Padepokan Witasem
api di bukit menoreh, mataram, kiai gringsing, kiai plered, panembahan hanykrawati, agung sedayu
Bab 6 Geger Alas Krapyak

Geger Alas Krapyak 117 – Badai Emosi Ki Sanden Merti

Dalam pertempuran itu, Ki Sanden Merti harus berjuang mati-matian mempertahankan kedudukan agar tetap seimbang. Meski belum ada lecet pada kulit atau memar pada bagian tubuh yang lain, Ki Sanden Merti benar-benar harus menguras tenaga dan segenap pikiran untuk membendung serangan Agung Sedayu. Ada larik keputusasaan ketika pertahanan Agung Sedayu tak juga tumbang oleh serangannya. Bahkan seiring dengan perjalanan matahari meninggalkan puncak kedudukan, Ki Sanden Merti seakan-akan turut terbenam.  Ia sudah merasa tidak akan dapat berbuat lebih banyak dari yang dilakukannya sekarang.

“Agung Sedayu benar-benar di luar jangkauan!” pikir Ki Sanden Merti. Ia tidak lagi berpikir akan terbunuh karena hal itu sudah diperhitungkannya sejak memutuskan bergabung pada barisan Raden Atmandaru. Namun betapa sia-sia waktu yang dimanfaatkannya untuk mempertajam kemampuan karena lawannya sama sekali tidak mengeluarkan dua kemampuannya yang terkenal ; permainan cambuk dan kekuatan mata. Meski demikian, Ki Sanden Merti masih tetap bertempur dengan sekuat tenaga dan segenap pikirannya.

Pada waktu itu, Agung Sedayu menurunkan tekanan sambil mencari celah kelemahan lawan maka ia pun meloncat mundur. Memperbarui kedudukan dengan rencana menyusun rangkaian tata gerak baru.

Sekejap kemudian, mereka berdua pun berhenti  sejenak dari pertarungan.

loading...

“Berhenti!” satu seruan keluar dari mulut lembah lalu diikuti seorang penunggang kuda yang ternyata itu adalah Ki Anjangsana sambil mengibarkan lambang khusus pengawal raja. “Beri kelonggaran dan tunjukkan penghormatan bagi pemimpin Mataram!”

Agung Sedayu segera mengurungkan niat menyerbu Ki Sanden Merti. Tata geraknya pun turut menyesuaikan diri. Sekilas ia memandang Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana lalu memberi tanda agar mereka segera bersiaga. Senapati pasukan khusus Mataram itu lantas mengarahkan perhatianya secara penuh pada arah mulut lembah tanpa melepaskan kewaspadaan terhadap Ki Sanden Merti.

Tumenggung pembangkang, Ki Sanden Merti, terkejut.  Ia sudah menduga bahwa serangan gelap dari dua sisi lembah pasti mendapatkan halangan, namun siapa sangka Ki Kebo Saloka dan Ki Sawala turut menambah kegagalan usaha mereka? Lelaki ini mendengus penuh rasa geram. Batinnya bergolak, perasaannya membara. Pusaka yang menjadi kebanggaan segenap pengikut Raden Atmandaru hampir dapat dipastikan lenyap atau dalam rampasan prajurit Mataram. Ki Sanden Merti mengenang ikatan hubungan antara dirinya dengan Ki Sawala. Perguruan mereka berada pada wilayah yang bertetangga. Mereka saling mengenal begitu lama sehingga Ki Sanden Merti pun mengetahui asal usul keris yang dibanggakan dan diakui oleh Ki Sawala sebagai pusaka turun temurun. Oleh karena itu, pandangan Ki Sanden Merti terhadap Mataram pun seperti mendapatkan kapal yang ditiup oleh angin yang sama dengan Raden Atmandaru.

Dengan wajah tegang, Ki Sanden Merti memandang pada titik yang sama dengan Agung Sedayu.  Meski Ki Sanden Merti tersulut badai amarah tapi ia berusaha mengendalikan diri. Pikirnya, pasti, itu sudah dapat dipastikan bahwa Ki Sawala telah menemui ajal lalu menyusul berikutnya dirinya serta keluarga mereka. Meski sempat terlintas pikiran untuk meninggalkan gelanggang, Ki Sanden Merti sadar bahwa Agung Sedayu tidak akan melepaskannya dengan tangan terbuka. Ia telah melihat sikap tubuh senapati agul-agul Mataram dan juga telah menyaksikan sendiri kecepatan Agung Sedayu sepanjang perkelahian mereka.

“Aku akan menunggu,” kata Ki Sanden Merti dalam hati sambil memperhatikan titik lemah pengamanan Panembahan Hanykrawati dari kedudukannya.

Tak lama setelah Ki Anjangsana melewati bibir lembah, menyusul di belakangnya adalah Panembahan Hanykrawati yang berkuda sebelah menyebelah dengan Pangeran Selarong. Mereka berdua tidak dikitari oleh seorang prajurit pun!

Ki Grobogan Sewu dan Ki Banyudana terperanjat! Mereka nyaris menjadi patung karena dua pemimpin mereka begitu terbuka dan seperti sedang menyediakan diri menjadi mangsa yang sangat mudah. Mereka berdua dan juga para senapati serta prajurit yang berbaris di belakang Panembahan Hanykrawati dicengkeram kecemasan yang sangat kuat. Mereka sadar bahwa raja mereka dan juga pangeran Mataram dalam keadaan lemah meski untuk menghindar dari lontaran anak panah!

Ki Anjangsana mengangkat tangan lalu memberi tanda agar iring-iringan berhenti. Dua langkah di belakangnya masih Panembahan Hanykrawati dan Pangeran Selarong. Meski demikian, perintah itu seperti tidak digubris oleh Kinasih yang tetap menjalankan kuda perlahan-lahan hingga sejajar dengan dua orang terkemuka Mataram tersebut. Kinasih tampak begitu pucat saat menebarkan pandangan pada suasana sekelilingnya. Itu adalah bekas-bekas pertempuran yang sangat dahyat! batinnya. Saat melihat Ki Sanden Merti berdekatan dengan Agung Sedayu  – karena juga tidak dapat dikatakan agak jauh – Kinasih menarik napas dalam-dalam. Gadis ini merasa lega lalu segera memanjatkan pujian pada Yang Maha Sempurna atas perlindungan-Nya pada Agung Sedayu. Kinasih memejamkan mata, menghela napas panjang sambil menggerakkan bibir, mengucap nama tanpa bersuara, “Ki Rangga.”

“Panembahan,” kata Ki Sanden Merti dengan tiba-tiba. Lalu ia melangkah lebih dekat, demikian juga Agung Sedayu.

“Berhenti!” bentak Ki Anjangsana lalu melompat turun dari kuda, kemudian memasang kuda-kuda dengan pedang terjulur ke depan.

“Panembahan,” kata Ki Sanden Merti tetap melangkah tanpa menghiraukan perintah Ki Anjangsana. Demikian pula Agung Sedayu yang turut bergerak maju.

“Menepilah, Ki Lurah,” perintah Pangeran Selarong tanpa rasa takut ataupun khawatir akan keselamatan ayahnya.

Sejenak Ki Anjangsana berada di ambang keraguan namun saat melihat Agung Sedayu ternyata semakin dekat pada Ki Sanden Merti, maka lurah Mataram itu pun melangkah ke samping.

“Panembahan, “ kata Ki Sanden Merti dengan rasa pongah. “Aku jarang berbicara denganmu secara langsung dalam jarak yang begitu dekat seperti saat ini. Atau mungkin bukan jarang tapi tidak pernah? Benar begitu?”

Panembahan Hanykrawati mengangguk namun tidak dengan makna membenarkan. Keadaan itu cukup disadari oleh Ki Sanden Merti, maka tumenggung ini pun berkata lagi, “Panembahan, aku mengerti bahwa engkau sudah mengetahui adanya persekongkolan sejak hal itu masih berupa gagasan. Yang aku tidak mengerti adalah alasanmu untuk memilih diam.”

Lagi, Panembahan Hanykrawati hanya mengangguk tanpa membenarkan.

“Aku tahu apabila pada waktu itu kau seret semua orang yang terlibat di dalam pembicaraan rahasia maka seluruh waktu akan habis untuk demi urusan itu. Demikian pula dengan biaya atau beban yang kau tanggung, sudah barang tentu Mataram tidak akan mampu mengongkosinya,” sambung Ki Sanden Merti. “Itulah dirimu pada masa lalu dan sekarang. Seharusnya kau beritahukan ke seluruh penjuru Mataram agar mereka pun tahu bahwa kau pun turut bersalah karena banyak kekacauan yang terjadi  Dan jika kau sadar atas kesalahan itu, apakah kau setuju jika aku mengambil peran sebagai penentu hukuman?”

Lagi-lagi, Panembahan Hanykrawati hanya mengangguk tanpa membenarkan, tapi Pangeran Selarong hampir tidak dapat menahan diri. Seandainya ia tidak melihat tanda yang diberikan Agung Sedayu, tentu tumenggung yang lancing berkata-kata itu pasti akan dilabraknya.

Sesaat kemudian, terdengar Ki Lurah Anjangsana berkata, “Ki Sanden Merti! Seandainya tidak ada larangan untuk bertarung denganmu, aku akan mengajarimu kesopanan dan batas-batas bicara.”

English Version please click : The Book of Kiai Gringsing

Ki Sanden Merti menarik kepala seolah-olah terkejut, lalu mengatakan, “Oh, benarkah ada larangan itu? Sejak kapan Mataram melarang orang atau prajuritnya berkelahi denganku?” Ia lantas memandang Pangeran Selarong kemudian bertanya, “Apakah anak muda ini yang mengeluarkan larangan?”

Setelah menghela napas panjang, Panembahan Hanykrawati berkata, “ Aku tidak akan bertanya tentang keinginan atau kehendakmu karena semua sudah jelas.”

Ki Sanden Merti mengerutkan kening. “Mas Jolang, Mas Jolang… ternyata tidak ada yang berubah darimu. Ucapanmu selalu berujung pangkal tanpa dapat menetap. Kau selalu berkelit dan menyembunyikan rupa di balik kulit-kulit wayang dalam kisah penuh khayal.” Usai mengatupkan bibirnya, Ki Sanden Merti memandang orang-orang di sekitarnya. Pikirnya, penjagaan yang sangat ketat. Tidak ada pilihan lagi selain bertempur hingga nyawa terlepas dari kungkungan. Ki Sanden Merti merasa ada kebebasan jika ia dapat bersikap gagah berani menyambut kematian. Walau demikian, harapan dapat terjaga bila Agung Sedayu bertekuk lutut terlebih dahulu. Jika memperhatikan gerak gerik Pangeran Selarong dan senapati lainnya, Ki Sanden Merti tahu bahwa mereka tidak dalam keadaan yang cukup baik untuk melawannya.

“Ki Tumenggung,” kata Pangeran Selarong. “Apakah kau dapat berjalan kaki sejak pagi tadi?”

Ki Sanden Merti menyipitkan mata, melihat arah matahari yang hendak menggelincirkan diri di bawah pucuk pohon yang tinggi. Ia merasa sepertinya orang-orang yang setia pada Panembahan Hanykrawati tidak terjebak ke dalam perangkap kata-katanya. Pada waktu itu, ucapan Pangeran Selarong terdengar seperti sedang menghinanya. Bagaimana pangeran Mataram bertanya seperti itu bila bukan sedang menganggap dirinya sedang bermimpi? Dan tentu saja putra raja itu pun sedang mengungkit kebaikan-kebaikan ayah dan kakeknya yang dilimpahkan padanya? Karena tidak ada prajurit yang secara tiba-tiba menjadi tumenggung dengan kepercayaan dan wewenang yang cukup besar.

“Engkau masih berupa kotoran pada saat kakekmu memohon padaku agar dapat merawat dan mengendalikan pasukan berkuda. Demikian pula ayahmu yang melupakan bagaimana aku dan anak buahku berjibaku menyelamatkan dirinya dari kejaran orang-orang Pegunungan Kendeng. Ada tata krama dan juga sesuatu yang makan agar perutmu dapat menjaga kesadaranmu,” tukas Ki Sanden Merti.

Pangeran Selarong menerima hinaan itu dengan cara luar biasa! Ia mampu menjaga kendali diri. Panembahan Hanykrawati melihat sepasang tangan anaknya yang bergetar tapi kemudian raja Mataram ini tersenyum lalu mengangguk-angguk.

Pangeran Selarong menyahut dengan suara yang dipaksakan untuk menunjukkan ketenangan, “Apakah ada yang masih belum kau ungkapkan, prajurit? Apakah kau mempunyai keberatan yang perlu diajukan pada raja yang berada di sampingku saat ini, prajurit? Apakah kau ingin membalaskan dendam seluruh kawan-kawan dan juga pengikutmu pada raja yang berada di sampingku ini, prajurit? Katakan!””

Kinasih yang berkedudukan sejajar dengan Pangeran Selarong mulai merasakan ketegangan meningkat sangat tajam. Ia tidak mampu membuang muka atau memalingkan pandangan dari Ki Sanden Merti. Walau sudah berada pada puncak rasa muak, Kinasih harus tetap menajamkan pengamatan. Lagipula, jauh di dalam lubuk hatinya, diam-diam ia berharap Agung Sedayu tidak melonggarkan pengawasan pada Panembahan Hanykrawati. Meski ia merasa sanggup mengulur waktu bila Ki Sanden Merti tiba-tiba menerjang raja Mataram, tapi… entahlah… Kinasih lebih condong berharap agar Agung Sedayulah yang menjadi orang pertama melakukan penyelamatan.  Kinasih merasa sudah mengatakan sesuatu pada Agung Sedayu tapi ternyata tidak ada suara yang keluar darinya. Dari balik kelopak mata Kinasih seakan muncul warna warni yang menggambarkan suasana hatinya, betapa ia ingin sekali bertempur berpasangan dengan senapati Mataram yang gagah perkasa, Agung Sedayu.

“Inilah, inilah…,” gumam Ki Sanden Merti. Sekedip mata kemudian, ia membentak nyaring, “Hari pembalasan. Matilah!”

Waktu mengambang sangat pelan, itu yang dirasakan orang-orang. Matahari seakan berhenti bergerak dan roda-roda pedati enggan berputar ketika Ki Sanden Merti menghunjamkan serangan pada Panembahan Hanykrawati dengan sangat, sangat,sangat dahsyat!

Betapa dalam sekejap mata kemudian, terdengar ledakan hebat yang berasal dari sepasang kaki Ki Sanden Merti ketika melompat panjang! Seakan-akan ia terlontar oleh suatu benda yang luar biasa atau terlepas dari gendewa milik dewa perang yang banyak dikisahkan dalam dongeng bocah-bocah wayah terang rembulan.

 

 

Seluruh bacaan di blog Padepokan Witasem dapat dibaca bebas biaya. Maka dari itu, Anda dapat mendukung kami agar tetap semangat berkarya melalui rekening BCA 8220522297 atau BRI 3135 0102 1624530 atas nama Roni Dwi Risdianto atau dengan membeli karya yang sudah tamat. Konfirmasi tangkapan layar pengiriman sumbangan dapat dikirim melalui Hanya WA Selanjutnya, kami akan mengirimkan tautan/link untuk setiap tayangan terbaru melalui nomer WA yang tersimpan. Terima kasih.

Wedaran Terkait

Geger Alas Krapyak 99 – Panembahan Hanykrawati : Bahaya di Celah Sempit

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 98 – Pengawal Panembahan Hanykrawati: Pertemuan Puncak dan Ancaman Musuh

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 97 – Panembahan Hanykrawati Berjalan Menuju Bahaya : Agung Sedayu dan Pangeran Selarong Bersiaga Meski Gelap Gulita

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 96 – Singa Betina yang Bernama Kinasih

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 95 – Kegagahan Lurah Mataram

kibanjarasman

Geger Alas Krapyak 94 – Tantangan Muncul saat Pengejaran Raden Mas Rangsang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.