Padepokan Witasem
arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak
Bab 10 Lamun Parastra Ing Pungkasan

Lamun Parastra Ing Pungkasan 22

“Ia tidak lagi seperti bayi merah yang belajar merangkak. Ia bukan lagi anak muda yang gelisah dengan masa depan. Gagak Panji telah menjadi lelaki sejati,” desis Raden Trenggana memuji keponakannya.

“Jika beliau mau, aku tidak akan mampu menarik napas lagi di tempat ini,” kata Gagak Panji dalam hati.

Mereka telah saling merasakan yang disebut kesakitan dan kepedihan. Tega larane, ora tega patine, demikian yang sering diucapkan oleh guru-guru mereka berdua.

Raden Trenggana dapat mengetahui bahwa ada kekuatan jiwani yang sedang merambat dengan cengkeraman yang sangat kuat pada permukaan hatinya.

loading...

Sementara jantung Gagak Panji terasa bagai disayat perlahan oleh sebatang sembilu. Bagaimana bila kemudian pamannya terbunuh oleh tangannya? Gagak Pani meredakan kekuatan Bumi Handaru yang sedang bergolak hebat pada setiap jalur darah dan urat sarafnya.

Mereka telah tiba di puncak ilmu namun mereka juga sama-sama merasa harus segera mengendapkan semua pergumulan batin yang mengaduk perasaan.

“Aku tidak berharap agar engkau dapat mengimbangiku atau mengalahkan aku, pamanmu. Aku juga tidak meletakkan pujian bahwa engkau telah mencapai ketinggian langit dengan ilmumu. Dan juga aku sama sekali tidak ingin mati di tanganmu, Gagak Panji,” kata Raden Trenggana dengan suara begitu nyaring.

Namun itu bukan suara biasa yang sunyi dari lambaran tenaga inti!

Dada Gagak Panji bergetar. Ini bukan ilmu Gelap Sayuta atau sejenisnya. Ini sesuatu yang sangat lain dari banyak ilmu yang ada, pikir Gagak Panji. Namun ia tidak merasa harus berbuat sesuatu untuk melawan atau menyerang balik. “Bagaimanapun, beliau adalah pamanku!” Gagak Panji bersikap hati-hati dengan mengingat pesan Pangeran Tawang Balun. Oleh karena itu, ia membalasnya dengan lantang namun tidak disertai kekuatan ilmu, “Saya hanya melakukan kewajiban yang saya pikir memang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya.”

“Melawan pamanmu lalu membunuhnya pada pertempuran?”

“Tidak seperti itu, Paman. Kewajiban saya hanyalah menghadang laju pergerakan Paman.”

“Bagaimana bila aku akhirnya terbunuh olehmu?”

Gagak Panji tidak menjawab. Ia sadar bahwa ia bukan orang yang mudah menurunkan tangan kejam. Namun, memang lebih baik diam sehingga tidak ada sentuhan tajam yang dapat melukai hati Raden Trenggana. Beliau adalah raja sekaligus orang tua, bagaimana mungkin Gagak Panji dapat bergembira dengan kematian yang disebabkan olehnya? begitu hatinya berbisik. Namun ia menguatkan hati untuk mengatakan sesuatu yang pernah dibicarakannya dengan Ki Tumenggung Prabasena.

“Kematian adalah sesuatu yang menyenangkan bagi sebagian orang. Beberapa memandang kematian berawal dari lorong-lorong yang penuh sinar mata yang meratap dan suara merintih, lalu diakhiri dengan lengkingan yang menyayat. Berapa banyak jiwa yang bergetar mendengar kisah itu? Paman adalah orang yang mempunyai keinginan tinggi dan sangat tinggi bagi ribuan orang, namun apakah keinginan itu juga disertai keteguhan jiwani yang tak mudah gaduh dengan pernyataan-pernyataan suci? Saya tidak pernah berpikir bahwa kematian Raden Trenggana sebagai matahari pagi yang disambut bahagia oleh makhluk hidup di padang rumput. Saya juga tidak mempunyai keyakinan buruk tentang kematian Paman yang mungkin akan menjadi penyubur dan pencerah hidup. Itu sesuatu yang berbeda, Paman.”

“Engkau lebih pantas menjadi seorang pemandu jiwa,” sahut Raden Trenggana, “aku tidak akan memintamu berusaha memahami dengan membayangkan dirimu berada di dalam keadaanku. Itu permisalan yang bodoh. Tentu engkau tahu setiap alasan di balik pergerakan prajurit ketika seorang panglima berencana melintasi sebuah perbatasan. Gagak Panji, ini adalah tanggung jawab yang mungkin engkau mengerti dari ujung langit yang berbeda.”

“Apakah kita tidak dapat saling melihat isi hati?”

“Aku tidak mengerti bagaimana seorang senapati bisa mempunyai tujuan akhir yang berbeda dengan orang yang menjadi rajanya? Aku tidak ingin berpikir atau menduga terlalu luas meski setitik terang sudah nyata terlihat.”

Walau tidak ada lagi pergolakan ilmu yang hebat, tetapi suasana di atas permukaan laut masih mencekam. Orang-orang hanyut oleh bahasa tubuh dua orang panglima perang yang sedang berdiri berhadapan, mematung dengan tatapan mata yang sanggup mengoyak jantung tanpa menyentuhnya.

Dalam waktu itu, dua pemegang kendali pasukan yang berlawanan – baik Ki Wadas Palungan maupun Mpu Badandan – memutuskan untuk sama-sama menunggu. Kelihatannya seperti itu karena nyaris tidak ada pergerakan maju dari pasukan masing-masing.  Belum terlihat pengibaran panji atau terdengar aba-aba untuk menyerang. Dua pasukan besar masih sibuk membenahi keadaan masing-masing sepanjang waktu percakapan antara Gagak Panji dengan Raden Trenggana.

“Paman,” kata Gagak Panji, “Demak akan mendapatkan sesuatu yang sia-sia bila Paman berkeras melanjutkan pertempuran ini. Tiga atau empat hari telah berlalu. Sepekan atau lebih telah kita lewati bersama dalam ketegangan untuk menunggu terjadinya saat-saat seperti ini. Paman, mohon melihat lebih jauh, apakah Blambangan terlihat lelah dan menunjukkan wajah-wajah menyerah?”

Wedaran Terkait

Lamun Parastra Ing Pungkasan 9

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 8

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 7

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 6

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 5

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.