Sementara itu, orang-orang dari Padepokan Sanca Dawala masih cukup jauh untuk dianggap mulai mendekati wilayah Kademangan Grajegan. Namun demikian, para petugas sandi yang dikirim Ki Juru Manyuran sudah mendapatkan iring-iringan itu berada di dalam jangkauan pengawasan mereka. Memancar kekaguman dari anak buah Ki Juru Manyuran melihat orang-orang padepokan masih segar meski sedang menempuh perjalanan jauh. Dari sikap yang ditunjukkan sepanjang perjalanan seakan memberi bukti bahwa daya tahan tubuh adalah penopang yang utama. Latihan dan pengalaman mereka dalam perkelahian menjadikan para pengikut Mpu Rawaja seperti mempunyai kekuatan yang berlipat ganda.
Kedatangan rombongan dalam jumlah besar itu sebenarnya sudah diketahui oleh prajurit sandi Pajang, bahkan mereka telah melaporkannya pada Bhre Pajang. Namun Bhre Pajang menganggap kelompok yang menempuh arah menuju Kademangan Grajegan adalah hal yang wajar.
“Ki Juru Manyuran mempunyai kekuatan yang tidak terbatas untuk memberi jamuan pada orang-orang yang menjadi tamunya. Dan selama ini, Ki Juru juga tidak pernah menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang berbahaya,” jawab Bhre Pajang suatu ketika. Bhre Pajang tidak ingin mempunyai prasangka buruk terhadap orang yang selama ini telah banyak membantu Pajang dalam banyak hal. Mulai dari pengerjaan jalan, saluran air hingga perdagangan.
Ki Banyak Abang hanya dapat menarik napas panjang ketika mendengar jawaban Bhre Pajang. Sementara dia sendiri tidak dapat memaksakan pendapat supaya diterima pemimpinnya. Ki Banyak Abang tahu bahwa bahan-bahan yang dikumpulkan para petugas sandi memang masih kurang meyakinkan bahwa ancaman bagi Pajang itu memang nyata. Oleh karena itu, Ki Banyak Abang lebih memilih menyesuaikan persiapan secara diam-diam.
Wawasan Ki Banyak Abang serta pengalamannya cukup membantu untuk memahami bahwa Pajang sedang menjelang masa sulit. “Mungkin Bhatara Pajang sudah mengerti perkembangan keadaan, tetapi beliau memilih jalan berlambat-lambat dengan suatu alasan yang belum aku mengerti,” gumam Ki Banyak Abang di dalam hati. Lantas, bagaimana perlambatan itu dapat diterima sebagai siasat jika Bhatara Pajang cenderung untuk berdiam diri? Jalan-jalan pikiran Ki Banyak Abang sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan serupa. Cara pandang perwira yang sempat menimba ilmu di padepokan Resi Gajahyana memang berbeda dengan pemimpinnya. Menurutnya, Pajang bakal terguncang dan pertempuran akan merambat hingga bukit-bukit batu dan hutan-hutan. Kehidupan akan berjalan pincang. Sebagian mungkin roboh lalu berpelukan menunggu kematian. Sebagian lagi mungkin tetap kuat menembus badai peperangan. Ketika waktu itu tiba, apakah orang-orang Pajang dapat mengambil waktu untuk beristirahat barang sejenak?
Gemuruh kuda perang dan pekik-pekik kemenangan akan menjadi tanda akhir dari musim panen di Pajang. Ki Banyak Abang mendongak, melihat rembulan yang berwajah muram sedang bercakap sedih dengan langit yang berawan.
“Aku tidak dapat meninggalkan Resi Gajahyana,” Ki Banyak Abang berguman sendiri ketika kedudukannya semakin jauh dari kediaman Bhatara Pajang. Dalam suasana yang serba tidak menguntungkan, menurut Ki Banyak Abang, maka tidak ada tempat yang lebih tepat dibandingkan padepokan Resi Gajahyana. Barangkali di sana dia mendapatkan pencerahan. Bukankah Pajang masih memiliki Bondan dan murid-murid padepokan? Sekalipun kehidupan mereka jauh dari keprajuritan, tetapi mereka tidak akan dapat menolak panggilan Pajang. Semangat Ki Banyak Abang kembali utuh setelah membayangkan sambutan Resi Gajahyana.
Ki Banyak Abang mengubah haluan kuda. Dia berkuda menyusur kaki bukit yang memanjang di sekitar Gunung Merbabu. Dua bukit terlampaui, sesaat lagi akan terlihat hamparan sempit padang rumput sempit di sebelah selatan Merbabu. Dari ketinggian yang dicapainya, Ki Banyak Abang melihat kerlip-kerlip cahaya dari celah-celah dinding bambu. Sebuah dusun akan dilewatinya, dan dalam waktu kurang dari sepenanakan nasi, Ki Banyak Abang dapat tiba di gerbang padepokan Resi Gajahyana.
Kaki-kaki kuda baru menapak bagian depan padepokan, sebelum melewati pintu gerbang yang terbuka, seseorang memandang kedatangan Ki Banyak Abang dengan wajah sungguh-sungguh. “Ki Banyak Abang,” desis lelaki yang berusia senja dengan kegagahan yang masih memancar terang dari wajahnya.
Sebagai orang yang memandang tinggi kepatutan, Ki Banyak Abang melompat turun lalu menuntun kuda ketika melewati gerbang padepokan. Pendengaran Ki Banyak Abang tidak dapat dikelabui dengan bisik-bisik atau derap kaki yang melangkah berhati-hati, hanya saja dia memilih untuk tetap bersikap wajar. Sekejap kemudian, beberapa anak muda bergegas mendekati Ki Banyak Abang dengan sikap siaga.
“Beri beliau jalan,” seru lelaki renta dari beranda depan pondok kecil yang berada sedikit menjorok ke dalam.
Sekelompok anak muda segera mengurungkan lingkar kepungan yang nyaris terbentuk. Meski tidak membantah perintah guru mereka, namun para penjaga regol dan peronda saling bertanya melalui pandangan mata.
“Dari depan seakan terlihat lengang, tetapi mereka bersiaga pada tempat-temapt yang tidak terjangkau pandangan mata,” puji Ki Banyak Abang dalam hati mengenai cara murid-murid padepokan berjaga. “Maafkan saya yang telah menganggu Anda sekalian,” sapa Ki Banyak Abang pada murid padepokan yang bertugas pada malam itu.
“Apakah Bapak tidak keberatan meninggalkan nama agar kami mengenal Anda?” bertanya seorang anak muda yang sepertinya dia adalah pemimpin kelompok jaga.
Ki Banyak Abang mengangguk, kemudian menjawab, “Betul. Saya dikenal orang dengan sebutan Ki Banyak Abang.” Ki Banyak Abang hanya menyebut namanya tanpa membawa serta kedudukannya di sisi Bhatara Pajang.
Sang penanya mengerutkan alis karena mengenal nama itu dengan cukup baik. Tapi, kedatangannya pada dini hari? Apakah ada sesuatu yang sangat mengganggu pikiran perwira tinggi Pajang itu? Namun, tanpa bertanya lagi, pemuda itu menepi sambil berkata, “Tentu kedatangan Bapak sudah ditunggu oleh Guru.” Sejenak kemudian dia menoleh pada kawan-kawannya lalu berkata, “Longgarkan jalan!”
“Saya minta maaf karena bertamu pada keadaan demikian sudah barang tentu menimbulkan prasangka buruk dalam diri kalian semua,” ucap Ki Banyak Abang dengan sedikit membungkukkan badan.