Padepokan Witasem
sang maharani, cerita silat klasik jawa, cerita silat mataram, cerita silat kerajaan jawa, rakai panangkaran
Bab 2 Nir Wuk Tanpa Jalu

Nir Wuk Tanpa Jalu 10

Ra Gawa mengambil prakarsa untuk memanggil pelayan agar mayat-mayat dapat segera dikeluarkan dari bangunan yang aku tempati. Kami bertiga – aku, Gita Nirvati dan Anindita Rukmi – tidak menunggu lama. Beberapa orang kemudian datang lalu menjalankan pesan-pesan Ra Gawa.

Dalam kesempatan itu, Anindita Rukmi meminta Ra Gawa agar berkenan mengundang Wong Awulung. Sebelumnya, kepala pengawal rahasia itu mengungkap kehendaknya padaku, “Sang Hyang, sungguh tidak mungkin bagi kami membiarkan lingkungan Sang Hyang menjadi penuh noda. Darah dan bangkai-bangkai manusia berhati binatang mulai disingkirkan, jadi, saya pikir mengundang Rakryan Demung Wong Awulung akan menjadi langkah awal untuk menjawab pertanyaan yang tersimpan di dalam pikiran Sang Hyang.”

Mengagumkan! Susunan kata yang memperlihatkan kecerdasan dan ketajaman nalar Anindita Rukmi. Aku belum mengatakan isi pikiranku, tetapi perempuan cantik itu mendahuluiku. Atau? Yah, mungkin karena Anindita Rukmi sering mengalami peristiwa yang serupa atau mendapatkan pelatihan untuk kejadian-kejadian seperti ini, maka pikirannya berjalan lebih cepat dariku. Usai Anindita Rukmi mengungkap permintaan, aku tidak ingin menjawab tanpa landasan.

Aku merenung.

loading...

Setiap orang mendapatkan kesempatan untuk memperjuangkan tujuan. Baik untuk membalas dendam,  memenuhi kebutuhan serta keinginan. Bahkan bila seseorang mempunyai hasrat untuk sebuah kejahatan, maka dia tetap mempunyai kesempatan menjalankan niat. Hal yang sama juga berlaku bagi orang-orang yang berjalan di atas nilai kebaikan. Yang membedakan hanya batas tipis yang mengerikan. Barangkali, seperti itulah yang menjadi landasan berpikir orang-orang yang menyerang kami. Lantas, aku bertanya pada diriku sendiri, apakah Rakryan Wong Awulung dapat mengubah keadaan? Dia hadir atau tidak, itu tidak mengubah kenyataan bahwa memang ada penyerangan yang berakhir pembunuhan. Tetapi, kembali pada pertanyaanku sebelumnya, apakah Rakryan Wong Awulung dapat mengubah keadaan?

Aku mengatur napas pelan dan panjang. Aku hembuskan satu demi satu agar kesempatan dan keinginan untuk membalas dendam segera beranjak dari perasaan. Lalu, aku berpaling pada Anindita Rukmi. Aku berkata padanya, “Rembulan tidak dapat dicapai anak panah maupun lemparan lembing orang-orang yang kalah dengan dirinya. Kau mengerti maksudku?”

Anindita Rukmi memandangku tajam. Dia menggeleng kemudian menundukkan wajah.

“Jika kau pandang Wong Awulung cukup penting dan dibutuhkan dalam keadaan ini, sebagai pengawal, kau dapat mengundang beliau. Tetapi jangan pernah memaksa hati dan pikiranmu bahwa engkau memerlukan itu,” kataku dengan pandangan yang terlempar jauh menembus tabir langit.

Membosankan. Aku menunggu cukup lama sejak Anindita Rukmi mengutus pengawal mendatangi bangsal prajurit tempat Wong Awulung bekerja. Wong Awulung segera bekerja setibanya berada di lingkunganku. Sejurus waktu berlalu ketika aku memperhatikan Wong Awulung yang berada di depanku dengan berbagai kesibukannya sebagai penanggung jawab keamanan kotaraja. Aku perkirakan usia lelaki tua itu sedikit berada di atas ayahku.

Beberapa sudut halaman telah dijelajahi dan diperiksa oleh Wong Awulung. Aku melihatnya, kemudian, menghampirku. Lalu katanya, “Tidak banyak yang saya peroleh dari tempat ini, Sang Hyang. Sedikit petunjuk yang dapat dijadikan tanda bahwa mereka, para penyerang itu, berangkat dari satu suara yang sama. Hanya ini yang dapat Sang Hyang lihat.” Tangan Wong Awulung menjulur padaku. Sebuah besi tipis yang dibentuk serupa dengan bunga berkelopak lima. Dia menyambung ucapan, “Selain benda ini, yang lain adalah senjata yang bisa diperoleh dari banyak tempat atau pande besi. Tidak sesuatu yang khusus.”

Dapat dipesan kisah silat Penaklukan Panarukan. Proses pengerjaan 14 hari kerja. Rp 160 rb. Hubungi pemangku blog Witasem.

Aku bergeser tempat, mengayun langkah ke bagian samping bangunan, melintasi pekarangan belakang. Wong Awulung mengikutiku bersama Anindita Rukmi. Mereka berjalan bersebelahan di belakangku. Aku berhenti pada tepi kolam yang berlantai batu dan berbentuk bulat. Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat dinding batu yang menjadi batas pekarangan dengan dunia luar. Aku memandang dari ujung ke ujung, pikirku, dinding batu cukup tinggi dan sulit dilompati orang berkemampuan biasa. Tidak ada pintu belakang maupun dahan atau kayu menyilang yang dapat dijadikan pijakan untuk melompatinya.

Pada keadaan seperti itu, aku tidak mendengar suara selain hilir mudik udara yang masuk dan keluar dari pernapasan dua pengiringku. Perlahan, desir kaki terdengar olehku, menyusul kemudian suara Rakryan Wong Awulung. Dia berdiri di sampingku, kemudian membungkuk sambil mengamati permukaan tanah yang berada di sekitarnya. Sepasang alisnya yang  berwarna putih bertaut. Suasana pun menjadi sunyi.

“Mengapa serangan demi serangan datang bersusulan sejak aku datang di kotaraja?” tanyaku setengah bergumam pada mereka berdua.

“Saya belum dapat membuat kesimpulan, Sang Hyang,” jawan Anindita Rukmi sambil menekuk lutut lebih rendah.

Pandang mataku beralih pada Wong Awulung.

“Bila hanya dan dapat dianggap sebagai dugaan, saya akan menjelaskan isi pikiran pada Sang Hyang,” kata Wong Awulung.

“Silahkan, Paman,” perintahku pada Rakryan Wong Awulung.

“Mereka, maksud saya, orang-orang ini lebih berani menggunakan kekerasan di kotaraja demi sebuah tujuan,” kata Wong Awulung, “menyimpulkan itu, sebenarnya saya khawatir jika cenderung untuk menuduh ataupun berpikir buruk pada orang-orang yang sedang menjadi bahasan Paduka Rakai Panangkaran.”

“Aku tidak mengerti,” sahutku.

“Sang Hyang,” ucap Anindita Rukmi. “Yang dimaksud Rakryan Wong Awulung adalah mereka seolah sedang mencari perhatian. Dan saya kira itu ada benarnya karena menyerang Sang Hyang di Kalingan, tentu, tidak akan menarik perhatian orang-orang di kotaraja.”

Aku menghadapkan tubuh secara penuh padanya.

.... sehingga setiap kebutuhan untuk peralihan jalur ilmu, Glagah Putih membutuhkan waktu sedikit lama sebelum benar-benar menghentak kemampuan terbaik.  (Kitab Kiai Gringsing) 

“Sang Hyang, keberadaan Anda di kotaraja seolah-olah memberi semangat pada mereka untuk melakukan segala yang telah direncanakan. Jika kita perhatikan, serangan pada Sang Hyang sudah dimulai sebelum Sang Hyang tiba di kotaraja. Kegagalan mereka, pada waktu itu, justru memunculkan dendam. Atau mungkin melahirkan penasaran yang semakin membesar dan semakin panas dalam perbincangan-perbincangan pada kalangan mereka. Jelas dan pasti, perbincangan semacam itu pasti menjadi sebab kemarahan mereka,” kata Anindita Rukmi.

Aku tidak dapat mengucapkan kata-kata ketika sebuah kekuatan yang tak terjangkau oleh penglihatan maupun pendengaran meraihku. Kekuatan yang terasa seperti tusukan pedang yang menusuk bagian punggungku. Aku sesak napas. Dadaku berdentang cukup hebat dan aku menggigil! Aku merasakan panas sedang menjalar ke seluruh bagian tubuh. Sesaat kemudian, tiba-tiba, semuanya sirna!

Wedaran Terkait

Nir Wuk Tanpa Jalu 9

kibanjarasman

Nir Wuk Tanpa Jalu 8

kibanjarasman

Nir Wuk Tanpa Jalu 7

kibanjarasman

Nir Wuk Tanpa Jalu 6

kibanjarasman

Nir Wuk Tanpa Jalu 5

kibanjarasman

Nir Wuk Tanpa Jalu 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.