Padepokan Witasem
Api di Bukit Menoreh, Agung Sedayu, Kiai Gringsing, cerita silat
Bab 4 Kiai Plered

Kiai Plered 2

“Tidak mungkin bagiku untuk membatalkan tujuan. Begitu pun menunda serangan karena keterlambatan Kiai. Tetapi tidak ada yang terlambat. Lagipula kita tidak sedang menunggu bala bantuan datang.”

“Kami mendengarkan, Panembahan.”

“Mangesthi, setelah engkau melihat yang terlukis di atas bentangan kain itu, apa yang ada dalam pikiranmu?”

Mangesthi berpaling pada ayahnya untuk menunggu izin menjawab pertanyaan Raden Atmandaru. Di bawah tempaan ayahnya, Mangesthi tumbuh sebagai gadis yang mengerti sedikit tentang gelar perang maupun sejumlah hal yang terkait dengan itu. Ia berkembang dengan pergaulan erat dengan orang-orang berilmu tinggi. Maka tak heran apabila Panembahan Tanpa Bayangan memintanya untuk memberikan pandangan.

loading...

Ki Sekar Tawang mengangguk setuju, lantas Mangesthi berkata, “Tidak ada jalan bagi Sangkal Putung untuk keluar dari tekanan yang akan dilepaskan oleh Raden.”

“Itu benar sebelum mereka mengubah keadaan dengan melawan melalui rancang pertahanan yang kokoh.”

“Tidak mungkin orang-orang Sangkal Putung melakukan itu! Bukankah Swandaru tidak berada di tengah-tengah mereka?” sergah tanya Ki Sekar Tawang.

“Mungkin telingaku salah mendengarnya.”

Ki Sekar Tawang bertukar pandang dengan anaknya.

“Aku menerima laporan bahwa orang-orang Sangkal Putung banyak menyebutkan nama Agung Sedayu.”

Terkejutlah ayah dan anak ketika Agung Sedayu tiba-tiba mendesak masuk ke dalam telinga mereka.

“Ia tidak ada di sini.” Ki Sekar Tawang mencoba mengingat pertemuan-pertemuan yang dilakukannya di kotaraja. Ia tidak ingin melewatkan keterangan yang banyak didapatnya selagi di sana.

“Agung Sedayu berada di sini,” Raden Atmandaru menegaskan, “setelah Ki Garu Wesi membakar Tanah Perdikan, Agung Sedayu mendatangi Jati Anom.”

“Dan sekarang ia bersama orang-orang Sangkal Putung?”

Raden Atmandaru mengangguk dengan jawaban pendek, “Ya, Mengesthi.”

“Mereka adalah petarung tangguh,” kata Ki Sekar Tawang, “maksud saya, setiap pengawal Sangkal Putung mempunyai kesamaan dengan prajurit Mataram. Meski perbedaan itu ada, tetapi sangat tipis untuk dibicarakan.”

“Benar,” kata Raden Atmandaru lalu meletakkan Kiai Plered di atas pangkuannya. “Apakah kita dapat menduduki Mataram tanpa perlu ada darah yang tumpah?”

Ki Sekar Tawang bergeser setapak dari tempat duduknya, kemudian katanya, “Mungkin akan ada orang yang mengatakan bahwa kita adalah sekumpulan pengecut. Bisa jadi akan muncul orang-orang yang berteriak bahwa sesungguhnya kita tidak mampu berkelahi. Kelak, orang-orang akan berkata kita adalah orang yang lemah berjuang.”

Raden Atmandaru tersenyum padanya, lantas menjalin kata, “Untuk menduduki Mataram, aku pikir kita tak perlu mengeluarkan tenaga begitu banyak. Ramai orang menyatakan bahwa pemegang Kiai Plered adalah orang yang telah dipastikan akan menjadi raja. Meski aku tidak sepenuhnya percaya pada kepercayaan semacam itu, tetapi kita dapat melihat sisi baiknya.”

Ruang itu menjadi sunyi. Satu, dua, tiga dan mungkin sampai dua puluh tarikan napas hingga kemudian suara Raden Atmandaru memecah keheningan, ”Kita hampir tiba di tengah malam. Sebaiknya Ki Sekar Tawang dan Mangesthi dapat menggunakan sisa waktu untuk mengendurkan tulang punggung.” Demikian ucapan Panembahan Tanpa Bayangan sambil beranjak bangun setelah mengikat Kiai Plered pada punggungnya.

Nada titir lamat terdengar dari pedukuhan yang terdekat dengan perkemahan mereka. Raden Atmandaru melangkah keluar untuk memeriksa persiapan pengikutnya. Ia memandang bintang-bintang sambil bergumam pada pengawalnya, “Bagaimanapun, pertempuran ini akan menjadi awal kejayaan Mataram. Sebenarnya Mas Jolang tidak mempunyai kelayakan untuk menjadi penguasa. Ia tak lebih dari boneka mainan Ki Juru Martani. Mataram harus diselamatkan.”

Raden Atmandaru berhenti lalu berjongkok sambil memerhatikan ranting-ranting patah yang berserakan di bawah kakinya. Seperti inilah Mataram pada saat ini, pikirnya. Ia sadar bahwa keputusannya akan membawa keuntungan lebih baginya. Orang-orang dapat saja beralih padanya ketika melihat Kiai Plered telah memimpinnya untuk menjadi penguasa baru Mataram.

“Dasar bodoh!” ia memaki dalam hati pada orang-orang yang dianggapnya tak bernalar dalam kaitannya dengan wahyu keprabon. “Aku telah mencoba peruntungan dan itu menunjukkan hasil sampai sejauh ini. Bersama Kiai Plered, aku tengah berjudi. Di Sangkal Putung, Agung Sedayu adalah batu cadas yang harus dihancurkan.”

Wedaran Terkait

Kiai Plered – 83 Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 9 – Pedukuhan Janti

kibanjarasman

Kiai Plered 88 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 87 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 86 – Randulanang

kibanjarasman

Kiai Plered 85 – Randulanang

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.