Ki Danupati bergumam lantas mengangguk-angguk.
“Serangan ke Blambangan tidak sebatas pada perluasan wilayah maupun pengaruh, tetapi ada yang tersembunyi di balik itu,” kata orang asing itu.
“Engkau sudah berbicara cukup jauh, Ki Sanak,” desis Ki Danupati.
“Ah, maafkan saya,” sahut orang asing yang sudah banyak garis-garis pada wajahnya. Namun sulit untuk memperkirakan usianya karena sinar wajahnya cukup segar dan tubuhnya pun tidak terlihat renta. “Orang menyebut saya sebagai Kiai Rontek.”
Ki Danupati memandangnya dengan mata terbelalak. Apakah benar orang yang bicara dengannya adalah orang yang dikabarkan pernah berusaha menculik Pangeran Benawa? Ki Danupati bertanya pada dirinya sendiri. “Namun wajar jika Kiai Rontek muncul di tempat ini. Keputusan yang cerdik. Meleburkan diri ke dalam pasukan Demak lalu turut berangkat menuju Blambangan adalah siasat yang tepat untuk menghilangkan jejak dari kejaran orang-orang Pajang. Apakah aku harus percaya? Apakah orang ini memang pantas dipercaya?” Kebimbangan muncul dalam hati Ki Danupati.
Tiba-tiba Ki Danupati bergerak menyerang Kiai Rontek!
Sambil meloncat mundur seperti seekor kijang. Kiai Rontek membalas serangan tanpa sungkan-sungkan. Ia menyilangkan lengan ke bawah, memukul lawan dengan kekuatan yang lumayan. Angin tenaga berhembus. Ki Danupati merunduk, lalu menyapu sepasang kaki Kiai Rontek dengan lambaran tenaga yang sanggup membelah batang pohon!
Kiai Rontek membiarkan kaki lawan beradu tenaga dengan sebelah kakinya. Ia tidak megelak atau melepaskan serangan balik yang dapat menunda benturan.
Terdengar bunyi benda keras beradu!
Ki Danupati tersentak kaget. Ia tidak dapat menarik kakinya yang tiba-tiba menempel erat pada kaki lawannya.
Kiai Rontek merunduk sambil membuka kain penutup lengannya, lalu cepat menutupnya kembali.
Ki Danupati ternganga. Ia melihat gambar yang telah menyatu dengan kulit Kiai Rontek. Menurut berita yang tersebar lisan di kalangan terbatas, gambar yang hanya dimiliki oleh Pangeran Parikesit, Pangeran Handayaningrat dan segelintir keturunan Prabu Brawijaya. “Tapi aku tidak percaya bahwa Ki Sanak masih anak turun penguasa Majapahit,” kata Ki Danupati sambil menarik kakinya setelah Kiai Rontek mengurai ilmu yang aneh itu.
“Saya tidak dapat memaksa Ki Danupati untuk percaya. Lagipula saya pun bukan keturunan raja Majapahit, tetapi tanda inilah yang sedang diburu oleh Arya Trenggana agar wilayah-wilayah bawahan Majapahit tunduk tanpa bertanya.”
“Dari mana Kiai mendapatkan gambar itu?”
“Tentu Ki Danupati mengerti tanda seperti ini pun beredar pada sekelompok orang tertentu.”
“Pengkhianat!” desis Ki Danupati. Meski ia mengumpat Kiai Rontek, Ki Danupati dapat memberi perhatian pada perkembangan mereka selanjutnya. “Sudah pasti Ki Sanak mengerti bahwa aku seorang diri tidak akan mampu menggerakkan pasukan yang cukup besar ini. Namun, aku dapat menduga bahwa Ki Sanak mungkin akan mendorongku bergerak sendirian.”
Kiai Rontek tampak begitu tenang menghadapi Ki Danupati yang meledak-ledak. “Ki Danupati terlalu cerdas untuk meraba arah pembicaraan ini. Baiklah, saya tidak akan banyak berkata untuk mempengaruhi Anda membuat keputusan. Keadaan sekarang ini sudah cukup untuk diamati dan dinilai. Saya akan bergerak mengimbangi Ki Danupati.”
“Aku pikirkan itu,” sahut Ki Danupati lalu beranjak menjauhi Kiai Rontek. Berjalan seorang diri menghampiri perkemahan yang dihuni oleh pasukannya, Ki Danupati berulang-ulang menarik napas panjang. Ia akan membicarakan pendapat yang sejalan dengan yang berputar-putar di dalam benaknya. Memasuki batas perkemahan, ia mengambil tempat yang berada di belakang kemah. Sendirian untuk merenungkan siasat yang mungkin akan diterapkannya.
Matahari berangsur tenggelam di balik punggung pegunungan wilayah barat. Ki Danupati memanggil beberapa orang yang menjadi pemimpin kelompoknya. Mereka berkumpul kemudian, duduk melingkari api yang tidak bernyala besar.
Kata Ki Danupati di hadapan orang-orang kepercayaanya, “Kita akan mengajak sejumlah padepokan atau perkumpulan olah kanuragan yang tidak sejalan dengan Blambangan.”
“Atas kepentingan apa, Ki Rangga?”
“Sebagai sekutu dan sebagai dinding terdepan bila kita menyerang Blambangan dalam satu atau dua pekan mendatang,” jawab Ki Danupati.
Seorang lurah yang bertubuh tegap mengacungkan tangan, kemudian katanya, “Itu jelas berlainan dengan kehendak panglima perang.”
“Kita tidak dapat duduk dan diam meski untuk sementara waktu di tempat ini, Surendra,” ucap Ki Danupati menanggapi, “kita hadir di sini untuk sebuah tujuan, menaklukkan Blambangan. Atau mungkin engkau dapat melihat tujuan atau kepentingan lain dari panglima perang kita? Apakah ia telah menyimpang dari rencana dan tujuan awal Raden Trenggana?”
Surendra tidak memberi tanggapan. Barangkali ia memang tidak melihat penyimpangan yang dimaksud oleh Ki Danupati, namun sepertinya diam memang menjadi pilihan terbaik baginya.
Setelah menunggu beberapa lama untuk memberi kesempatan pada Surendra, Ki Danupati lantas mengarahkan pembicaraan pada langkah-langkah yang akan ditempuh. “Jalan dan tanah lapang di depan kita mungkin akan berubah menjadi tempat yang mengerikan. Itu tidak hanya untuk kita saja, tetapi semua orang yang akan menghadang kita. Namun ini tidak berarti aku akan mengajak kalian melanggar semua peraturan atau melibas paugeran. Yang kita lakukan adalah pencapaian akhir pada tujuan Raden Trenggana. Bagi mereka yang memilih untuk menunggu perkembangan pertempuran di laut, mereka dapat melakukan itu dan tidak dapat disalahkan bila hanya berpangku tangan. Bahkan, bisa jadi, mereka akan mengambil hak untuk pengakuan sebagai pemenang atas semua yang kita kerjakan. Tetapi kalian tidak perlu gusar apabila mereka menyalahkan kita karena keadaan buruk yang menimpa angkatan darat Demak. Mereka dapat lakukan segala sesuatu selama mereka kehendaki.”