahu waktu kemunculannya,” gumam Kinasih dalam hati. Setelah mengambil napas panjang beberapa kali, Kinasih bangkit lalu berjalan mendatangi kudanya kemudian bergerak menuju arah yang sama dengan rombongan Panembahan Hanykrawati. Hingga terbersit dalam pikirannya untuk melewati jalur yang berlainan dengan sebelumnya.
Sebelum memasuki sebuah pedukuhan, Kinasih menyusur lorong dengan harapan akan menemui keganjilan yang mungkin terlewat oleh para pengintai Mataram. Yang terjadi kemudian adalah Kinasih menangkap bayangan yang bergerak-gerak di balik barisan pohon pisang.
Sempat ia bertanya pada hatinya mengenai orang yang datang menemui tiga lelaki yang merunduk di dekat pohon pisang. Namun dari yang didengarnya, Kinasih mendapatkan jawaban bahwa orang tersebut adalah salah satu dari pengawal yang mengiringi perjalanan Panembahan Hanykrawati. “Seekor serigala bertanduk iblis sedang berjalan tenang di belakang Panembahan. Aku harus segera memberitahu Ki Rangga,” tekad Kinasih dalam hatinya. Berkat kemampuannya yang mumpuni, KInasih nyaris tidak melewatkan seluruh percakapan empat orang yang bertemu secara sembunyi-sembunyi. Ketika pembicaraan mereka usai, Kinasih masih berdiam pada tempatnya untuk berjaga-jaga bila ada sesuatu yang tidak terduga terjadi di sekitar tempat itu. Setelah beberapa lama menunggu, Kinasih menyelinap dengan kecepatan luar biasa. Kudanya telah ditambatkan pada sebuah kandang yang mungkin tak bertuan karena terletak di ujung pedukuhan.
Perkelahian seru masih berlangsung antara dua pengawal Mataram melawan seorang pengikut Raden Atmandaru sewaktu Kinasih tiba di tepi gelanggang.
Ujung penglihatan anak buah Raden Atmandaru dapat mengetahui kehadiran perempuan muda yang memandang tajam perkelahian mereka. “Apakah engkau datang untuk membantu mereka atau secara khusus bersiap melayaniku malam ini?” lantang bertanya lelaki itu setelah menjauh dari pusat perkelahian.
“Mengapa seorang lelaki kerap bicara tabu setiap melihat perempuan?” Kinasih menyahut dengan pandangan geram pada Ki Tangkas Jati. Namun ia tidak lagi berusaha menahan diri sebelum mengamati perkembangan. Baginya, ucapan lelaki itu sudah dapat dianggap sebagai undangan pertempuran. Maka, sebelum selesai kalimatnya terucap, Kinasih menyerang lelaki liar itu dengan terjangan hebat.
Dua lurah Mataram itu mengetahui Kinasih sebagai perempuan yang berkuda di samping Agung Sedayu sejak iring-iringan keluar dari gerbang istana. Dengan bertambahnya satu tenaga, untuk sesaat, dua orang tersebut merasa terbantu. Namun setelah mengetahui kedahsyatan gaya gempur Kinasih, mreka sadar bahwa ternyata Kinasih cukup berhati-hati pada pergerakannya. Itu terpaksa dilakukan Kinasih di balik tekanan demi tekanan yang dilesatkan pada anak buah Raden Atmandaru. Dua lurah Mataram akhirnya memahami bahwa Kinasih pun berusaha melindungi mereka, selain tetap menyerang lawan. Maka, mereka perlahan-lahan mengurangi tekanan supaya Kinasih benar-benar leluasa bergerak dan tidak khawatir dengan keadaan mereka.
Di sela-sela perkelahian, ketika keadaan agak terkendali, Kinasih berkata pada dua lurah Mataram tersebut, “Ki Sanak sekalian, harap segera kembali pada barisan. Mohon laporkan pada Ki Rangga bahwa satu rintangan telah teratasi. Satu ancaman sedang bersembunyi lalu beritakan keadaan di tempat ini.”
“Tapi, anak muda, bagaimana kami dapat meninggalkanmu seorang diri di depan buaya kelaparan?” sahut seorang lurah.
“Ia tidak berarti apa-apa bagiku. Hanya sebuah gangguan kecil saja dalam perjalanan. Segeralah, Ki Sanak, saya mohon,” ucap Kinasih.
Meski tandang Kinasih cukup meyakinkan tapi kecemasan tak dapat dihindari oleh mereka. Bahkan mereka tidak dapat membayangkan seandainya Kinasih dapat ditundukkan oleh prajurit Raden Atmandaru. Tentu saja dan sudah pasti mereka akan dicengkeram rasa bersalah sepanjang hidup.
Melihat mereka masih bergeming pada tempatnya, Kinasih pun meningkatkan tekanan. Ujung kaki dan tangannya lebih cepat berputar, berpusaran di sekitar tubuh orang yang mendukung pemberontakan sunyi Raden Atmandaru. Udara kadang memperdengarkan suara mendesis saat tangan Kinasih berayun sangat kuat dan sangat cepat.
Dua pengawal Mataram lantas saling memandang lalu mengangguk.
“Baiklah, kami pergi sekarang,” kata salah seorang dari mereka. “Aku ingin melihatmu selamat di samping Ki Rangga Agung Sedayu.”
“Terima kasih, Ki Sanak.” Kinasih mengangguk lalu terlukislah senyum yang mengerikan.
Lurah-lurah Mataram itu terperanjat karena wajah jelita itu tiba-tiba menghilang dan seakan tergantikan sosok yang menggiriskan. Sambil mengangkat tangan, mereka pun berlalu dari gelanggang perkelahian.