Kinasih kemudian menerima pesan dan keterangan lebih banyak lagi tentang segala yang terkait dengan kewajibannya. Kegelapan yang membayang di dalam benaknya pun sirna perlahan. Demikianlah Kinasih tahu bahwa sekalipun dia adalah pengalih perhatian, tapi juga sekaligus ujung lancip dari anak panah yang sedang dilontarkan oleh Ki Patih Mandaraka. Selanjutnya, Nyi Ageng Banyak Patra mendorongnya untuk duduk mengheningkan cipta sambil menunggu tanda yang akan muncul dari Kepatihan kemudian.
Malam terasa lambat beringsut ketika Agung Sedayu menebar pandangan sepanjang dinding luar Kepatihan. Awan berayun-ayun di bawah kaki rembulan yang enggan bersinar terang. Daun-daun pepohonan yang berbaris rapi di sepanjang jalan tampak melambai karena hembusan angin yang mendesah lirih. Dalam waktu itu, Agung Sedayu telah menanggalkan pangkat yang melekat pada dirinya. Agung Sedayu menyamar sebagai orang yang sama sekali tidak dikenal. Ia bukan lagi seorang senapati atau prajurit Mataram. Bukan pula berperan sebagai penjual nasi keliling atau wedang sereh. Ia adalah seseorang yang akan menemui Raden Mas Rangsang dalam keadaan bukan siapa-siapa.
Agung Sedayu harus dapat menghindarkan diri dari pengamatan orang dan juga mengurangi sesedikit mungkin berpapasan dengan orang. Ia pun mengawali penyamaran dengan bergerak ke samping kiri Kepatihan, lalu menyisir dinding halaman dan berjalan cukup rapat di antara rimbun tanaman yang tumbuh di sepanjang tepi jalanan. Selanjutnya ketika tiba di batas tanah lapang yang memisahkan Kepatihan dengan Kraton, Agung Sedayu berdiri dengan tubuh merapat pada batang pohon yang berada di sisi barat. Kehadiran Agung Sedayu tidak disadari oleh orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Kain yang dipakainya benar-benar menjadikan Agung Sedayu menjadi satu dengan batang pohon yang disandarinya. Melayangkan pandangan untuk mengamati keadaan yang mengitari dua tempat penting tersebut, ia dapat melihat para peronda yang berkeliling dengan oncor pada bagian depan dan belakang barisan. Di samping itu, murid utama Perguruan orang Bercambuk juga melihat beberapa orang bergerak senyap. Mereka adalah prajurit yang ditugaskan Raden Mas Rangsang secara khusus untuk menyapu bagian yang tidak terjangkau peronda.
“Pangeran Mas Rangsang telah membangun dinding dan gardu penjagaan yang berlapis. Ini adalah pertahanan yang sangat kuat,” bisik Agung Sedayu dalam hati ketika mengingat saat-saat Ki Patih menjelaskan pengaturan Raden Mas Rangsang. Sejenak kemudian, Agung Sedayu merasakan ada perbedaan dengan keadaan satu atau dua tahun sebelumnya. Kotaraja meski masih terkesan ramai namun seperti ada sesuatu yang mencekam hati kebanyakan orang. Menurut Agung Sedayu, seharusnya ada keceriaan pada malam itu karena mereka sedang bersiap-siap menjelang musim berburu bagi raja Mataram. Sekali lagi, ada semacam kegelisahan yang tidak tampak di permukaan.
Dari balik kegelapan, dari arah timur, muncul serombongan orang berkuda. Mereka tidak melaju kencang tapi rupanya kehadiran para penunggang kuda sedikit mampu menggeser keadaan. Dalam pandangan yang serba terbatas, Agung Sedayu sedang mengira-ngira perkembangan yang sedang terjadi danjuga selanjutnya. “Orang-orang berkuda itu tidak berada di dalam penjelasan Ki Patih, walau mungkin Pangeran Mas Rangsang tengah membuat langkah baru? Tapi, mengapa kemunculan mereka dari arah timur jika pasukan berkuda berada di Ganjur?” Agung Sedayu bergeming. Ia bertahan pada tempatnya meski hal itu menjadikannya sulit mengikuti pergerakan para penunggang kuda.
“Benar-benar janggal!” desis Agung Sedayu ketika rombongan orang berkuda itu mengelilingi tanah lapang lalu kembali ke arah kedatangan kemudian menghilang. Dan ternyata tidak hanya Agung Sedayu yang menatap kepergian rombongan itu dengan sorot mata heran. Dua pejalan kaki yang berdiri di dekatnya pun melanjutkan perjalanan sambil saling bertanya mengenai kejadian itu.
Sambil mengangkat tangan, seseorang berkata, “Ini aneh. Mereka berkuda, berkeliling, lalu pergi begitu saja. Aku kira mereka adalah prajurit kraton yang mendapatkan giliran jaga, eh ternyata bukan. Ada apa sebenarnya?”
“Benar, ini tidak seperti biasa yang kerap dilakukan para prajurit. Mereka keluar dari gerbang istana, lalu berdiri berhadap-hadapan, kemudian berganti penjagaan. Lagipula, rombongan tadi tidak membawa panji atau bendera yang menandakan asal mereka. Hey, lihatlah…’” kata temannya, “apakah kau tidak memperhatikan para peronda sedikit lebih rapat jarak kelilingnya?”
Agung Sedayu mengikuti gerak dan sikap dua pejalan kaki itu, katanya dalam hati, “Mereka mungkin bertempat tinggal di sekitar sini hingga tahu kebiasaan para prajurit. Dan aku pun setuju dengan yang mereka bincangkan sambil lewat.”
Malam berangsur semakin kelam ketika seseorang berjalan sambil menyentuh tubuh Agung Sedayu dengan sebatang tongkat.
“Kinasih,” kata Agung Sedayu.
“Saya, Ki Rangga,” sahut Kinasih. Selintas angan muncul dalam pikiran Kinasih, bahwa ia merasa berat bila berpaling dari Agung Sedayu. Waktu yang didapatnya semasa di Pajang hingga mereka tiba di kotaraja telah mengundang satu rasa di dalam hati gadis itu. Namun, dia harus memutus angan itu ketika suara Agung Sedayu membetotnya sangat kuat.
Jejak di Balik Kabut – S.H.Mintardja
“Aku tidak ingin bertanya, apakah kamu siap? Tapi aku ingin berkata kita tidak dapat menolak kewajiban ini,” ucap Agung Sedayu, “apabila kita gagal menyelesaikannya, kesempatan ini tidak akan berulang lagi dalam waktu dekat. Garis tangan mungkin tidak lagi melambai dari arah yang sama. Bila dikatakan pada kita di kemudian hari agar tidak berhenti mencoba, sesungguhnya waktu selalu menyimpan sesuatu yang berbeda dengan saat ini.”
“Saya mengerti, Ki Rangga,” kata Kinasih.
Agung Sedayu melontarkan mata ke langit yang berawan tipis. “Waktu semakin dekat. Bertahanlah dengan segala daya. Semoga Yang Maha Sempurna melancarkan segalanya untukmu dan Mataram,” ucap Agung Sedayu saat pandangannya bertatap langsung dengan Kinasih. Walau ucapannya terdengar tegas, tapi Agung Sedayu merasakan ada sesuatu yang menggetarkan hati ketika mengatakan itu pada Kinasih. Meski demikian, sambil berusaha meredam perasaan, Agung Sedayu berkata lagi, “Marilah, silahkan bergerak.” Demikian kalimat ucap Agung Sedayu ketika menurutnya keadaan sudah dapat memberi dukungan pada Kinasih.