Di sebuah tempat, yang terletak di antara Jati Anom dan Sangkal Putung, terlihat orang bergantian keluar masuk dari rimbun semak-semak yang menjadi batas jalan kecil yang membelah pategalan yang tidak terawat. Jarak waktu mereka tidak teratur dan cukup lama sebelum seseorang menyelinap lalu menghilang di balik semak-semak. Raden Atmandaru menghitung dengan cermat keadaan di sekitar perbatasa dua wilayah tersebut. Tidak ada seorang pun dapat menyangka bahwa ada jalan masuk untuk menuju pemukiman pengikut Raden Atmandaru. Bahkan, andaikata seseorang menyibak sejengkal demi sejengkal maka pintu masuk itu masih sulit untuk ditemukan dalam waktu lebih setengah hari.
Pada pagi itu, setelah Agung Sedayu memerintahkan pengaturan jalan-jalan di seluruh Sangkal Putung, jalur sunyi itu tiba-tiba menjadi lebih sibuk dari biasanya. Sejumlah petugas sandi datang dan melaporkan perkembangan kademangan. Meski beberapa orang tidak ingin mengatakan yang sesungguhnya tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Raden Atmandaru tekun mendengar setiap laporan petugasnya. Ia berkata, “Seseorang dengan ketajaman pikiran telah membuat rencana kita porak poranda. Bahwa kita telah menyembunyikan kegiatan di tempat ini adalah keberhasilan hingga orang itu tiba di sana. Sejak fajar menyingsing, sepertinya kegiatan mereka terus menerus menunjukkan peningkatan. Itu cukup berbahaya.”
“Raden, apakah Raden telah mempunyai perkiraan mengenai orang itu?” tanya Ki Malawi.
Lelaki yang sedikit lebih tua dari Raden Sutawijaya menjawabnya dengan anggukkan kepala, meski begitu, Ki Malawi merasakan kulitnya meremang. Betapa ia melihat kilatan mata Raden Atmandaru seperti menusuk hatinya.
“Apakah pertanyaanku menyinggung perasaannya?” tanya hati Ki Malawi pada dirinya sendiri.
Sejenak kemudian ia mendapatkan jawaban. Raden Atmandaru berkata dengan getar suara ditahan, “Jika ada yang luput dari pemikiranku, lalu mengapa kita masih bertahan di tempat ini sampai sekarang?”
“Ampuni saya, Panembahan,” kata Ki Malawi dengan tubuh merunduk.
“Kadang-kadang…atau mungkin sudah sering sikap seperti itu yang membuatku sedih dan prihatin.” Raden Atmandaru bangkit dari duduknya, lalu katanya, “Kalian mempunyai kepercayaan yang sangat tipis pada pemimpin kalian. Atau mungkin setipis itu pula kepercayaan kalian pada kawan-kawan kalian sendiri. Bisa jadi kalian tidak merasa terikat dengan masa depan Mataram. Bisa jadi pula kalian memang tidak merasa bertanggung jawab pada kelangsungan hidup Mataram sebagai wilayah yang dapat dibanggakan.”
Ki Sarjuma yang berada di ruangan lantas menyapukan pandangannya ke wajah orang-orang kepercayaan Raden Atmandaru. Boleh jadi mereka memang berpikiran seperti yang dikatakan oleh Panembahan, pikirnya. Ki Sarjuma masih menahan diri untuk menyatakan pendapat ketika dilihatnya sayatan tajam masih berkilat dari mata Panembahan Tanpa Bayangan.
“Masing-masing dapat mengatakan keberatan jika memang kalian tidak seperti yang aku katakan.”
Ruangan begitu sunyi ketika Raden Atmandaru mengatup rapat bibirnya. Raut wajah orang-orang di sekitarnya begitu tegang. Sepertinya suasana gawat tengah terjadi di dalam ruang berdinding papan dan berukiran halus itu.
Keadaan sedikit mencair sewaktu Raden Atmandaru mengucapkan kata yang ditujukan pada Ki Sarjuma, “Aku melihat sebuah beban dalam benakmu. Katakan!”
“Panembahan,” ucap Ki Sarjuma setelah menghela napas panjang, “laporan dari petugas sandi memberi tanda bahwa sejak tadi malam penjagaan kademangan menjadi semakin ketat. Gardu peronda mulai terisi oleh anak-anak muda maupun lelaki yang siap mengangkat senjata. Bila demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa pagi ini akan banyak orang yang meronda di setiap pedukuhan.”
“Aku mendengarkan,” pendek Raden Atmandaru berucap.
“Saya tidak bermaksud meragukan keberanian Raden untuk menyerang Sangkal Putung sesuai waktu yang direncanakan. Namun ada pertanyaan yang muncul dari benak saya sendiri tentang bantuan Mataram yang mungkin saja datang hari ini atau lusa. Walaupun ada keraguan tetapi saya yakin dengan kekuatan yang kita miliki.”
“Kalian semua, ketahuilah, bahwa Ki Tunggul Pitu belum berada di antara kita sekarang ini. Jika ia belum berada di sini, maka kalian dapat menyerang Sangkal Putung tanpa ketakutan atas kekuatan Mataram. Untara pada hari ini masih disibukkan oleh kekacauan yang kita tinggalkan di sana. Begitu pun perguruan Orang Bercambuk yang sudah pasti akan terlibat jauh untuk membenahi Jati Anom.”
“Waktu semakin dekat,” kata Ki Sarjuma.
Raden Atmandaru menegaskan kemudian, “Ya, kita akan taklukkan Sangkal Putung sehari lagi.”