Padepokan Witasem
geger, alas krapyak, api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 31

Permukaan tanah Karang Dawa berguncang. Derap pengawal berkuda yang datang dari arah Gondang Wates mengguncang perasaan lawan. Jantung pasukan Ki Sor Dondong berdetak lebih kencang ketika muncul barisan penunggang kuda yang meluncur secepat anak panah. Memang nyata seperti anak panah yang melesat deras menuju mereka dengan senjata teracu tinggi. Untuk sejenak, pasukan lawan dapat merasakan bahwa kaki mereka sedang bergetar. Keterkejutan itu seakan-akan menjadi awal penderitaan karena pekik lantang yang menggaung dari pengawal berkuda. Benar-benar rebut dan memekakkan telinga!

Namun pasukan Ki Sor Dondong mempunyai latar belakang tempur yang cukup baik. Mereka kerap menantang bahaya dengan pertempuran kecil melawan para peronda Mataram maupun prajurit penjaga perbatasan wilayah. Maka dari itu, senapati mereka segera memberi perintah agar pasukannya menyiapkan gelar untuk menyambut lawan dengan sikap yang garang. Benturan keras pun terjadi. Dua kekuatan besar akhirnya bertumbuk dengan cara yang hebat! Sedemikian kuat mereka beradu tenaga, maka perkelahian antar pribadi pun terjadi susul menyusul.

Dalam waktu itu, Pandan Wangi melenting tinggi, meluncur sangat cepat, meninggalkan kuda, melampaui barisan pertama lawan! Pandan Wangi menerjang Ki Arung Bedander sepenuh kekuatan yang dimiliki. Sepasang pedang kembarnya telah bergetar! Seperti tidak pernah terlibat dalam pertarungan pada tingkat tinggi, Ki Arung Bedander melihat kelebat Pandan Wangi dengan pandang mata terkesima.

Baca juga :

“Raden Trenggana adalah mangsa terbaik. Engkau, adalah,  dan hanya seekor anjing pemburu bagi Arya Penangsang.”

Serat Lelayu

Ki Arung Bedander dapat merasakan kekuatan yang tersimpan pada sepasang pedang milik Pandan Wangi. “Luar biasa!” puji Ki Arung Bedander dalam hati. Meski lawannya adalah seorang perempuan, tetapi Ki Arung Bedander mempunyai pengamatan yang cermat. Bahwa panglima wanita yang menjadi lawannya tentu bukan perempuan sembarangan. Getar tenaga yang keluar dari ujung pedangnya sudah memberikan gambaran mengenai ketinggian ilmu Pandan Wangi.

loading...

Ki Arung Bedander menjemput serangan Pandan Wangi. Untuk pertama kali, ia akan menguji ketajaman senjata lawannya. Pertarungan jarak dekat pun berlangsung. Mereka berkelahi secepat orang yang berlari melewati turunan. Mereka mengesankan begitu tergesa-gesa untuk menyelesaikan perkelahian. Ketika merasa bahwa Pandan Wangi mulai menata diri, Ki Arung Bedander menjalankan siasat lain. Ia urung mengetrapkan ilmu.

Untuk sekejap kemudian, Ki Arung Bedander meloncat jauh, bahkan memandang perlu bahwa lebih baik menghindari serangan Pandan Wangi untuk sementara waktu. Dasar pertimbangannya adalah, menghadapi Pandan Wangi tidak dapat dilakukan di tengah kerumunan orang yang bertarung tanpa batasan. Ki Arung Bedander telah memutuskan akan memisahkan Pandan Wangi dari pasukannya. Maka ia berloncatan menghindar, membuat jalur menyilang agar mengesankan berusaha melarikan diri dari kejaran lawan.

Mungkin Pandan Wangi terpancing. Terlihat Pandan Wangi seolah tidak akan membiarkan lawannya lolos dari daya jangkau serangannya. Untuk beberapa lama, Pandan Wangi kemudian terlihat ragu-ragu setelah muncul pertanyaan dalam pikirannya. Mengapa ia selalu begerak menyilang? Seketika Pandan Wangi melepaskan serangan ke bagian samping kirinya. Dalam sekejap, banyak orang mengaduh kesakitan. Pasukan Ki Sor Dondong pun semburat menghadapi amuk Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak kepalang tanggung melabrak pasukan lawan. Pandan Wangi tidak mengurangi sedikit pun dari kekuatan yang disiapkannya untuk menggelar perkelahian melawan Ki Arung Bedander. Ya, Pandan Wangi cepat memutuskan ; ia akan membuat kerusuhan agar lawan yang diincarnya segera kembali, lalu menghadapinya di tempat yang dapat digunakannya untuk memantau perkembangan pengawal berkuda.

Sejenak kemudian, Ki Arung Bedander dapat mendengar pekik gelisah dari barisan prajurit  Raden Atmandaru. Ia berhenti, berbalik arah, memandang barisan pasukannya yang semrawut karena cara Pandan Wangi yang berkelahi seolah kesetanan. Ki Arung Bedander mengangguk. Ia menyadari bahwa Pandan Wangi rupanya dapat membaca siasatnya. Kecerdikan yang patut mendapat pujian. Inilah Ki Arung Bedander yang sanggup memandang lawan secara terpisah dari sudut yang berlainan. Meski Pandan Wangi adalah senapati lawan, tetapi kecerdasan dan kemampuannya menawan hati Ki Arung Bedander. “Ini adalah pertarungan yang terhormat. Kalah darinya, itu bukan hal memalukan. Kemenangan akan membuahkan akibat yang menyenangkan,” desisnya dalam hati.

Dua lompatan panjang kemudian mendekatkan Ki Arung Bedander pada kedudukan Pandan Wangi. “Mereka bukan lawan yang sebanding denganmu,” kata Ki Arung Bedander dengan nada tenang.

Pandan Wangi menghentikan gerakan lalu memandang lelaki yang mungkin seusia dengan ayahnya, Ki Gede Menoreh. Hanya memandang sambil mengibaskan pasukan lawan yang berkemampuan rendah namun berhasrat tinggi menyerangnya.

“Sudahlah!” bentak Ki Arung Bedander pada pasukannya. “Kalian tidak usah mengerubunginya seperti lalat mengelilingi api unggun. Ambillah lawan yang sebanding dengan kemampuan kalian.”

“Kiai,” kata Pandan Wangi kemudian, “aku memberimu penawaran yang semestinya dapat Kiai pandang dengan baik.”

Seperti tidak mendengarkan ucapan Pandan Wangi, Ki Arung Bedander justru mengungkapkan isi pikirannya dengan kata-kata yang tidak bernada permusuhan. “Sepasang pedang kembar. Aku dengar ada seorang perempuan muda yang dapat memainkannya dengan sangat baik. Orang-orang berkata bahwa perempuan itu adalah anak tunggal Ki Gede Menoreh.”

“Kiai tidak mendengar yang aku ucapkan,” kata Pandan Wangi.

“Untuk apa? Penawaran yang kau berikan tidak jauh dari tiga pilihan. Pertama, menyerah lalu menjadi tawanan. Kedua, dihukum mati melalui perang tanding atau ditangkap hidup-hidup kemudian diadili tanpa pembela. Aku lihat bahwa kau tidak akan mendapat bantuan dari pengawal berkuda atau lelaki muda yang tadi menjadi lawanku. Suaramu mungkin tidak akan terdengar atau dikenali para pesuruhmu. Mereka akan terlentang dengan mata terpejam selamanya. Baiklah, Putri Ki Gede Menoreh, aku sedang mendengarkanmu sekarang.”

Telah terbit!
Judul : Penaklukan Panarukan
Pengarang : Ki Banjar Asman
Ukuran buku : B5
Tebal buku : 563 halaman (isi)
Diterbitkan : Indie Label
Buku fisik : tersedia sesuai permintaan.
Harga Rp 140 ribu (tidak termasuk ongkos kirim)
PDF : tersedia. Harga penggantian Rp 50 ribu
Hubungi : Ki Banjar Asman (WA)

Ini permainan tarik ulur yang melibatkan kejiwaan, pikir Pandan Wangi. “Mungkin ia memang akan mendengarkanku dengan tujuan memberi waktu agar bantuan datang dari garis belakang. Barangkali juga, ia sedang mengulur waktu agar aku benar-benar abai pada pasukanku,” desis Pandan Wangi dalam hati.

“Pandan Wangi,” ucap Ki Arung Bedander setelah menunggu beberapa saat. “Apakah aku yang harus memberimu penawaran? Ini permintaanku, serahkan Swandaru dan Gondang Wates pada panglima kami, Raden Atmandaru mungkin akan mengangkatmu pada derajat kemuliaan yang tinggi.”

Pandan Wangi memaksakan diri untuk tertawa, lalu katanya, ”Kiai sedang menerbangkanku sangat tinggi bersama mimpi menjadi pendamping seorang pengkhianat. Itu tawaran yang sangat menarik jika orang baik di Mataram sudah mati seluruhnya.”

“Keliru. Perempuan, engkau keliru membuat kesimpulan.”

Pandan Wangi mengernyitkan kening.

“Raden Atmandaru bukan orang yang tidak baik. Mungkin ia tidak sebaik Agung Sedayu, Swandaru atau ayahmu, tetapi ia mempunyai kepantasan yang berbanding lurus denganmu. Dan..,” kata Ki Arung Bedander sambil mengangkat tangan, “bila Raden Atmandaru menolak dirimu, aku bersedia menerimu sepenuh hati. Dunia akan menjadi lebih indah dalam penglihatanmu. Bunga-bunga akan bersemi setiap hari dengan senyummu. Untuk membuktikan itu, aku hanya perlu waktu berada di sisimu sepanjang waktu.”

“Wong gendeng!” pekik Pandan Wangi diiringi sorot mata jijik ketika menyerang Ki Arung Bedander dengan dahsyat!

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.