Padepokan Witasem
arya penangsang, jipang, penaklukan panarukan, panderan benawa
Bab 1 - Serat Lelayu

Serat Lelayu 22

Tak ada orang lain sejauh mata memandang di atas jalanan yang dilalui oleh Arya Penangsang. Dalam waktu itu, pasangan tua berjalan dengan langkah terburu-buru. Meski menyempatkan diri untuk membuka percakapan dengan mereka, Arya Penangsang tidak kehilangan perhatian atas kehadiran Lembu Jati di sekitarnya. “Dia cukup lama mengikutiku,” desis Arya Penangsang dalam hati. Merunut balik  perjalanan sejak keluar dari tanah Blambangan, Arya Penangsang menduga bahwa orang yang membuntutinya terlibat dalam penyergapan yang akhirnya dapat diatasi olehnya dan kerabatnya, Gagak Panji serta  Ki Tumenggung Prabasena.

Namun demikian, Arya Penangsang lebih memilih melanjutkan perjalanannya ke kotaraja sambil tetap memandang lekat punggung dua orang tua yang semakin jauh. Mendadak dua orang tersebut bergerak ke pada arah yang berlawanan sewaktu mereka hampir mencapai ujung jalan, lalu lenyap dari pandangan Arya Penangsang. Dengan dahi berkerut, Arya Penangsang mengingat baik-baik dua orang yang dijumpainya sebelum itu. “Mereka sama sekali tidak memperlihatkan gerak-gerik dan sikap tubuh yang aneh. Mereka berjalan sewajarnya orang-orang lanjut usia melangkahkan kaki,” gumam Adipati Jipang dalam hati. Sadarlah Arya Penangsang bahwa dia terkelabui melalui pandangan mata. “Pada awalnya dan sejak mula-mula, aku tidak ingin berprasangka lebih pada tiap orang yang aku temui,” desisnya pada diri sendiri. Raut wajah Arya Penangsang berubah lalu tersenyum dalam hati. Dia sadar sepenuh hati bahwa pengalamannya selama ini ternyata belum cukup memadai untuk mengimbangi keinginannya menjaga pikiran.

Ketika pendengarannya tidak lagi dapat menjangkau desir kaki orang yang membayanginya, Arya Penangsang memasang sikap waspada. “Perubahan terjadi dalam waktu yang nyaris bersamaan,” pikirnya. Menilik sikap pasangan tua dan kecepatan mereka bergerak serta betapa ringan langkah orang yang membuntutinya, Arya Penangsang sedikit terpengaruh. Apabila harus bertarung melawan tiga orang sekaligus, hanya satu sebab yang menjadi ganjalan bagi Arya Penangsang. Dapatkah dia datang tepat waktu di kotaraja? Agak geram, dia berdesis, “Ini bukan perkelahian demi sesuatu yang sangat penting. Walau sebenarnya tujuan mereka adalah menghambatku atau mungkin membunuhku. Sekali lagi, tidaklah penting nyawa yang dikandung badan ini harus melayang!”

Suasana hati Arya Penangsang menjadi tegang. Dia memutuskan untuk  mempercepat perjalanan. Hentak kaki  kuda menerbangkan debu-debu yang segera terbang tinggi. Pikirnya, dia harus mencapai ujung jalan terlebih dulu. Dan seandainya terjadi perkelahian, maka bulak pendek yang masih basah tersiram hujan dapat menjadii gelanggang yang dipilihnya. Demikianlah dalam waktu singkat, kuda berwarna hitam itu telah keluar dari lorong yang mengitari hutan keciil. Sedikit mendekatkan kepala pada leher kuda, Arya Penangsang bersikap seperti orang yang sedang dikejar sesuatu. Adipat Jipang tersebut tidak mengurangi laju kuda hingga mencapai pertengahan jalan. Di depan tampak sebuah gardu bambu dengan  pohon kelapa berderet rapi di belakangnya. “Sepertinya aku akan memasuki sebuah daerah. Apakah itu adalah sebuah dusun atau induk sebuah kademangan?”  Arya Penangsang bertanya dalam hati. Namun dia sudah menguatkan tekad akan mengubah caranya bertempur. Kali ini, Arya Penangsang tidak ingin ada orang yang menghalangi atau menghambat perjalanannya. Andaikata Ki Patih Matahun atau Ki Rangga Gagak Panji berada di sampingnya, tentu mereka dapat merasakan getaran kuat yang terpancar dari perasaan Arya Penangsang. Getaran yang hanya dimiliki oleh pemangsa yang  buas! Getaran yang kemudian berubah menjadi saluran bagi tenaga sakti yang mulai memancar dari ilmu Arya Penangsang.

loading...

“Binatang yang berbahaya!” seru seorang lelaki dari sisi kiri Arya Penangsang. Dia mengejar Arya Penangsang dengan kecepatan seekor harimau yang memburu mangsa.

Arya Penangsang sudah tentu tidak ingin membiarkan dirinya menjadi sasaran empuk dengan tetap berada di atas punggung kuda. Namun, ketika dirinya melayang di udara, seorang lagi muncul dari sebelah kanan, dari balik gerumbul semak-semak. Sambil melengking tinggi, seorang perempuan melesat dengan kecepatan tinggi, menukik dengan sepasang tombak mengarah pada batok kepala Adipati Jipang!

Buto terong!” geram Arya Penangsang ketika mengenali wajah Dua serangan bahaya yang mengancam nyawa datang bersamaan.

Walu dua-duanya adalah serangan yang terlihat sederhana dan tampaknya dapat mudah dihindari, tetapi justru ada bahaya besar di kesederhanaan itu. Sepasang serangan yang datang dari dua arah berlawanan lebih dulu melontarkan angina tenaga yang mampu membelah batang kayu. Untuk mengelak dari dua serangan itu, Arya Penangsang tidak mempunyai waktu yang cukup.

Membenturkan tenaga tampaknya menjadi satu-satunya pilihan yang ada. Bila wergul itu memaksa diri menghindari Ki Ajar Wit Sunsang, maka kepalanya akan menancap salah satu tombak Nyi Poh Gemrenggeng, demikian yang terpikir oleh Lembu Jati yang sedang memperhatikan perkelahian itu dari jarak yang cukup dekat. Laki-laki ini kemudian tersenyum membayangkan kemenangan yang belum nyata terjadi. Namun keyakinannya pada ketinggian ilmu serta kemapanan orang-orang sewaannya menjadikan Lembu Jati sangat percaya diri. Ditambah kesanggupannya akan datang membantu bila Arya Penangang ternyata memberi perlawanan yang sulit, maka kelebihan jumlah yang dimilikinya pun membuainya, menerbangkannya begitu tinggi.

“Mampuslah Arya Penangsang. Menyusul ayahnya, dan kemudian Jipang dapat direbut lebih mudah oleh Kyai Rontek dari rubah tua, Matahun,” desis Lembu Jati di alam pikirannya.

Wedaran Terkait

Serat Lelayu 9

kibanjarasman

Serat Lelayu 8

kibanjarasman

Serat Lelayu 7

kibanjarasman

Serat Lelayu 6

kibanjarasman

Serat Lelayu 5

kibanjarasman

Serat Lelayu 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.