“Tidak sepantasnya,” kata Sabungsari di tengah perkelahiannya yang sengit, “seorang sahabat tega memusuhi anak dari orang yang diakuinya sebagai belahan jiwa.”
“Menjadi aib bagi Ki Gede Telengan ketika anaknya bergabung ke dalam keprajuritan Mataram. Seandainya engkau tahu betapa besar kebencian ayahmu pada Danang Sutawijaya, tentu kau akan menyesali keputusanmu,” sergah Ki Astaman. “Aku pernah menyatakan janji pada Ki Gede Telengan untuk mengembalikan nama baiknya sewaktu aku mendengar ayahmu terbunuh di tangan Agung Sedayu.”
“Bagaimana mungkin aku dapat percaya ucapanmu? Sedangkan ayahku tidak pernah mengatakan seperti itu padaku,” sahut Sabungsari. “Ki Sanak, bagaimanapun, aku ingin menghormati dan menghargai semua teman ayahku. Karena itu, aku memintamu menyingkir dari arena pertempuran ini agar aku tidak mempunyai penyesalan andaikan yang Ki Sanak katakan itu semuanya benar.”
Ki Astaman tertawa, kemudian menyeringai sengit, katanya, “Beginilah yang sedang kau hadapi. Mungkin aku yang terbunuh atau mungkin juga engkau yang terbunuh, tetapi aku yakin ayahmu tidak pernah berharap pertemuan ini terjadi.”
Sabungsari tidak ingin lagi memanjangkan percakapan tajam pada lingkar perkelahiannya. Ki Astaman pun ternyata berpikir sama dengan lawannya. Maka, benturan kekuatan kembali terjadi. Tata gerak Ki Astaman seakan tidak terhalang oleh usia. Ia bertempur dengan sikap dan gaya yang mantap. Sabungsari menjadi semakin waspada karena gebrakan demi gebrakan lawannya benar-benar menusuk dan berbahaya.
Itu adalah pertempuran yang mengguncang. Sungguh, keadaan di Karang Dawa sangat berlainan jka dibandingkan dengan peperangan di Lemah Cengkar. Pada waktu itu, kehadiran pasukan Mataram yang dipimpin Untara banyak membantu pengawal Sangkal Putung ketika mengalahkan pengikut Ki Saba Lintang. Namun, sekali lagi, suasana Karang Dawa sangat jauh dari perkiraan para ahli siasat perang yang bergabung dengan Raden Atmandaru. Pangeran Purbaya, Glagah Putih serta Sabungsari ditambah gulungan rontal yang dikirim Agung Sedayu pada Pandan Wangi adalah jalan sempalan yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh penggagas makar.
Matahari beranjak pelan. Meski tampak begitu enggan bergulir tetapi matahari memenuhi kewajibannya untuk tetap bergeser ke barat. Demikian pula yang dilakukan Ki Demang Brumbung dalam usahanya menyamarkan pergerakan Glagah Putih. Tanpa banyak orang yang sadar, Glagah Putih semakin dekat dengan kedudukan Ki Sor Dondong. Ketajaman daya pikir Ki Demang Brumbung benar-benar berada dalam ujian. Ia harus tetap memegang teguh perintah Pangeran Purbaya yang tidak mengizinkannya terjun langsung dalam peperangan. Tetapi karena kewajiban lain, yaitu membantu Glagah Putih memukul mundur pasukan lawan, maka Ki Demang Brumbung mengembangkan sayapnya dengan gelar yang lebih mirip benteng melingkar, benteng yang melindungi dirinya dari terkaman lawan. Dan sepertinya pengawal Gondang Wates dapat menerima perintah itu karena penghubung mereka serba sedikit turut memberi pengertian tentang maksud Pangeran Purbaya. Dengan demikian, pengawal Gondang Wates dapat mengerti tujuan kehadiran Ki Demang Brumbung, maka mereka segera menutup jalan bagi lawan agar tidak dapat menyusup ke dalam lingkaran lalu menerjang Ki Demang Brumbung. Terlebih, mereka kemudian mengetahui bahwa Glagah Putih sedang berusaha mengurai kerumunan sambil terus bergerak ke arah Ki Sor Dondong.
Sambil mengeluarkan suara yang mirip dengan lolongan anjing, Glagah Putih menderas dengan kecepatan yang tidak tanggung-tanggung, melabrak Ki Sor Dondong dengan segenap semangat dan kekuatan.
Dalam sekejap kemudian, Ra Gawa berkelebat melompati rumpun semak sambil mengangkat tombaknya yang berujung bulan sabit. - Nir Wuk Tanpa Jalu
Bagi pengawal kademangan, dengkingan keras itu adalah perintah terakhir untuk mengakhiri pertempuran yang telah berlangsung sepanjang hari. Selesai atau tidak, mati atau hidup, Pangeran Purbaya menitahkan kalimat yang sangat jelas ; selesaikan sebelum senja datang!
Seketika, di bawah pimpinan Ki Demang Brumbung, pasukan kademangan segera membentuk gelar setengah lingkaran yang mirip Wulan Tumanggal.
Dalam waktu itu, Ki Sor Dondong berpaling, lalu menatap kelebat Glagah Putih dengan sikap seksama. Ki Sor Dondong kemudian dapat menduga bahwa lelaki muda itu akan datang untuk menyerangnya. Pikirnya, tidak ada jalan keluar yang dapat terlihat. Segala lorong yang dapat digunakan untuk menyelamatkan pasukannya telah tertutup siasat cerdas Pangeran Purbaya yang ditunjang masukan Agung Sedayu yang cukup membantu. Baiklah, demikian tekad Ki Sor Dondong, bahwa ia lebih dahulu menyerang Glagah Putih. Kudanya bergeser ke samping, lalu berderap cepat, meluncur sangat deras, menyambar Glagah Putih!
Glagah Putih berhenti sejenak. Ia tak mengira bahwa Ki Sor Dondong dapat mengetahui pergerakannya. Sambil memicingkan mata, Glagah Putih mengatur kedudukan, menantang Ki Sor Dondong.
Serangan Ki Sor Dondong pun datang sekencang angin puting beliung. Orang kepercayaan Raden Atmandaru ini memang mengagumkan. Kecerdasannya telah menawan nalar Ki Sekar Tawang yang menjadi penasehat utama Raden Atmandaru. Ketangkasannya dalam berperang nyaris tidak dapat diragukan, dan keadaan itu telah dibuktikannya dengan permainan sepasang tombak pendek yang dilakukannya dari punggung kuda. Tombak Ki Sor Dondong menggelepar penuh tenaga ketika menyambar Glagah Putih. Sepupu Agung Sedayu cepat menggeser langkah, walau begitu ungkapan tenaga wadag musuhnya benar-benar memberinya kejutan. “Mungkin sebanding dengan Kakang Swandaru,” tebak Glagah Putih dalam pikirannya.