Dalam pekatnya malam, dua pengamat yang berada di tempat agak tinggi melangkah cepat menuruni bukit kecil menuju pemukiman para pengikut Ki Nagapati. Beberapa penjaga gardu di luar pemukiman memandang terkejut melihat dua orang datang tergesa-gesa.
“Aku melihat satu baris pasukan menuju ke tempat ini,” kata seorang pengamat.
“Apakah mereka pasukan berkuda atau berjalan kaki?” bertanya seorang penjaga.
“Berjalan kaki tetapi kecepatan mereka bergerak seperti kuda yang berlari lambat. Beberapa obor yang mereka nyalakan memberi kepastian tentang kecepatan gerak mereka, mungkin dalam satu atau dua penginangan sirih mereka akan tiba di tempat ini,” jawab seorang pengamat yang lain.
“Baiklah, segera beritahukan keadaan ini pada Ra Suketi dan kawan-kawan agar mereka dapat menyiapkan diri,” perintah pemimpin mereka yang berjaga di gardu. Ia menunjuk dua orang di antara petugas jaga lalu berkata, ”Kalian padamkan setiap penerangan yang mengelilingi permukiman. Dan bersiaplah di bagian belakang permukiman. Lepaskan panah api jika kalian harus berhadapan dengan kekerasan.”
“Baik, Ki Lurah!” serempak keduanya menjawab lalu mengambil arah yang berbeda kemudian berlari memutari permukiman yang tidak begitu luas.
Sementara itu, seorang pengamat yang ditemani oleh penjaga gardu telah melewati pagar tanaman rumah kecil di tepi sebuah tanah lapang.
“Masuklah,” suara parau terdengar dari dalam sebelum kedua orang itu meminta izin. Sejenak kemudian keduanya telah berada di dalam ruangan depan. Ra Suketi bangkit berdiri menyambut mereka kemudian menyilahkan keduanya duduk di bangku yang terbuat dari papan kayu yang terlihat kokoh.
“Selamat malam, Rakryan Rangga,” berkata penjaga gardu yang dijawab dengan anggukkan kepala Rakryan Rangga Ra Suketi.
“Katakanlah!” perintah Ra Suketi pada dua tamunya.
Petugas pengamat itu kemudian menceritakan semua yang dilihatnya di gelap malam. Sementara penjaga gardu menambahkan keterangan seusai kawannya melaporkan keadaan. Ra Suketi bergegas keluar lantas berlari kecil menuju panggungan yang dipasang di antara pohon asam yang besar. Ia memandang pada arah yang ditunjukkan oleh pengamat. Pandang mata Ra Suketi yang dilambari ilmu tertentu segera menembus malam yang pekat.
“Persiapkan diri kalian untuk bertempur sampai penghabisan,” perintah Ra Suketi sesaat setelah turun dari panggung.
“Tuan Rangga, apakah kita tidak menunggu Ki Nagapati?” bertanya seorang senapati berusia muda.
Ra Suketi menghentikan langkah, lalu menoleh ke senapati itu kemudian berkata, ”Tidak! Kita tidak tahu, apakah Ki Nagapati masih hidup atau telah dihukum oleh Bhre Pajang? Bahkan ada kemungkinan bahwa rombongan itu datang untuk mengabarkan kematian Ki Nagapati.” Ia berhenti sebentar. Mata Rakryan Rangga Ra Suketi menebar sekeliling, dengan lantang ia berkata, ”Sekarang ini kita tidak dapat memercayai seorang pun selain dari kelompok kita sendiri. Kita tidak dapat berharap Ki Nagapati akan kembali menemui kita dalam keadaan hidup dan selamat. Ini adalah pendapat yang wajar mengingat kita keluar dari kotaraja dengan keadaan terhina sebagai orang-orang terusir. Siapkan senjata kalian! Berikan kehormatan tertinggi bagi pasukan ini dan keluarga kita semua!”
Orang-orang yang tergabung dalam pasukan Ki Nagapati adalah sekumpulan orang terlatih dan pengalaman. Dalam waktu cukup singkat, mereka telah menduduki tempat-tempat yang tepat untuk bertahan maupun menyerang. Tombak, pedang, golok, rantai dan cambuk yang berujung besi bundar bergigi tajam telah tergenggam erat di tangan mereka.
Sementara beberapa bagian pasukan lainnya telah menggeser kuda-kuda mereka untuk melakukan serangan kilat.
Ikuti kisah lainnya : Ken Arok
Para wanita dan anak-anak dari banyak prajurit telah dipindahkan dengan singkat di sebuah tanah lapang yang berpagar kayu kelapa setinggi pinggang orang dewasa. Meskipun mereka berada di garis belakang dan tidak mendapat izin untuk berperang, tetapi kesadaran untuk bertahan hidup telah memaksa mereka untuk menenteng senjata dalam persembunyian.
Jerami kering dan setumpuk kayu kering telah disiapkan pada sisi mereka. Agaknya keluarga prajurit ini tidak ingin dapat ditangkap hidup-hidup. Mereka lebih memilih mati seperti anak atau suami mereka di medan laga. Tidak terdengar jerit tangis anak-anak pada malam itu. Darah dan daging mereka seakan-akan telah mengetahui bahwa perkampungan mereka sedang dalam bahaya. Sejumlah anak berusia belasan tahun berlarian menyebar kemudian duduk di belakang benteng kayu. Busur dan anak panah tampak berada di genggaman mereka. Beginilah keadaan keluarga pasukan Ki Nagapati yang gagah berani seperti ayah mereka.
Ki Banyak Abang memberi perintah pasukannya untuk berhenti ketika mereka berada dalam jarak jangkauan anak panah. Ia mengangkat tangan seraya berkata, ”Kita berhenti di sini.”
Kemudian Ki Banyak Abang melompat turun dari kuda lantas berjalan menghampiri pasukan yang berjalan di belakangnya, lalu berkata, ”Kita mendatangi permukiman ini tidak untuk bertempur. Aku larang kalian untuk memanasi keadaan. Setiap orang harus dapat menjaga dirinya sendiri, setiap kesalahan yang kalian lakukan maka aku pastikan kalian akan mendapat hukuman keras. .”
Ia berkata lagi setelah berhenti sejenak, ”Kita tidak akan melakukan pengepungan. Sementara kalian dapat melihat sekeliling pemukiman yang gelap gulita. Mereka telah memadamkan semua penerangan. Kita tidak tahu jebakan apa yang sedang disiapkan untuk kita. Kalian tunggu kedatanganku kembali di sini. Jika aku tidak kembali pada kalian hingga pagi, katakanlah tentang itu pada Bhre Pajang. Dan jika malam ini mereka memulai suatu pertempuran, aku minta kalian agar segera mundur belasan langkah.”
Ki Banyak Abang kemudian memutar tubuh lalu berjalan sendirian menuju regol permukiman. Orang-orang Pajang menghela napas panjang mendengar kata-kata Ki Banyak Abang. Tangan-tangan yang menggenggam erat berbagai senjata itu pun mengendurkan urat syaraf. Berbagai dugaan berkecamuk dalam hati mereka, tetapi mereka adalah orang yang patuh pada pemimpin sehingga yang dikatakan Ki Banyak Abang tidak pernah meleset dari yang diharapkan.