Padepokan Witasem
arya penangsang, pangeran benawa, silat pajang, demak
Bab 10 Lamun Parastra Ing Pungkasan

Lamun Parastra ing Pungkasan 32

Kiai Rontek mengamati pertemuan itu dari tempat yang sulit dijangkau oleh pendengaran orang berkemampuan tinggi. Ia sedang menimbang gagasan untuk turut serta dalam pertemuan terbatas itu. Namun segera ditepisnya keinginan untuk bergabung dalam pertemuan. Dari ujung bola matanya, Kiai Rontek melihat seseorang yang mempunyai wibawa besar berpakaian prajurit dengan pangkat tumenggung sedang mendekati perkemahan Ki Danupati. Penyamaran yang bagus, batin Kiai Rontek dalam hatinya. Sejenak Kiai Rontek bergumam, lalu berdesis pada dirinya sendiri, “Keadaan ini mengingatkanku pada Luru Sumpil. Tidak ada orang yang mengatakan padaku kedatangan Arya Dipangga. Apakah ia datang dengan kehendak sendiri atau atas permintaan Ki Patih Matahun?”

Kiai Rontek menetap beberapa lama di Jipang setelah kegagalan dua usahanya : membunuh Pangeran Benawa dengan cara meninggalkannya seorang diri di lembah Merbabu, lalu percobaan pembunuhan yang dilakukannya pada Adipati Hadiwijaya. Kegagalan itu mendorong Kiai Rontek mencari dan menggunakan segala cara agar dapat memasuki lingkaran orang-orang terdekat Raden Trenggana. Ia mencoba menyusup melalui Ki Patih Matahun karena melihat adanya alasan yang masuk akal baginya. Namun, ketika mengetahui Ki Patih Matahun adalah orang yang cukup berhati-hati, Kiai Rontek mengurungkan niatnya. Atas saran dari Arya Adiwangsa, Kiai Rontek pun menyamar sebagai prajurit berkuda lalu menyusup di antara barisan orang yang yang berada di bawah pengaruh Arya Dipangga.

Semakin tertarik dengan perkembangan yang terbayang dalam benaknya, Kiai Rontek melesat maju dengan lontaran tubuh seringan daun kering lalu mendarat tepat di samping kanan kemah Ki Danupati. Dalam waktu itu, Kiai Rontek dapat menduga keadaan di dalam kemah yang tiba-tiba menjadi sunyi.

Lalu dari dalam kemah, terdengar Ki Danupati berkata, “Aku ingatkan bahwa kalian tidak boleh terjebak dalam pemikiran sebagai yang terbaik atau paling gagah dari seluruh pasukan Demak. Itu akan menjatuhkan kalian dalam kekalahan.”

loading...

“Kita tidak akan bertempur secara terbuka,” tiba-tiba Arya Dipangga masuk lalu memotong ucapan Ki Danupati.

Sejumlah senapati melonggarkan jarak, memberi ruang bagi Arya Dipangga untuk mendampingi Ki Danupati dalam mengarahkan pertemuan.

“Pertempuran terbuka akan memaksa kita memasuki apa yang telah disebutkan oleh Ki Danupati sebelum aku berada di sini. Kita bukan pahlawan bila berhasil merebut benda berharga dari Blambangan. Yang menjadi pahlawan atas keberhasilan itu adalah Arya Trenggana. Kemudian kita akan disebut-sebut sebagai penjahat perang atau perusuh bila peperangan di darat akhirnya meluas ke seluruh wilayah Blambangan. Siapa orang yang akan berbuat seperti itu pada kita? Itu akan dilakukan Arya Trenggana. Kalian harus dapat mencari jawaban dari pertanyaan ini, bagaimana Arya Trenggana tetap mendiamkan pembunuhan Pangeran Kikin? Ya, dengan sikap itu, maka Arya Trenggana tetap menjadi seorang raja yang tidak terusik oleh sedikit atau banyak orang,” kata Arya Dipangga dengan tegas dan sorot mata menyala.

Orang-orang yang mendengarkan Arya Dipangga pun segera membandingkannya dengan Gagak Panji. Sedikit orang yang mampu berpikir lebih jauh ketika membayangkan seandainya Arya Dipangga sepaham dengan Gagak Panji lalu mereka bergabung. Demak akan mudah dijatuhkan dalam hitungan hari, demikian sebagian isi benak para perwira.

Kemudian, lanjut Arya Dipangga, “Menghadapi Arya Trenggana yang licik, kita akan berbuat sama dengannya. Kita akan berpikir dengan caranya berpikir. Kita akan menyerang dengan meniru caranya berperang. Melawan orang sepertinya akan membutuhkan waktu yang lebih panjang dan ketangguhan jiwani yang belipat ganda. Kita tidak sedang melawan seorang Trenggana tetapi juga sekumpulan orang-orang yang berpengaruh padanya. Namun, kita tahu bahwa Arya Trenggana bukan orang bodoh yang mudah menurutkan kata hati agar mematuhi orang per orang tertentu. Dan itu bukan wilayah perang kalian. Kalian adalah prajurit dan akan bertempur sebagai prajurit.”

“Bukankah kita tidak berperang secara terbuka?” bertanya Surendra.

“Kita akan mengambil jalan aman lalu bertempur di tempat yang menyulitkan kelompok Arya Trenggana. Tetapi ini bukan jalan yang tidak berbahaya, maka aku minta para pengecut untuk mundur. Aku perintahkan para penakut untuk bergabung pada senapati lain,” jawab Arya Dipangga.

Para senapati bawahan Ki Danupati tidak bersuara. Bukan karena mereka adalah penakut atau berhati sebagai pengecut, tetapi membayangkan terjalnya siasat Arya Dipangga sudah memeras segenap yang ada dalam diri mereka. Namun para pemimpin perang itu memang tidak ingin bersuara karena memang tidak ada rasa gentar dalam hati mereka. Perang yang akan terjadi adalah satu pengalaman baru bila mereka dapat hidup atau menjadi jalan kematian yang berbeda dari orang kebanyakan. Bagi mereka, kesetiaan pada Ki Danupati telah mengalahkan segala gejolak yang silih berganti menghantam ruang dada mereka. Untuk sisa waktu yang ada, para senapati sedang menunggu perintah bersiap.

Dalam sepekan, dari hari ke hari, Ki Danupati terus memperkuat hubungan dengan para pemimpin perang yang lain. Itu bukan pekerjaan mudah untuk meyakinkan banyak orang agar terus bergerak menuju Blambangan. Hingga akhirnya, Ki Danupati menarik kesimpulan bahwa waktu akan terbuang percuma bila tetap berusaha meyakinkan gugus pasukan yang lain. Menurut penilaiannya, kehadiran Arya Dipangga sudah cukup menjadi tanda untuk meninggalkan induk angkatan perang Demak. Mengapa harus melanggengkan bayangan buruk dan gelisah dengan berlama-lama duduk di tempat ini?

Wedaran Terkait

Lamun Parastra Ing Pungkasan 9

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 8

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 7

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 6

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 5

kibanjarasman

Lamun Parastra Ing Pungkasan 4

kibanjarasman

Leave a Comment

error: Anda tidak diperkenakan menyalin tanpa izin.